Sebuah Kebodohan Manis

3:23 PM

Langit baru saja selesai memuntahkan isi yang ada dikandungannya sore itu, saat lelaki yang hanya mengenakan celana boxer dan kaos oblong yang warnanya senada dengan warna langit selesai membungkus kado yang ada di hadapannya.

Hatinya kini dipenuhi oleh jutaan kupu-kupu yang beterbangan tak tentu arah. Menabrak semua dinding perutnya dan menghadirkan senyum tipis di bibirnya. Matanya memancarkan warna-warna pelangi, sangat kontras dengan kenyataan langit masih saja muram.

Dia memandangi lagi sebuah novel di hadapannya. Novel yang kini telah dia hiasi pita berwarna merah. Sedetik kemudian, dia mulai mengambil secarik kertas yang dia sahut sembarang dari atas meja belajarnya. Lengkap dengan sebuah pulpen warna hitam. Pada kertas itu dia menuliskan bait demi bait kata-kata indah yang, seperti petir, tiba-tiba hadir di dalam kepalanya. 

Satu… Dua… hingga tak terasa sudah lima alinea dia tuliskan. Baginya, alinea-alinea itu bukan hanya sebuah ucapan selamat ulang tahun. Ucapan-ucapan itu adalah segala bentuk representasi isi hati yang tak pernah mampu dia katakan. 

"Bibirku selalu kelu, tiap kali aku ada di hadapannya" demikian dia berdalih. Seraya mencoba menyembunyikan segenap ketakutan yang terasa kian tak terperi.

Dua hari lagi, perempuan yang dia temui tujuh bulan yang lalu akan genap berusia 22 tahun. Seorang perempuan yang kini telah melanjutkan siklus kehidupannya di kota seberang Jogja. Perempuan itu memilih untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan menjadi bagian dari dunia pendidikan di sana. Bagi lelaki itu, berpisah sekian ratus kilometer bukanlah sebuah masalah. Jarak bukanlah suatu yang memisahkan, tetapi bumbu agar rindu kian terasa menggebu. 

Beberapa hari yang lalu, si perempuan berkata kalau dia rindu dengan Jogja. Rindu menghabiskan malam-malam sunyi bersama tumpukkan tugas yang harus kelar esok pagi. Rindu menghabiskan senja bersama lelaki itu di sebuah toko buku. Rindu akan kebersamaan yang sempat padam karena mulai tumbuhnya rasa cinta. 

Baginya, lelaki itu tak lebih dari sekedar sahabat yang ia biasa jumpai di dalam kehidupannya. Tak peduli seberapa dekat mereka bersama, tak peduli seberapa sering mereka saling bertukar rahasia yang sejatinya hanya boleh ada di lingkup keluarga, tak peduli seberapa besar benih cinta yang mulai tumbuh seenaknya di hati lelaki itu, dia tetap saja hanyalah seorang teman.

Bagi perempuan keras kepala itu, cinta tak ubahnya sebuah racun yang akan mematikan setiap sendi pertemanan. 

Namun, lelaki bodoh itu tetap saja tak pernah mampu menyembunyikan keterkarikannya pada perempuan itu. Hari-hari bersamanya adalah hari yang terindah dalam sejarah paling berharga di hidupnya. Hadirnya perempuan bermata coklat itu bak mentari yang kembali berseri setelah badai pergi. 

Tujuh bulan kebersamaan ternyata tak cukup untuk membuat perempuan itu mengerti apa yang lelaki itu rasakan. Lelaki itu memang bodoh. Tujuh bulan itu juga ternyata tak bisa membuat lelaki itu berubah menjadi seorang yang lebih jujur dengan perasaannya. Baginya, hanya dengan melihat senyum manis yang selalu perempuan sunggingkan tatkala mendengar leluconnya adalah sebuah kebahagiaan yang tak pernah ada gantinya.

Sebenarnya lelaki itu bukannya sama sekali tak pernah mengatakan apa yang dia rasakan kepada perempuan itu. Terhitung, selama empat bulan kebersamaannya, lelaki itu sudah hampir tiga kali ingin mengungkapkan segala yang telah dia simpan. Namun, dia selalu saja gagal untuk mengatakannya. 

Padahal dia telah menuliskan semua nya di dalam secarik kertas. Akan tetapi, setiap kali mata coklat itu menatap dalam ke arahnya, saat itulah semua yang sudah ada di benaknya tiba-tiba melayang bersama jutaan kupu-kupu yang berasal dari perutnya.

Kini, setelah perempuan itu pindah ke kota seberang, lelaki itu berharap bahwa rasa cintanya akan segera padam. Tapi ternyata tidak demikian. Cinta dalam dadanya malah kian berkembang, menunggu perempuan itu menyambutnya dengan senyum terkembang. 

Baginya, perempuan itu adalah segala hal yang bisa dia pikirkan. Segala mimpi yang ingin dia wujudkan. Segala deretan doa yang selalu dia panjatkan. 

Lelaki itu selesai menuliskan ucapan selamat ulang tahun untuk perempuannya. Dilipatnya kertas ucapan itu, lalu diselipkan di halaman 7 pada novel itu. Iya, angka 7 adalah tanggal di mana perempuan bermata coklat itu lahir. 

Sebuah amplop besar berwarna coklat telah dia siapkan. Setelah yakin bahwa tak ada sedebu pun tertinggal, dia memasukkan hadiah itu ke dalam amplop. Juga sepercik dari isi hatinya.

Beberapa minggu ke belakang, perempuan itu memberi kabar bahwa di tempatnya tinggal sekarang, dia merasa kesepian. Tak banyak teman lelakinya yang dapat memahami isi terdalam perasaannya. Tak banyak bahan bacaan yang mampu menemani setiap malam kelabu yang kerap kali mampir untuk bertamu. Lewat sederet panjang curahan hati, perempuan itu merajuk manja. Dengan dalih rindu saat-saat bersama di toko buku, dia meminta lelaki itu untuk memberinya kado ulang tahun berupa novel.

Mendengar permintaan perempuan dambaan hatinya itu, si lelaki langsung mengiyakan permintaannya. Tanpa peduli lagi jumlah tabungannya yang makin menyusut karena harus membayar tunggakan uang sekolah adiknya. Bagi lelaki itu, cinta adalah soal memberi, bukan soal meminta. Cinta adalah soal membahagiakan, bukan soal memiliki.

Lelaki itu memang bodoh. Terlalu banyak membaca tulisan picisan tentang cinta telah membutakan matanya. Dia rela melakukan segala hal yang perempuan itu inginkan. Walau dia tahu persis dirinya hanyalah sebuah daki yang menempel manis di kulit perempuan bermata coklat itu. Walau dia tahu, perempuan itu tak akan pernah menjadi bagian dari takdirnya. 

Manusia merupakan makhluk yang paling pandai menutupi segala kekurangannya dengan cara berbohong, begitu pula yang dilakukan lelaki itu. Setiap kali dia bersujud di hadapan Illahi, dia selalu berbohong bahwa nun jauh di sana, di dalam otak perempuan itu, ada sebentuk bayangan dirinya. Atau minimal namanya, yang kadang kala sering perempuan itu pakai sebagai bahan plesetan. 

Lelaki bodoh itu selalu berharap bahwa namanya bukan hanya menjadi penghias layar ponsel yang tak pernah lepas dari genggaman perempuan itu. Walau kenyataannya, semua pesan lelaki itu tak lebih dari pesan dari operator seluler yang kadang mengganggu. Lelaki bodoh itu berharap bahwa dia akan selalu menjadi bagian dari mimpi yang perempuan itu impikan, menjadi hal yang perempuan itu pikirkan, seperti yang selalu dia lakukan. Walaupun kenyataannya, dia tahu, dia tak pernah secuil kuku pun ada di impi perempuan itu. Tak seujung rambut pun lelaki itu menjadi orang nomor satu dalam deretan orang-orang yang ada di benak perempuan itu. Terkecuali ketika dia dalam masalah, maka lelaki itu adalah satu-satunya solusi yang bisa dia pikirkan.

Lelaki itu kembali memandang novel berjudul Remember When karya Winna Effendi yang kini ada di genggamannya. Matanya mulai terpejam, mulutnya mulai terbuka dan dia mulai merapal doa.

"Tuhan, ampunilah segala kebohongan yang telah selama ini aku ciptakan. Dan terimakasih telah engkau ijinkan aku untuk mengenalnya, yang sampai kapan pun tak akan pernah menjadi bagian dari takdir hidupku. Terimakasih telah mengizinkan ku untuk mencintainya lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Tuhan, jika memang jatuh cinta dengan dia akan membuatku menjadi sosok yang selalu lebih baik, maka izinkanlah aku untuk jatuh selamanya*)"

Sebuah senyum terkembang di bibirnya…

"Selamat ulang tahun, Maria".





*) kredit to: Raditya Nugie

10 Responds