Dari 'Gue' yang Menjadi 'Aku'

5:01 PM

Rasanya sudah cukup lama usia blog ini. Tujuh tahun sudah usianya. Kalo blog ini adalah seorang anak kecil, maka aku adalah seorang bapak yang lagi bangga-bangganya mengantarkannya ke sekolah pada pagi hari. Melihatnya tersenyum saat bertemu dengan teman sebayanya dan menunggunya lelah bercerita tentang harinya hingga ia terlelap dalam pelukan.

Tujuh tahun memang bukan perjalanan yang singkat. Tapi walaupun demikian, itu semua seperti baru terasa terjadi malam kemarin. Aku masih ingat semua detail kejadian dan semua yang aku ucapkan kepada dia. Dan karena itulah aku ingin menceritakannya kepada kalian.

———
Suatu hari rabu di tahun 2008.

Mendung tak pernah lepas menghantuiku sedari pagi. Padahal hari itu aku harus datang ke salah satu tempat bimbingan belajar. Bukan untuk ikut les seperti teman lain yang lebih beruntung. Aku lebih suka belajar sendiri di dalam kamar yang dibuat cukup sunyi.

Hari itu aku berjanji bertemu dengan dia. Seorang perempuan yang aku kenal dari sebuah social media yang sedang menjamur di masanya. Semua orang di sekolahku punya akun di socmed itu. Seakan itu adalah sebuah keharusan. Seakan jika mereka tak punya akun itu mereka akan di bully habis-habisan. Akan dikucilkan dari pergaulan. 

Ada seorang teman sekolahku yang  punya akun socmed itu paling banyak. Dia dianggap sebagai salah satu siswa yang paling berpengaruh pada waktu itu. Dia adalah orang  yang paling sering nyolong nomer telepon orang untuk mendapatkan sebuah akun di socmed itu. Bahkan, desas-desus bilang, dia pernah mendaftarkan nomer telepon kepala sekolah agar bisa mendapat berbagai macam pujaan dari teman sejawat. Baru belakangan ini saja aku tahu bahwa kepala sekolahku dulu ternyata adalah bapaknya.

Hal ini mungkin sekarang terdengar bodoh. Tapi, dulu hal ini sangatlah luar biasa. Mereka yang punya banyak akun akan otomatis punya banyak poin yang bisa digunakan untuk kicking —semacam mengusir secara paksa— orang-orang yang ada di dalam grup pembicaraan yang dinilai sangat mengganggu.

Aku? Sebagai salah satu kutu buku yang tak terlalu diakui keberadaannya. Punya akun socmed itu hanya aku pakai sekedar gengsi saja. Di grup chat yang dibentuk oleh teman satu sekolah pun, aku lebih banyak menjelma sebagai makhluk yang layak disebut silent reader. Sampai pada suatu ketika...

Hari itu seperti biasa, entah untuk kali ke berapa aku membolos kelas sejarah. Bersembunyi di masjid sekolah dan membaca sebuah novel yang aku pinjam dari perpustakaan daerah. Hingga aku sadari, di telepon genggam ku banyak sekali pembaharuan dari socmed itu yang tak lebih dari sekedar celotehan di grup. Mulai dari soal hasil try out yang sudah keluar, guru kimia yang super killer, sampai harga gorengan di kantin yang naik 250 rupiah. Tak ada yang menarik di pembaharuan itu, sampai secara tiba-tiba mataku menangkap satu pembaharuan lain. Sebuah permintaan pertemanan dari seorang perempuan dengan ID 'hana'. 

Dari info singkat yang ada di profilnya, aku bisa tau bahwa dia adalah anak sekolah sebelah. Kelas 3 IPA 3. Setelah aku menerima permintaan teman darinya sebuah sapaan pertama pun melayang jauh melewati segala hadangan yang ada. Tak lama kemudian, impuls langsung dari sapaan itu pun mulai terasa dengan munculnya percakapan-percakapan singkat. Sebuah percakapan yang akan mengawali semua jalinan cerita telah dimulai.

Sekelewat sapaan pertama itu, aku dan dia, semakin sering menghabiskan waktu istirahat bersama melalui chatting tentunya. Banyak hal yang kami ceritakan. Dia paling suka bercerita tentang hobi membacanya. Dia bercerita tentang buku apa saja yang telah dia baca. Dia banyak bercerita tentang buku-buku karangan Paulo Coelho yang kadang begitu rumit dipahami, Ernest Hemingway dengan cerita yang biasa namun sangat dalam maknanya, Anne Rice yang bisa membuat dia yakin bahwa vampire itu benar-benar nyata, sampai buku-buku thriller karya Dan Brown. Berbeda dengan aku yang sama sekali baru kali pertama mendengar nama-nama itu disebut. Satu-satunya buku yang aku baca saat itu adalah Kambing Jantannya Raditya Dika. Terlalu jauh jika mau membandingkan dengan semua literasi bacaanya, membuat aku lebih banyak diam dan mendengarkan. Satu hal yang aku yakini dari dia. Dia adalah kutu buku terkeren yang pernah aku temui. 

Banyak cerita tentang dia yang telah aku tulisan di blog ini. Salah satu caraku mengenang kehadirannya. 

Hari itu, sesampainya aku di sebuah lembaga bimbingan belajar, hujan turun dengan membabi buta. Angin kencang seolah ikut menertawakan mereka yang lupa akan jas hujannya. Aku berada di sebuah emperan bengkel motor. Tepat disamping tempat bimbingan belajar. 

Aku mengambil HP ku menilik jam berapa sekarang. Masih kurang setengah jam sebelum dia pulang, pikirku. Hujan tak kunjung ingin berhenti. Entah sudah berapa juta kubik air yang tercurah sore itu. Awan mulai menggelap, menenggelamkan semua asa. Angin yang sedari tadi riuh kencang seakan ingin memaksa semua orang agar berhenti dan menyaksikkan kekuatanya.

Aku masih setia menunggu. Hingga akhirnya dia muncul dari balik pagar besi bersama satu orang temannya yang membawa payung berwarna pelangi. Pemandangan yang sangat kontras. 

"Kamu udah lama nunggu?" Katanya sembari berterimakasih kepada teman yang menghantarnya.
"Belum lama, setengah jam mungkin" Jawabku sembari menyaksikkan temannya yang mendadak sudah tak terlihat.
"Kan aku udah bilang, kalo mendung nggak usah kesini. Ngeyel sih"
"Tadinya nggak mendung. Sampai sini aja baru mulai mendung" yang dia jawab dengan mengerucutkan bibirnya ke depan. Mirip Raisa yang sedang memamerkan foto selfie dengan caption : duck face, di instagramnya.

Dia tanpa aba-aba mulai duduk di sampingku. Jemarinya menunjuk ke arah jalan tepat dihadapan kami, seolah menjelaskan bagaimana kondisi cuaca yang cukup buruk kala itu. Lalu, tangannya mulai melambai ke arah teman-temannya yang mulai pergi silih berganti. 

Ditangkupkannya tangan putih itu ke arah pundaknya, sesaat kemudian. Mungkin mencoba mengusir dingin yang mulai melanda. Secara reflek, aku membuka jaket hitamku lalu memakaikan padanya. Lalu seutas senyum kembali terlukis di bawah pipinya yang kemerahan.

Selintas basa-basi kemudian, dia menunjukkan layar di HP Sony Ericssonnya. Bercerita bahwa dia punya akun sosial media baru. Facebook. Juga sebuah tempat yang bisa menampung jutaan ceritanya. Blog.
Dengan telaten dan juga sistematis, dia mulai bercerita satu persatu mainan barunya. Katanya, di blog kita bisa berpura-pura bukan menjadi diri kita sendiri. Kita bisa berpura-pura menjadi orang lain yang mengalami cerita yang kita lakoni. Kita bisa bebas menulis tentang impian kita. Tentang siapa yang paling kita sayangi, cintai, tentang apapun. 

"Kamu bikin blog gih.. Kan kamu suka baca, beberapa tulisanmu buatku juga bagus."
"Kamu baca tulisanku?"
"Iya. Selintas aja sih. Aku baca sambil makan coklat yang ada kamu titipin sama penjaga sekolahku."

Iya. Beberapa hari lalu memang aku melakukannya. Setelah dapat kabar bahwa tulisanku dimuat di salah satu surat kabar dan mendapat satu imbalan yang cukup untuk membelikannya beberapa bar coklat.

Entah racun apa yang telah dia masukkan, seminggu setelahnya resmilah sudah blog ini lahir. Di tulisan-tulisan awal blog ini, aku banyak menuliskan tentang dia. Orang yang menjadi alasanku untuk menulis. Aku menuliskan apa saja yang mampu aku tangkap oleh ke semua indra ku. Rasa hangat akan genggaman tangannya waktu hujan. Hangatnya pelukkannya waktu kami sama-sama menembus badai menuju sebuah gereja. Wangi aroma parfum yang masih lekat di jaketku. Hingga manisnya ciuman pertama di pipiku saat dia genap berusia 17 tahun.

Seperti biasa, jika ada seorang yang begitu membuatmu merasa nyaman, makan dunia mu akan berpusat padanya. Begitu juga dengan dunia ku. Semua tentang dia. Tulisan-tulisan awal di blog ku juga tentang dia. Tentang dia yang aku ceritakan bernama Hana. Tentang 'aku' yang bertransformasi menjadi 'gue' agar terkesan bahwa kehidupan kutu buku biasa sepertiku menjadi lebih menarik, lebih luar biasa.

Aku terus berpura-pura menjadi orang lain dalam cerita yang sebenarnya aku jalani sendiri. Aku berpura-pura menuliskan bahwa hubungan kami berdua baik adanya.

Walaupun kenyataannya tak demikian. 

Satu minggu sebelum ujian nasional dilakukan, kami bertemu untuk terakhir kalinya. Dia bercerita bahwa dia telah diterima di salah satu perguruan tinggi swasta di ujung  utara jawa. Dia bercerita, dia tak akan bisa lagi bertemu denganku. Dia berkata bahwa dia sudah tidak bisa lagi menemaniku menulis dan bercerita. Terlebih penolakan-penolakan yang terus dia dapat dari keluarganya hanya karena iman yang tak sama. Lalu, sebuah bungkusan kado ia serahkan kepadaku. Sebuah kado berisi buku karya Raditya Dika, Marmut Merah Jambu. 

"Satu saat, kamu pasti bisa ketemu sama orang lain yang bisa terus menemanimu menulis." Katanya sambil menggenggam erat tanganku. "Maaf ya. I can't be the only one for you.

Lalu dia berbalik. Meninggalkanku yang masih mencoba memberi arti pada semua yang baru saja terjadi. Semua serba tiba-tiba. Tak pernah memberiku kesempatan untuk mengucapkan satu kata. 

Aku hanya mampu melihatnya berjalan menjauh menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di depan sekolahnya. Aku terpaku melihat punggungnya yang kemudian hilang di balik pintu mobil.  

Malam setelah itu.. aku mencoba menghubunginya. Lewat SMS dan telepon. Nihil. 

Malam itu tak ada berita tentang dirinya.



Tujuh tahun berlalu sejak dia menghilang di balik pintu mobil itu. Tujuh tahun pula lah aku setia merawat satu-satunya tempat aku mengenangnya. Blog ini.

Aku masih setia menggunakan kata ganti 'gue' untuk menamai semua cerita yang aku lakoni. Masih berusaha berpura-pura bahwa itu hanya cerita rekaan semata. 

Sudah banyak nama orang lain yang aku tuliskan di sini. Semua nama yang bukan nama aslinya. Krisya, Nayla, Kiky, Ayu, semua nama yang bahkan tak mampu mengusir bayang-bayang tentang dirinya. Tujuh tahun berlalu dan aku masih setia dengan buku Marmut Merah Jambu. Entah sudah berapa kali aku membacanya. Entah sudah berapa kali aku jatuh cinta. Aku tetap tak bisa melupakan dia. 

Lalu dua hari setelah aku merayakan ulang tahun ku dalam keheningan malam. Sebuah pesan singkat dari dia masuk ke HP ku. Ucapan selamat ulang tahun darinya dan sebuah stiker kado turut menemani pesan itu. 

Setelah cukup berbasa-basi tentang bagaimana kami menjalani hidup kami. Kami akhirnya memutuskan untuk bertemu. Tak banyak berubah dari dia selama tujuh tahun ini. Masih sama dengan dia yang aku lihat sewaktu menghilang di balik pintu mobil.

Kami menghabiskan waktu bersama di sebuah kedai es krim di dekat sebuah toko buku. Saling bertukar cerita tentang apa saja yang kami lalui hari demi hari. Dia bercerita bahwa setelah lulus kuliah dia berkerja di sebuah perusahaan makanan di ibu kota. Lalu pindah ke Surabaya. Aku juga bercerita bagaimana akhirnya aku bisa menyamainya mendapat gelar sarjana. Dia bercerita kalo dia sempat punya pacar lalu putus. Aku pun juga demikian. Bercerita bahwa di sela-sela jam kerjanya, dia sering mampir membaca blog ku. Seraya berkata, "kamu masih suka bohong ya kalo nulis cerita."
"Iya, aku juga masih simpan buku Marmut Merah Jambunya"

Aku mulai memperhatikan raut wajahnya yang mulai berubah. Seakan ada sesuatu yang coba dia tahan.
Sebuah tarikan nafas panjang terdengar darinya. 

"Ternyata, jatuh cinta itu tak pernah sama ya rasanya. Tujuh tahun ini aku juga beberapa kali jatuh cinta, lalu pacaran, lalu putus. Tapi rasanya nggak pernah lagi sama kayak kali pertama aku jatuh cinta"
"Oh ya.. kapan kamu pertama kali jatuh cinta?"
"Tujuh tahun yang lalu.. sama seorang kutu buku yang suka ngasih coklat yang dititipin sama penjaga sekolah sama suka bikin tulisan" jawabnya. "Kamu tahu, tujuh tahun ini aku mencoba lari terus dari bayang-bayang cinta pertama itu. Dan setiap kali aku berhenti berlari, aku malah tiba di tempat yang sama. Seakan aku hanya berlari di dalam sebuah roda. Berlari dari cinta yang belum selesai."

Es krim dihadapanku kini terasa hambar. Semua telah berubah selama ini. Toko buku yang menjadi tempat kencan pertama kali kami yang terletak tepat disamping kedai ini pun sudah berubah semakin besar. Tempat bimbingannya belajar yang terletak di depan toko buku pun sudah tergantikan warung makan ekstra besar. Tapi kenapa rasa itu masih saja tak mau hilang. Bahkan setelah tujuh tahun berselang.

"Kamu benar tentang semua hal. Harusnya aku sama kamu, bukan sama orang lain. Aku ingin kembali sama kamu. Memulai lagi apa yang telah kita mulai dulu." Tatapannya meneduh. Seiring ucapannya itu aku melihat sebuah beban berat telah mampu ia lepaskan.

"Aku nggak tahu aku harus bagaimana. Mungkin, kalo aku masih aku yang dulu, aku mau memulai lagi apa yang ada dulu. Tapi, aku yang sekarang...." aku menahan kalimatku. "Aku yang sekarang nggak mau sama kamu yang sekarang." 

Dia tersenyum seakan mencoba menyembunyikan air matanya, "Kamu ingat Charlie Brown, tokoh komik peanut yang sering kamu tunjukkan ke aku dulu? Kamu ingat apa yang dia katakan saat dia patah hati?".
"Iya.. No one takes the flavor out of peanut butter quite like unrequited love." Kataku seraya menirukan kalimatnya.
"Dalam kasusku, mungkin uncompleted love. Apa yang aku rasain hari ini, mungkin sama yang dia rasakan waktu dia kehilangan rasa selai coklatnya" Dia mempererat genggamannya di tanganku. "Jangan berpura-pura lagi ya saat kamu menulis. Aku suka tulisanmu, seperti aku suka sama kamu. Jadilah dirimu sendiri, jadilah 'aku' ketika kamu menulis. Jangan bohong lagi."


Dan sisa hari itu pun berlangsung lambat. 

Aku termenung sendiri dikamarku. Mencoba menyusun ingatan-ingatan fotografis tentang dia. Tentang pertemuan singkat setelah masing-masing dari kami berjalan sangat jauh. Dan mulai hari itu aku berjanji untuk menjadi 'Aku' ketika menulis. Mencoba lebih jujur tentang apa yang aku rasakan. 

Bahkan, setelah tujuh tahun berlalu. Ada perasaan yang tak pernah berubah. Ada perasaan yang tetap sama. Ada asa yang ingin selalu menyala. Ada cinta yang ingin selalu berulang. Tapi kami bukan lagi orang yang sama. 

Setelah selama ini... kenapa..

Selai kacang di lidahku, masih saja terasa hambar..

14 Responds