Film Review: Susah Sinyal

9:58 AM

Mungkin bohong rasanya jika alasan lebih dari sejuta orang, termasuk aku,  menonton film Susah Sinyal bukan karena kesuksesan film yang disutradari Ernest Prakarsa sebelumnya: Cek Toko Sebelah. Film yang meraih begitu banyak penghargaan ini, agaknya menjadi sebuah beban tersendiri untuk karya Ernerst selanjutnya.

Sejak Ngenest, kalau diperhatikan dengan saksama, Ernest selalu mengangkat tema sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Pun tidak luput dengan film teranyar Susah Sinyal ini. Riuhnya ruang sosial, padatnya lalu lintas pesan, borosnya paket data ternyata memakan banyak sendi kehidupan. Pertemuan dan obrolan adalah dua hal yang paling banyak termakan dari apa yang sering disebut orang dengan kemajuan. 


Ngambil dari Twitternya Arie Kriting


Ernerst cermat dalam hal ini dan mengandaikan jika setiap orang yang kehilangan sosok kemajuan ini. Awalnya tentu banyak orang yang berpikir bahwa kehilangan sinyal akan membuat semua perkara menjadi runyam, urusan sederhana berubah menjadi pelik, apalagi untuk seorang pengacara sekelas Ellen (Ardinia Wirasti) yang sedang menangani kasus perdana di firma yang usianya belum seberapa. 

Namun, nyatanya tidak demikian. Kecewa rasanya bagaimana rasa kesusahan mencari sinyal itu mendadak hilang begitu saja berganti kepasrahan yang gitu saja. Hal sedikit berbeda ditunjukkan oleh Kiara (Auora Ribero), remaja, usia SMA, yang juga seorang selebgram. Susah Sinyal tentu membuatnya meradang. Kiara jadi tidak bisa update stories, tidak bisa dengan leluasa meng-upload video endorsement-nya, pun mengabari dunia maya bahwa dia sedang terlihat bahagia. Semua itu karena, seperti kata Melky (Arie Kriting) dan Yos (Abdur), sinyal di Sumba itu GSM (Geser Sedikit Menghilang). Raut muka Kiara pun tak terbendung, indahnya Sumba tak menghilangkan penyesalan keputusannya untuk liburan bersama Ibunya. 

Kalau boleh dikata, sebernarnya cerita Susah Sinyal itu cukup berhenti pada itu. Pada, entahlah, tak sampai separuh waktu film berlangsung. Sisanya? Yah… Mungkin beban berat kesuksesan Cek Toko Sebelah terlalu berat.

Ngambil di twitter. Lupa dari siapa.


Mungkin aku berharap lebih. Mungkin juga jalan cerita di film ini terkesan banyak tembelan di sana-sini agar tetap terasa komedinya itu di sini! 

Yang sangat terlihat adalah ketika Ellen menangani kasus perceraian Cassandra (Gisela) dengan Marco (Gading). Beberapa scene komedi yang menampilkan mereka berdua selalu terkesan terlalu dipaksakan. Sebut saja ketika Gading muncul kali pertama. Saat bersama dengan Hakim (Soleh Solihun). Kalau memang pembelaannya, Marco bukan orang komedi, ya baiklah. Scene komedi yang terlihat begitu nyata dipaksakan adalah ketika Ellen bertanya kepada seorang panitera persidangan perihal sidang yang molor. Panitera yang mungkin selera humornya ala kadarnya terlihat bingung sembari menjawab asal-asalan tentang kasus yang sedang ditangani Ellen. Jawaban asal-asalan ini yang mungkin dimaksudkan adalah sebuah hal lucu, tapi malah menjadi sebuah blunder.
 
Selain scene komedi yang dipaksakan, menurutku ada pula beberapa bagian yang terasa ‘diada-adakan demi mendukung jalannya cerita’. Betul. Itu adalah adegan ketika Kiara mengikuti audisi ajang pencarian bakat. 

Mungkin aku sedikit melewatkan beberapa detik adegan, tapi come on, tiba-tiba anaknya Ernest masuk ruang audisi lalu teriak-teriak nyanyi a la screamo


Namun, walaupun ada beberapa hal minor tersebut. Aku tetap akan acungi jempol pada acting komedi yang dilakukan oleh dua Yos dan Melky, sebagaimana acting komedi Ngatno (Dodit Mulyanto) dan Saodah (Aci Resti).  Mereka-mereka adalah tokoh-tokoh yang tetap menjaga jalur film Susah Sinyal ini agar tetap bernuansa komedi. Di film ini, agaknya Ernest sedikit mendorong Yusril Fahriza yang di film Cek Toko Sebelah berperan sebagai Naryo. Karena, praktis sepanjang film, ia hanya mengucapkan satu dua kalimat saja saat berperan sebagai asissten Cassandra.

Hal lain yang entah sengaja ingin ditunjukkan atau tidak, Susah Sinyal ini banyak mengangkat perjuangan para tokoh perempuannya. Sisi feminism kental ditunjukkan pada film yang 80% pemerannya adalah wanita. 

Ellen terutama. Sebagai seorang orangtua tunggal yang harus berjuang menghidupi anak semata wayangnya digambarkan begitu apik sebagai sosok yang tangguh. Sosok yang punya independensi tinggi terhadap segala hal yang baik dan tidak baik untuk dia. Bahkan ketika Iwan (Ernest) pada satu scene bilang, “kamu kalau enggak percaya sama aku, percaya sama siapa?” (yang kalau aku enggak salah catat), Ellen lebih memilih percaya pada dirinya sendiri. Saking ia tidak ingin bergantung pada sosok lelaki. 

Di sini, Ernest mengulik ironi kehidupan Jakarta, kehidupan metropolitan. Di mana untuk kebanyakan orang menunjukkan rasa sayang kepada orang keluarga, anak terutama, adalah dengan memberinya barang atau pun uang. Sebuah hal yang kemudian disanggah oleh Asri Welas yang tampil sangat ciamik dengan gaya khasnya. Si Pemilik Humba Resort ini bilang kepada Ellen bahwa hanyalah waktu yang merupakan hal terbaik yang bisa diberikan kepada orang yang kita sayangi. Tidak ada hal lain. 

Ellen yang seorang pengacara berpengalaman lebih dari 12 tahun pun tak punya banyak pembelaan dengan hal ini. 


Mendekati akhir cerita, Ellen berusaha mati-matian untuk kembali mendapatkan perhatian dari Kiara. Berusaha mendapatkan apa yang hilang termakan kemajuan zaman dan kebutuhan. Namun, jauh di lubuk hatinya, wanita sekuat Ellen mengalami ketakutan. Ia takut bahwa Kiara tidak bisa sayang kepadanya seperti Kiara sayang kepada Oma nya…


0 Responds