Lelaki di Tepi Pusara

1:57 PM

**)

“Bahagia adalah memasuki hatimu
yang lapang dan sederhana,
hati yang seluas cakralawa…*”


Pertanyaannya. Siapa yang tahu seluas apa cakrawala itu? Dan bukankah, jika hati itu memang seluas cakrawala, artinya kita… bisa jadi bukan satu-satunya orang yang singgah di sana? Lalu, bagaimana kita bisa rela di hati sesorang yang kita sayangi masih ada sebuah tempat untuk orang yang bukan diri kita? Ada tempat singgah untuk orang lain dari masa lalu…

Pertanyaan itu dan puluhan tanda tanya lainnya kini masih menggantung tak kentara di atas kepalaku, di bawah langit-langit kamar ku yang kini mulai redup. Aku masih belum bisa memejamkan mata ini, walaupun sudah berjuang selama beberapa jam. Aku masih memikirkan tentang permintaan lelaki itu kepadaku sore sebelum aku mengantarkannya ke rumah kakaknya di daerah Kemang Selatan. 

“Besok aku kenalkan ke seseorang ya…” 

Seseorang? siapa lagi, pikirku.

Sudah hampir dua tahun kami sibuk membangun cerita bersama. Aku sudah kenal semua anggota keluarganya; bapak, ibu, adiknya, kakak perempuannya yang seorang guru di salah satu SMA favorit di Jakarta, dan suami kakaknya yang seeorang staff pengajar di Universitas terkenal. Lalu siapa lagi?

Aku tenggelam dalam kegelisahan-kegelisahan yang aku buat-buat. Gema suara adzan shubuh mulai saling sahut-menyahut di luar sana. Astaga! Sesegara mungkin aku coba mengenyahkan pikiran itu dan coba memejamkan mata.

Pagi itu, lelaki itu datang 15 menit lebih cepat dari yang dijanjikannya. Selalu seperti itu, selalu 15 menit lebih cepat. 

Aku masih belum selesai membenahi alisku, belum selesai mewarnai bibirku, dan belum selesai dengan hal ini-itu lainnya. 

Dan seperti biasa, lelaki itu menunggu di sofa yang ada di ruang tengah. Aku sendiri yang meminta dia untuk selalu menganggap rumah ini ada rumah miliknya juga, dia bisa kapan saja pulang ke sini. 
Ini hari Sabtu, dan di ruang tengah kini aku mendengar suaranya lelaki itu sedang bercanda dengan adik perempuanku satu-satunya. Dia sedang libur kuliah dan memilih menyibukkan dirinya dengan tumpukan DVD film dan beberapa cup ice cream. Ya, Tuhan! Ini masih terlalu pagi untuk ice cream, pikirku.. 

Aku turun ke ruang tengah dari kamar ku di lantai 2 dan sedikit terkejut melihat lelaki yang kini sedang duduk santai itu. Tidak biasanya dia mengenakan kemeja lengan panjang dan rapih seperti pagi itu. Wangi pewangi badannya menyerbak saat aku berada cukup dekat dengannya.

“Hai, selamat pagi.” Sapanya dengan ujung bibir yang terangkat ke atas.

“Selamat pagi… tumben rapih amat. Emangnya kita pagi ini mau kemana sih?” Tanyaku kemudian.

Keterkejutanku ternyata belum selesai, di sebelah tempatnya duduk tergeletak setangkai bunga mawar merah muda. Romantis sekali lelaki ini, datang pagi-pagi ke rumah ku dan membawakan setangkai bunga dengan warna kesukaanku. 

“Itu… Bunga buatku?” Kataku sambal melirik ke arah bunga itu.

Lelaki itu kemudian menggamit bunga itu dan berkata, “Bunga ini bukan buatmu. Bunga ini buat seseorang yang akan aku kenalkan ke kamu, nanti.”

Kegelisahanku semalam agaknya benar. Lelaki itu tidak akan mungkin memberikan bunga kepada cowok lain, jadi aku berasumsi bahwa bunga itu untuk seorang perempuan lain. Perempuan lain? Siapa? Bukankah yang jadi pacarnya sekarang adalah aku! 

“Yuk… “ Katanya membuyarkan lamunanku.

***

Pernahkah kalian menonton FTV? Di mana tokoh protagonisnya bisa jatuh cinta di tempat yang bahkan tidak ada kesan romantisnya sama sekali? Hal seperti itu awalnya aku kira hanya sebuah rekaan yang tak akan terjadi di dunia nyata ini. Namun, aku salah! Ini kali pertama aku salah, dan itu mematahkan anggapan bahwa wanita tidak pernah salah. Ternyata di tempat tak terduga sekalipun, aku menemukan sesuatu yang tidak aku sangka sebelumnya

Aku berjumpa dengan lelaki itu di sebuah warung bubur ayam langganan ku pada satu pagi yang teduh. Saat kali pertama bertemu itu, dia menyunggingkan sebuah senyum ramah ke arahku yang hanya aku balas dengan muka datar tipikal orang yang baru bangun tidur. There was no spark in sight at those time.

Dan sedihnya… itu bukan pagi pertamaku bertemu dengan dia. 

Entah karena aku juga merasa penasaran dengan dia atau memang aku tidak bisa menemukan tempat sarapan lain. Di pagi-pagi lain aku juga bertemu dengan dia, di tempat yang sama, duduk di kursi yang sama dan menghadap ke tempat yang sama. Aku mengira, dia akan menjadi lengganan baru Bubur Ayam Mang Ujang ini. Hingga, aku lupa pada pagi ke berapa, dia mulai menyapaku dan setelahnya kami mulai saling mengenal, mengobrol, dan mengikat janji untuk bersama menuliskan sebuah cerita yang akan menjadi sebuah warisan untuk dikenang. Most of time, beauty lies in the simplest of things.

Dan kini sudah hampir dua tahun sejak pagi itu…

***

“Kita mau ke mana sih?” tanyaku ketika kami sudah hampir 10 menit berada di jalan. Lelaki itu lantas merogoh saku depan kemeja hitam lengan panjangnya, mencari secarik kertas dan mengeluarkannya. Dia lalu menunjukkannya tulisannya ke arahku. “Pemakaman?” aku coba mencari penjelasan. 

“Kita mau ketemu siapa di sana?” imbuhku,

“Nanti kamu pasti tahu…” jawabnya enteng.

Sabtu adalah waktu di mana beberapa ruas jalan Ibukota mencapai titik kulminasi kemacetannya. Itulah sebabnya kemarin sore dia memintaku untuk pergi pagi-pagi agar kami tidak stuck di jalan. Perkiraannya benar dan selalu benar, satu hal yang aku benci dari dia adalah: dia benar! Hampir untuk setiap hal. Beberapa jalan yang kami lalui terlihat cukup lancar hingga kami sampai di sebuah pemakaman yang terletak di timur Jakarta kurang dari 1 jam perjalanan.

Matahari merambat pelan ke balik selimut awan abu-abu, seakan Tuhan pun menyetujui perjalanan ini dan memayungi kami berdua. 

Tepat di muka pintu pemakaman itu aroma bunga-bunga dari pedagang di sekitarnya menguar, berpadu padan dengan wangi kamboja, dan wangi parfum para pelayat yang datang. Di salah satu sudut pemakaman, aku melihat beberapa rombongan orang. Baru saja ada yang dimakamkan, dugaku. Itu terlihat dari karangan bunga yang ada di sekitarnya, dan beberapa orang terduduk di samping pusara sedang berjuang dengan air mata yang tak kunjung reda.

Lelaki itu jalan di depanku, menggandeng tanganku dengan tangan kanannya. Memastikan bahwa aku tak tersesat di belakangnya. Setelah berjalan beberapa meter, kami sampai di sebuah pusara yang ada di tengah pemakaman ini. Di sana, aku melihat sepasang suami istri dan seorang anak perempuan yang kutaksir seumuran dengan adikku tersenyum melihat kedatangan kami. Aku bisa pastikan senyum itu memang ditujukan kepada kami karena tidak ada lagi orang yang berjalan searah dengan kami. 

Lelaki itu menyalami mereka satu per satu dan memberikan sebuah pelukan kepada seorang ibu yang ada di sana. Aku memberikan sebuah salam hormat dengan menundukkan kepala dan melayangkan sebuah senyuman. Lelaki itu mengenalkan mereka kepadaku, dan barulah aku sadar bahwa mereka adalah keluarga lelaki-ku yang lain. 

Aku ingin bertanya siapa yang kini terbaring di pusara yang ada di depan kami sebelum pada akhirnya mata ku menangkap sebuah nama di batu nisannya. 

(Yu)Anita Wulansari Damayanti 
Lahir: 12 Juni 1990
Wafat: 11 Juni 2008

12 Juni? Itukan hari ini, pikirku kembali. Jadi siapa perempuan ini? Apakah dia salah satu penghuni hati seluas cakrawala itu? Apa yang terjadi kepadanya? Dan apa hubungannya dengan lelaki berkemeja hitam ini?

Pikiranku mulai melayang lagi. Melayang ke sebuah tempat yang tak dikenali, mencoba meraih teka-teki tentang sosok yang kini terbaring di pusara itu.

Lelaki itu mulai duduk di tepian pusara. Tangannya membelai lembut batu nisan yang bertuliskan nama itu. Segera setelah menaruh setangkai mawar merah muda itu, kepalanya menunduk. 

Tanganku digamit oleh sosok ibu yang tadi berada di pusara ini. Seorang ibu yang kemudian mengenalkan namanya dan mengizinkanku memanggilnya dengan sebutan tante itu mengajakku untuk memberi ruang sendiri bagi lelaki itu. 

“Namamu siapa?” tanyanya lembut sewaktu kami sudah menemukan tempat untuk mengobrol.

“Saya Adisty, tante”

“Pacarnya dia ya?” yang hanya aku jawab dengan sebuah anggukan kecil.

“Pantesan cantik…” lanjutnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk kecil dan menunduk malu.

Tante menggenggam tanganku dan seolah tahu apa yang ada di pikiranku, tante mulai bercerita. Dari cerita itu lah aku tahu bahwa perempuan yang ada di pusara itu adalah pacar dari lelaki itu saat masih SMA. 

Dari cerita tante, aku sempat merasa iri dengan hal-hal bodoh dan terdengar menyenangkan yang lelaki dan perempuan itu lakukan semasa mereka berdua. Dari tante, aku juga tahu bahwa semasa SMA lelaki itu pernah menduduki peringkat pertama di kelasnya karena semua PRnya dikerjakan perempuan yang sering dipanggil Nita itu. 

Dari tante aku juga tahu bahwa ternyata Mbak Nita, entah kenapa aku tiba-tiba merasa akrab dan memanggilnya dengan kata sandang, mengidap sebuah penyakit yang pelan-pelan menggerogoti dirinya. Hingga sampai pada akhirnya Mbak Nita tidak kuat lagi dan menjelma menjadi kunang-kunang yang hanya bisa lelaki itu kenang.

Mbak Nita pergi sehari sebelum ulang tahunnya. Sehari, saat lelaki itu sedang sibuk memilihkan sebuah kado untuknya. 

Dan setelah itu, kata tante, lelaki itu selalu menghukum dirinya sendiri. Lelaki itu menghakimi dirinya sendiri sebagai seorang yang tak peduli dengan kesehatan orang lain dan orang yang hanya tahu bersenang-senang tanpa kenal waktu. 

“Itulah kenapa selama empat tahun dia tidak berani ke sini, menjenguknya.” Kata tante yang diiringi deraian air mata. Refleks, aku memeluk tubuh tante dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. “Padahal kalau kamu tahu, Nita sangat senang sekali waktu bersamanya walau kondisinya seperti itu.” Tante melanjutkan ceritanya.

“Setiap malam, sebelum tidur, Nita selalu cerita kepada tante tentang harinya bersama lelaki itu.” Kata tante sambil wajahnya memandang lelaki di tepi pusara itu. “Saat menjalani terapi pun dia tak pernah absen untuk menemani dan selalu menyakini bahwa semua akan baik-baik saja. Dan itu yang menguatkan Nita.”imbuh beliau.

Dari tante aku menjadi tahu bahwa selama sakit, Mbak Nita seakan lupa dengan sakitnya karena selalu ada lelaki itu bersamanya. Dia selalu membuatnya tertawa dengan candaan-candaan yang aslinya tidak terlalu lucu itu. Itulah kenapa Mbak Nita, dalam surat terakhirnya ia meminta untuk menulis suku kata terakhir nama depan lelaki itu di nisannya. 

Sembari mendengar cerita dari tante, pikiranku mengembara lagi. Aku mencoba mencari tahu mengapa kita harus dihadirkan, dipertemukan dengan sesorang yang nantinya akan menjadi terlalu berharga untuk kita kalau pada akhirnya kita harus dipisahkan.

Why would you come into someone’s life just to leave?



“Berapa usiamu sekarang?” pertanyaan tante itu membuyarkan lamunanku.

“23 tahun tante.”

“Jika Nita masih ada, dia sekarang pasti seusiamu dan pasti akan secantik kamu.”

“Tantee…” jawabku manja.

Sambil mengusap lembut kepalaku, tante berkata, “Tante punya satu permintaan untukmu”

“Apa tante?”

Things used to be different, now. Setelah kehilangan, dia memaknai semuanya secara berbeda.” Kata-katanya tercekat, tante seakan menahan sesuatu yang terlalu pedih untuk dikatakan. Hingga, setelah beberapa hembusan nafas beliau melanjutkan.

“Dan untuk beberapa lama setelah Nita pergi, teman-teman terdekat Nita menuduh dia adalah penyebab Nita pergi. Mereka menghakiminya yang seakan dengan sengaja mengajak Nita untuk selalu pergi bersenang-senang tanpa sekalipun memperdulikan kesehatannya. Mereka menghakiminya sebagai penyebab Nita pergi selamanya.”

“Kok mereka seperti itu tante” kataku dengan nada yang terdengar naik dan melepaskan sandaran kepala ku dari pundaknya tante.

“Itu lah kenapa tante ingin meminta kamu untuk berjanji tidak melakukan hal yang sama. Jangan hakimi dia ya… Temani dia, jaga dia untuk tante dan Nita ya. Kamu itu mirip sama anaknya tante.”

“Tante cukup senang dia masih mau berkunjung ke sini. Nyekar, kalau bahasa Jawanya,” sambil mengeratkan genggaman tangannya. “I am so grateful because he always has a piece of her in him.” 
Dan aku pun hanya bisa membalas menggenggam tangan tante hari itu.


Jelang tengah hari, matahari makin malu menampakkan diri. Awan abu-abu bergulung pelan dan mulai menitikkan airnya. 

“Hey! Kamu mau pulang nggak? Udah mau hujan ini.” Seru tante kepada lelaki yang masih duduk di tepian pusara itu.

“Sebentar lagi tante..” Jawabnya tak kalah seru.




Aku sadar bahwa sering kali yang lebih mengganggu bukan dogma tidak enak untuk seseorang yang patah hati adalah bahwa ia tidak akan bisa menemukan cinta lain setelah ditinggal pergi, tapi dogma internal dari orang yang patah hati yang menyebut dirinya tidak akan pernah dapat mencintai lagi. Dan, aku cukup bangga kepada lelaki itu karena ia mampu melampauhi dogma itu walau butuh waktu yang cukup lama. Aku menjadi lebih bangga karena aku adalah orang yang ia percayai akan mampu membuat hatinya utuh lagi. Dipercayai itu selalu menyenangkan. 

Aku memang tak pernah tahu seluas apa cakrawala hati itu. Aku memang tidak pernah tahu siapa-siapa saja yang bersembunyi di hati lelaki itu. Namun, selama aku bisa selalu berarti buatnya, aku pasti akan selalu mendapat tempat di hatinya…


Ditulis ulang dari Surat Untuk Nita milik Sellenia. P. A. Wijaya
Penggalan puisi berjudul Sajak Balsem untuk Gus Mus, karya Joko Pinurbo *)
Gambar merupakan cuplikan dari video berjudul Kepada Orang Yang Baru Patah Hati, Raditya Dika **)
Gambar merupakan koleksi pribadi ***)

0 Responds