Perpisahan yang Baik

4:23 PM

Perpisahan Baik-baik, salah satu cerpen A.S. Laksana dalam
buku Si Janggut Mengencingi Herucakra


JAKARTA hari itu murung. Sedari pagi langit selalu berpayung langit mendung, namun hujan yang dinanti juga tak kunjung turun. Hari itu adalah Sabtu dan sudah sejak 15 menit yang lalu motor di garasiku sudah aku nyalakan. Iya. Untuk kali pertama sejak entah berapa bulan lamanya, aku pergi untuk malam mingguan. 

Bulan-bulan telah berganti sejak Bintang merayakan ulang tahunnya di kantor seperti yang pernah aku ceritakan. Bahkan, bulan penggantinya pun kini sudah berganti. Dan aku masih belum bisa melupakan tatapan dingin Bintang kala itu. Otakku selalu penuh dengan pelbagai macam tanya yang ketika aku semakin ngotot mencari jawabannya, yang aku temui justru adalah pertanyaan lain. Aku tidak yakin, tapi mungkin benar bahwa kadang kita tak perlu memaksakan untuk mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada. Mungkin kita hanya butuh mengerti bahwa beberapa hal akan tetap indah jika ia masih berupa pertanyaan.

Bulan-bulan setelah riuh ulang tahun Bintang itu, aku habiskan di dalam kubikel. Sapaan dan wajah dingin Bintang selalu memuatku ciut untuk bisa membuka kembali jalur komunikasi di antara kami yang benar-benar bisa dibilang tak baik lagi. Padahal, sebelumnya tak pernah begini. Kalian tahu, kami berteman cukup lama. Kalian juga tahu bagaimana aku jadi suka dengannya. Dan, kalau kalian penasaran bagaimana dua orang yang berteman lalu berubah menjadi terasa asing, aku pun demikian. 

Aku menatap langit yang masih abu-abu, menengadahkan tangan untuk benar-benar memastikan bahwa hujan belum datang. Sebelum akhirnya kembali masuk dan berangkat menuju ke sebuah café tempat kami sudah janjian.



CAFÉ tempat kami janjian begitu ramai sore itu. Seorang pelayan menyambutku yang terlihat kebingungan ketika masuk. Ia mengatakan bahwa ada seorang dermawan yang sedang merayakan ulang tahun anaknya dan mengundang anak-anak dari sebuah Panti Asuhan. 

Seketika terlintas ucapan Bintang di satu malam tak lama setelah ia menyelesaikan satu bab di hidupnya bahwa ia ingin suatu saat mengundang anak-anak panti asuhan ke perayaan ulang tahunnya. Cita-cita yang sangat mulia, pikirku kemudian. 

Setelah aku menyebutkan nomor meja yang kami pesan, pelayan itu dengan sangat ramah mengantarku ke meja kami. Meja kami terletak di pojok dalam café, dekat dengan sebuah jendela yang memamerkan pandangan macetnya Jakarta. Di sana Bintang sudah duduk nyaman ditemani Audrey di sampingnya. Mereka tersebyum menyambutkku datang. Bahkan, Bintang sempat melambaikan tangannya dan semacam memberi sebuah kode agar aku duduk di sebelahnya sambil menyedot segelas Es Coklat. Aku menyambut kode itu dengan baik, tentunya.

Tak lama setelah aku selesai menuliskan menu dan memberikannya kepada pelayan, suara cempreng Ester terdengar. Seperti biasa, walaupun kami menghabiskan weekdays bersama, suara itu layaknya seorang teman yang sudah lama tak saling bersua. Mungkin harusnya suara itu harusnya bisa aku sampaikan ketika bertemu Bintang. 

Ester tentunya datang bersama Adi yang terlihat seperti bertahun-tahun tidak mandi. Dari dahinya, kemilau lampu café bisa sangat jelas terpantul karena saking berminyaknya.  

Seperti biasanya kalau keluarga kecil ini berkumpul, tawa adalah hal yang tak pernah ada putusnya. Seakan kami tidak pernah kehabisan bahan tertawaan. Kami bahkan bisa menertawakan hal remeh mulai dari kemacetan Jakarta, hingga masalah eksistensial manusia. 

Lalu, seketika suasana menjadi sangat berbeda. Hujan yang mulai turun perlahan seakan menjadi sebuah katalis alami untuk percakapan kami. Mereka –Bintang, Audrey, dan Ester - mulai saling pandang satu sama lain. Seakan bingung siapa yang akan memulai pertama. 

Pada kenyataannya, kami semua sudah tahu kenapa kami semua berkumpul di café itu malam minggu itu. Ada banyak hal yang ingin kami rayakan bersama malam itu. Hari itu adalah genap 3 tahun kebersamaan kami menjadi sebuah keluarga kecil yang diikat dengan rasa cinta. Kami juga merayakan peringatan liputan pertama yang kami kerjakan. Dan, malam itu, malam itu kami juga akan merayakan perpisahan kami.

“Mas Yo, Mbak Audrey, Mbak Ester, Mas Adi… Aku pamit ya.” Akhirnya Bintang mulai berkata.

“Bisa kita membicarakan hal lain?” Kataku memotong.

“Tentang apa misalnya?” Ester menyanggah.

“Apa saja, tapi kumohon jangan bicarakan urusan ini sekarang.” Lanjutku.

“Kita udah enggak ada waktu lagi!” Adi menegaskan.

Kita selalu punya waktu, batinku kemudian. Namun, aku sadar memang momen ini adalah momen terbaik yang bisa kami dapatkan untuk membicarakan hal ini. Kami tidak akan mungkin lagi mendapatkan momen sebaik ini. Mengingat, semua dari kami juga sedang diburu waktu.


BINTANG, walaupun kemudian dia tidak lagi berstatus orang magang dan menjadi bagian tetap dari tempat kerja ini, dia tetap memutuskan untuk pergi. Bintang memilih untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah universitas negeri di Jawa Barat mengumumkan bahwa Bintang diterima menjadi salah satu bagian dari mereka di jurusan magister. Dia ingin menjadi sosok pakar di bidang yang ia tekuni selama ini, maka ke sanalah dia pergi. 

Bintang, orang terakhir yang menjadi bagian keluarga kecil ini, menjadi orang pertama yang memilih untuk berani beranjak. Ada getir sendiri ketika awal tahu bahwa Bintang akan benar-benar pergi, walaupun aslinya kepergiannya sudah bisa aku ramalkan sejak malam di mana dia berkata bahwa dia tidak bisa menjadi bagian dari mimpi-mimpiku. Aku hanya belum bisa terima mengapa setiap orang yang aku cintai pergi meninggalkanku. Atau mungkin aku hanya takut untuk memulai dan mulai nyaman memelihara ketakutan itu.

Malam itu, ketika Bintang berpamitan kepada kami semua, aku hanya berharap bahwa tidak ada dari masa lalu di antara aku dan Bintang yang perlu dikenang dengan cucuran air mata.

“Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan lain di sana ya, Bin” Ucapku yang terdengar seperti sebaris kegetiran.

Perpisahan dengan Bintang diikuti ucapan salam terakhir dari Audrey. Setelah menikah beberapa bulan lalu, Audrey memang sudah paling dulu mengutarakan keinginannya untuk tingga bersama suaminya dan menjadi ibu rumah tangga yang baik dengan dua anak yang mereka cita-citakan. 

Kabar mengejutkan justru datang dari Adi dan Ester. Ester dengan suara sangat berat berkata bahwa hubungan yang mereka jalin selama bulan-bulan ini tidak berjalan dengan baik. Lebih banyak ketidaksepahaman-ketidaksepahaman dalam cerita yang mereka jalani, ditambah dengan tingat egoisitas mereka yang terlalu tinggi, akhirnya membuat hubungan mereka yang baru seumur jagung harus berhenti.

Tiga perempuan di keluarga kami. Tiga perempuan dengan menu pesanan yang sama malam itu, berbagi duka dan kesedihan yang sama. Ester terisak ketika mengakhiri ceritanya. Adi, sebagaimana seorang lelaki lainnya, memilih hanya berdiam diri dan tidak memberi komentar apa pun. 

Aku memilih untuk memandang keluar jendela, melihat pada hujan dan liuk angin yang membawa selembar daun pergi. Hujan hari itu bukan membawa sendu kepada kami. Hujan malam itu mengajarkan kami tentang keberanian. Keberanian untuk mengejar apa yang kami impikan. Keberanian untuk melepaskan.

Lalu yang terdengar hanya diam. Dan dentang jarum jam yang menghantam. Juga rintik rinai lembut hujan yang saling balapan dengan mobil-mobil yang terjebak kemacetan.  Aku menerka-nerka apa yang akan terjadi kemudian. Akankah akan muncul pelukan atau ciuman? Atau yang muncul malah sebuah haru, pilu, dan sebuah tangisan? 


Namun, aku tahu bahwa terkadang ada yang memang harus pergi dan menghilang tanpa perlu sebuah tangisan maupun lambaian [1]




HARI sudah berganti ketika aku sampai di kost-an. Sebelumnya Bintang sempat memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumah. Aku sungguh merasa sangat senang akhirnya kami bisa punya waktu berdua saja malam itu. 

Kepadanya yang duduk di sadel belakang itu aku bercerita bahwa aku jauh di dalam lubuk hati, aku masih berharap untuk bisa bersamanya. Aku bercerita bahwa aku masih cinta dengan dia. Dan karena dia akan pergi setelah ini, rasanya aku tidak akan tinggal di Jakarta lagi. Jakarta bagiku tidak lebih dari surga penghasil luka. 

Kepadanya aku bercerita bahwa aku senang sekali dia bisa melanjutkan mimpinya di tempat baru. Kepadanya aku berharap bahwa di tempatnya yang baru, dia masih dan terus menjadi Bintang yang tahan banting. Menjadi Bintang yang selalu benderang.

Kepadanya aku berjanji bahwa dia tidak akan pernah karam dan meminta belas kasihan kepada orang lain yang punya hidup yang lebih nyaman.Kepadanya aku bercerita bahwa aku ingin menjadi berani.

Aku baru selesai merapikan beberapa barang yang berantakan di kamarku ketika adzan shubuh menjelang. Aku sudah cukup lama meninggalkan kewajiban itu, lalu setelah membasahi diri dengan air wudhu, aku menjerang sajadahku. 

Saat itu lah aku menyadari sesuatu, bahwa Tuhan ternyata selalu mengabaikan doaku dan tidak bersedia menolongku. Lalu, sekarang Bintang pergi. Aku bahkan tidak tahu apa doaku untuknya setelah kami berpisah hari itu [2] ….



[1] Tiga Perempuan, karya Agus Noor
[2] Perpisahan Baik-baik, cerita di Kumpulan cerpen Si Janggut Mengencingi Herucakra karya A.S. Laksana

0 Responds