Kiat Untuk Bahagia

1:37 PM

KENANGAN. Bagaimana sebenarnya ia bergerak? Apakah ia bergerak lurus ke depan membawa kita melupakan semua suka dan luka yang pernah ada? Ataukah ia bergerak ke belakang, menyeret kita ke dalam sebuah sumur gelap penuh penyesalan? 

Mungkin kebanyakan yang terjadi adalah yang kedua. Awalnya aku kira juga begitu. Namun, justru hal sebaliknya yang aku rasakan malam ini ketika sebuah undangan berwana putih bercampur warna krem dengan aroma melati datang bersama gerimis yang turun dengan kecepatan sedang. Aku kenal betul nama pengantin perempuan yang namanya tercetak di undangan itu. Aku kenal karena aku pernah punya kenangan bersamanya. Dulu.



Itu adalah sebuah Minggu pagi yang hangat selepas misa selesai. Aku baru saja menyelesaikan beberapa halaman koran Minggu di sebuah warung Soto Banjar yang ada di depan sebuah gereja, saat perempuan berkuncir kuda itu datang dengan senyum mengembang. Dia memelukku dari belakang dan melayangkan sebuah ciuman ringan di pipi kananku sambil berkata, “Ini berkat untukmu pagi ini.”

Tapi tunggu dulu. Sebelum kalian menghakimi kami sebagai sepasang manusia yang suka mengumbar asmara di tempat terbuka, kalian salah. Bahwa dia memelukku pagi itu di sebuah warung soto itu benar. Namun, perlu kamu ketahui bahwa warung itu, saat itu, pagi itu, sedang dalam kondisi sepi pelanggan. Itulah kenapa perempuanku berani melakukannya. Ibu penjual soto pun sudah mafhum, mengingat kami adalah pelanggan setianya selama bertahun-tahun.

Bertahun-tahun? Iya. Aku dan perempuanku memang sudah menjalin hubungan selama tujuh tahun. Kalian boleh mengejek dengan bilang, “Itu pacaran atau kredit kendaraan? Lama amat!” Bebas. Kalian boleh bicara apa saja. Karena sejatinya aku dan perempuanku tidak pernah peduli dengan ujaran-ujaran seperti itu. 

Kami menjalani hubungan dengan cara yang hanya kami pahami. Kami menyelesaikan letupan-letupan ego yang menghiasi hari kami juga dengan cara yang hanya kami pahami. Dan kami bahagia dengan cara itu. Dan itu cukup.

Kami berpacaran sejak aku masih ada di semester lima dan dia setahun di bawahku. Kini aku bekerja di sebuah agensi periklanan, menjalani satu-satunya hal yang bisa aku lakoni: Menulis. Iya. Aku menulis banyak, aku biasa menyebutnya copy, untuk berbagai macam klien. Perempuanku baru saja menyelesaikan studi sarjananya dan memilih melanjutkan ke tingkat magister sembari sesekali menjadi asisten dosen di kampusnya. 

Oh. Aku lupa memperkenalkan kalian dengan perempuanku. 

Namanya Bintang. Dan seperti namanya, dia memang sangat cantik. Banyak orang melekatkan kata sangat di depan sebuah kata sifat sebagai salah satu cara gampang menyederhanakan permasalahan yang rumit. Aku bisa saja bercerita bahwa Bintang memiliki postur yang menawan. Matanya segaris bagaikan bulan sabit, namun punya sorot mata tajam yang sampai kini selalu mampu merobek-robek hatiku. Bibirnya merekah dengan warna merah yang tak pernah musnah. Terkadang serasa ada godaan tak tertahankan untuk melumatnya jika bibir itu sedang basah. Rambutnya selalu dikuncir kuda dengan pita warna hijau tosca. Dia adalah orang yang lebih percaya bahwa wanita dinilai dari kapasitas otaknya, bukan dari seberapa besar isi bra atau seberapa banyak belahan yang ia punya. Untuk itulah kemanapun dia pergi, sebuah buku tak pernah tanpa sengaja ia lupa. Daftar ini bisa kuperpanjang sampai beberapa halaman, tetapi mengingat cerita ini ditujukan bukan untuk menceritakan sosoknya. Maka, mari sepakat saja untuk menyebut Bintang dengan sebutan sangat cantik.

Sebagai asisten dosen sekaligus mahasiswa pasca sarjana, kesibukkan Bintang tentulah tak ada cela. Seringkali ia harus membatalkan janji yang sudah kami atur jauh-jauh hari untuk sekadar makan atau bertukar cerita demi sebuah penelitian. Untungnya, pekerjaanku yang tak punya jam kerja ini membuatku tak terlalu merisaukan hal sepele semacam itu. 

Seperti yang sudah aku ceritakan, kami menjalani sebuah hubungan dengan cara yang hanya bisa kami pahami sendiri.

Namun, aku juga perlu memberitahu kalian bahwa begitu kami bersama, rasanya 24 jam tak ada apa-apanya. Bintang sangat suka sekali bercerita. Bahkan aku pernah berkelakar bahwa dia bisa menceritakan kepada kalian tentang kisah perang terbesar yang pernah ada dalam sejarah, Bharatayuda, secara terbalik. Aku suka mendengarkan dia bercerita. Kadang selalu ada hal-hal baru yang kita dapatkan dari mendengarkan. Bersama Bintang, aku selalu mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru setiap kali dia bercerita. 

Pernah di suatu waktu, hujan turun dengan membabi buta. Untungnnya, saat itu kami berdua sedang tidak ingin pergi kemana-mana. Libur panjang berbumbu hujan tentunya membuat jalanan Jogja yang dulu aman-aman, kini mulai terbenam. Malam itu, kami membunuh waktu dengan duduk bersama di kontrakkanku, bercerita tentang hal ini dan itu. 

Bintang bercerita bahwa ada seorang staff pengajar di kampusnya yang dia rasa memiliki perhatian berlebih kepadanya. Bintang sudah memperingatkannya bahwa dia telah memiliki pacar yang sangat galak. Yang kalau dia marah dia bisa menelan ayam kalkun bulat-bulat. Tawaku pecah mendengar bagaimana hiperbolisnya perempuanku ini. Yang lebih membuatku terbahak adalah ketika dia bercerita selalu ada intonasi di mana seakan-akan dia serius dengan apa yang diucapkannya dan ada saat-saat di mana suaranya jadi sangat ringan. 

Aku menatap matanya yang terlihat letih dengan bibir yang selalu mencoba tersenyum. Entah karena suasana yang sangat mendukung atau memang nafsu yang terlanjur tak terbendung, sedetik kemudian bibir kami bertautan menyebabkan rasa hangat yang seketika menjalar. Beberapa saat kemudian, Bintang menjadi diam dan hanya menyandarkan kepalanya di pundakku.

Malam semakin tua tetapi hujan tak ingin segera reda. Bintang yang akhirnya terlelap memilih kamarku sebagai pelampiasannya, hal ini artinya memaksaku berpindah ke sofa yang ada di ruang tamu. Dan, aku tak tahu kapan tepatnya, pagi setelah aku bangun tidur, aku tak menemukannya di tempat di mana aku meninggalkannya. Pagi itu yang ada hanya setangkup roti berlapis selai kacang berdampingan dengan segelas susu coklat yang sudah tidak penuh isinya. Di sebelahnya ada sebuah tulisan tangannya, “Menulislah, agar hidupmmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih. [1]”   Aku tertawa membacanya.

Begitulah kami menjalani tahun demi tahun berpacaran kami. Bahwa di antara kami selalu ada tawa sederhana. Bahwa selalu ada nyinyir yang kadang keterlaluan. Dan selalu ada cinta di setiap saatnya. 


Memasuki tahun keenam kami berpacaran, perangai Bintang mulai sedikit berubah. Usia memang tidak pernah mau diabaikan. Bintang tahun itu sudah masuk usia seperempat abadnya. A quarter life crisis ditambahi dengan berbagai gambar tentang kebahagiaan-kebahagiaan semu dan hingar bingar pernikahan membayanginya. Hal yang membuat setiap kami bersama selalu dipenuhi kegelisahan tentang keseriusan cerita yang kami jalani.

Bintang kemudian menjelma menjadi makhluk yang penuh dengan kode-kode yang mengarah ke satu hal. Dan sayangnya aku terlalu bodoh untuk menjadi peka dengan kode-kode yang ia sampaikan itu. Kalian tentunya paham bahwa menebak kemauan seorang perempuan itu lebih susah dari belajar ilmu fructomancy atau ilmu tafsir tentang bentuk, pergerakan, dan reaksi buah-buahan; atau dendromancy, tafsir tentang pepohonan; atau phyllomancy, tafsir tentang dedaunan; dan bahkan belajar tentang xylomancy, tafsir tentang batang dan cecabang pohon [2].  

Ketidakpekaanku ini kadang bisa mengakibatkan percakapan-percakapan tidak baik. Dan seringkali memang demikian. 

“Iyaa. Aku tentu serius sama kamu, sayang,” Kataku suatu waktu. “Tapi ayolah, kita masih muda. Bukankah menyenangkan jika kita bisa mewujudnyatakan hal-hal yang selalu kita ceritakan. Yang kita selalu impikan.”

“Kemudaan bukan sebuah alasan untuk selalu melakukan hal-hal tolol dan tak masuk akal.” Jawabnya kemudian.

“Lalu sejak kapan hal-hal yang kita impikan bersama. Hal-hal yang ceritanya selalu kita bagi berdua, menjadi sebuah hal tolol dan tak masuk akal buatmu?” Ucapku dengan nada sedikit meninggi. 

Sejak itu, banyak hal-hal kecil –seperti saat aku lupa bahwa aku ada janji dengan dia, lupa menjemputnya dari bandara selepas dia melakukan penelitian, dan lupa hari jadian kami—yang kemudian cepat menjadi masalah yang serius. Debat-debat kusir seakan menjadi sebuah kipas yang menambah bara api semakin mengganas. Ego yang selama bertahun-tahun berhasil kami luruh kini menuntut haknya sebagai sebuah pesuruh. 


Perlu kalian ketahui, bahwa aku benar-benar serius dengan hubunganku bersama Bintang. Aku juga terkadang merasa iri dengan teman-teman yang lebih berani dalam menjalin komitmennya. Aku hanya merasa belum siap. 

Ada banyak hal yang membuatku merasa belum siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius dari yang sudah kami jalani selama ini. Salah satunya adalah pekerjaan. Sebagai seorang penulis lepas, penghasilanku bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Aku sudah setia dengan pekerjaan ini hampir empat tahun lamanya. Dan, walaupun sampai sekarang tidak ada hal yang benar-benar bisa aku raih dari menjadi seorang penulis iklan selain bertahan hidup, pekerjaan ini adalah satu-satunya hal yang aku bisai. 

Bayaran seorang penulis seperti ku kadang hanya cukup untuk makan selama sebulan. Kadang tidak. Dan lebih sering aku terpaksa berhutang kepada Bintang untuk sekadar membantuku membayar kontrakkan. Bintang tentunya tidak merasa keberatan. Setidaknya itu yang aku yakini dan itu cukup.
Aku bukannya tidak tergiur dengan tawaran untuk kerja di ibukota dengan gaji yang bisa membuatmu pergi kemana-mana dengan naik kereta kencana. Namun, perusahaan mana yang mau menerima calon karyawan dengan nilai IPK pas-pasan dan datang dari jurusan yang tak dikenal? 

Tentang hal ini bukannya aku coba merahasiakannya dari Bintang. Dia tahu dan sepenuhnya paham. Bahkan dia sempat berkata bahwa dia akan menerimaku apa adanya dan bukan ada apanya. 

Sebagai anak tunggal dari saudagar kaya, Bintang tentunya jarang merasakan apa itu hidup serba terbatas. Aku bagai berhadapan dengan buah simalakama di mana satu sisi aku sangat beruntung memiliki sosok seperti Bintang yang tidak hanya cantik parasnya tetapi juga baik budinya. Namun, di sisi lain, aku merasa takut. Aku takut bahwa setelah hidup bersamaku nantinya Bintang tak akan pernah bahagia dengan segenap kekurangan yang tak pernah kurang dariku. 

Aku sangat takut jika Bintang tak pernah bahagia lagi.

Ketakutan-ketakutan ini aku tabung selama setahun sebelum hubungan kami benar-benar berakhir di tahun ketujuh. Hari-hari semakin kelabu rasanya. Mendung tak mau segera pergi tiap kali kami bersama. Ego sudah menguasai kami dan tidak ada di antara kami yang ingin mengalah. Aku dengan ketakutanku dan Bintang dengan keinginannya. 

Namun, orang hidup harus bersikap. Maka, di sebuah Minggu yang hangat di depan gereja setelah perayaan misa mingguan selesai, aku menjabat tangannya erat-erat. Aku mengangkat tangannya dan menciumnya dengan penuh khidmat. Nafasku terasa begitu berat. Setelah merasa bahwa waktunya tepat, aku berkata, “Bintang, aku minta maaf ya karena aku tidak bisa menjadi orang yang tepat. Seberapa kuat pun aku berusaha, selalu ada batas antara kita yang tidak bisa aku tembus. Yang tak bisa aku lewati. ” 

Air matanya meleleh membasahi pipi, mengalir melewati celah hidungnya. Tujuh tahun bersama menjalin cerita, ini adalah kali pertama aku melihat Bintang yang selalu teguh akan prinsipnya, menangis. Dan lebih parahnya, aku adalah penyebab air mata berharganya itu pecah. 

Mata lelahnya masih mengeluarkan air yang rasanya tak kunjung surut. Ada suara yang coba ia tahan. Yang coba ia paksakan untuk menjadi sebuah senyuman. Kemudian tangannya erat merangkulku. Kami berpelukan. Di depan sebuah gereja tempat kali pertama aku menyatakan bahwa aku jatuh hati padanya. Tujuh tahun silam. 

Hari itu, kami merayakan hari jadian kami dengan sebuah perpisahan. Sebuah perpisahan baik-baik, walaupun aku selalu berpikir memang ada sebuah perpisahan yang baik-baik. Setelahnya, kami saling berpamitan. Langkah balik Bintang yang menjauh, perlahan meninggalkan gemuruh yang kemudian jatuh menjadi hujan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahannya tetap di atas sana dan tidak turun menjadi sangat deras…



Aku masih termangu menatap undangan itu. Dua tahun sudah berganti sejak perpisahan kami. Walaupun belum benar-benar bisa berdamai dengan masa lalu, aku tetap bertekad datang ke pesta pernikahan Bintang yang diadakan di sebuah Minggu di gereja yang menjadi saksi bisu tentang sebuah pertemuan dan perpisahan.

Aku masih sama seperti dulu. Tak banyak berubah selain aku yang kini semakin senang menyindiri. Banyak kawan yang berpikir bahwa aku akan sangat patah hati hari itu. Awalnya aku pun berpikir demikian. Namun, sesampainya di acara pernikahan Bintang, aku malah merasa benar-benar lega dan ikhlas karena pada akhirnya ada seorang laki-laki yang bisa bertanggung jawab dan pasti akan selalu membuat Bintang bahagia. Sementara aku hari itu, masih harus berjuang untuk sekadar mencari pinjaman untuk mengisi amplop agar terdengar santun ketika menghadiri sebuah acara pernikahan.

Aku sadar diri bahwa untuk sekadar mengisi amplop saja, aku masih belum diberi kemampuan. Itulah kenapa aku benar-benar lega ketika melihat Bintang tersenyum bahagia bersama pasangan. Hari itu berlangsung tidak seperti yang aku kuatirkan [3]

Setelah bersamalam, dari kejauhan aku tersenyum ke arah Bintang. Lalu menunduk memberikan penghormatan yang terakhir sebelum akhirnya pergi meninggalkan pesta pernikahan.

diambil dari Pinterest


Sisa hari itu berjalan lambat. Dan aku benar-benar merasa sangat bahagia dengan cara yang hanya bisa aku pahami sendiri. 


[1] Yusi Avianto Pareanom dalam cerita Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari
[2] Yusi Avianto Pareanom dala cerita Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih
[3] Disadur dari Instagram post milik Arie Kriting. Bisa dilihat di https://www.instagram.com/p/BZMTflRnFzo/

0 Responds