Si Gadis Bingung

2:59 PM

credit to: Freepik.com


Gadis bingung itu duduk berpayung langit mendung. Di ujung tatapannya, jauh di cakrawala sana, Sang Senja yang sedang cinta, sedang termenung. Gadis itu termangu duduk di atas batu bersandar punggung. Orang-orang yang melihatnya awalnya merasa bingung, kenapa gadis secantik dia bisa mendadak linglung.

Para lelaki yang dulunya menaruh hati pada Si Gadis itu kini mundur, satu per satu. Beberapa lainnya bahkan mulai merasa jijik dengan sikap Si Gadis yang mulai bingung itu. Warga lainnya menganggapnya telah kemasukan setan penunggu makam keramat, menganggapnya kualat, karena pernah dengan sengaja mengumbar aurat. Namun, tak ada yang tahu pasti kenapa Si Gadis Manis yang dulu menjadi pujaan itu berubah menjadi begini.

Gadis itu tinggal bersama ayahnya yang seorang pemain judi kelas wahid dan peminum kelas unggul. Kadang Tuhan memang suka bercanda ketika menghadiahkan anak perempuan berwajah manis dengan senyum merah merekah indah kepada seseorang yang bahkan absen menyebut namaNya. Ibunya, walaupun tidak bisa disebut sebagai seorang perempuan alim, adalah seorang yang sangat dihormati berkat apa yang pernah dilakukan oleh keluarganya kepada warga sekitar. Ibunya jugalah yang mewarisi wajah ayu nan rupawan ke Gadis itu.

Gadis itu beranjak tumbuh di lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang tidak baik. Semenjak ibunya pergi ke alam baka, gadis itu lebih sering menghabiskan waktunya di dalam kamar. Bermain dengan boneka atau sekadar menggambar. Sering kali, tiap pagi menjelang dan ia harus berangkat sekolah, kakinya harus pintar-pintar melangkah di antara batang-batang tubuh manusia yang tergelar berserakan di depan rumahnya karena terlalu mabuk.

Gadis itu layaknya sebuah oasis di padang tandus. Layaknya bunga manis yang tumbuh dan hidup berkat air dari pelimbahan.

Si Ayah, sejak Gadis itu lahir, memang tidak pernah menunjukkan tanda-tanda ingin merawatnya dengan sepenuh hati. Gadis itu… Buah hatinya itu, baginya tak lebih dari sosok setan kecil yang hanya bisa merengek dan menghabiskan uang. Ketidakpeduliannya ini semakin kentara ketika dia selalu absen dalam setiap pengambilan raport dan rapat wali murid.

Bahkan, Si Ayah ini pernah mengirim seorang pemuda yang tengah dalam kondisi mabuk berat untuk ikut rapat wali murid ketika Si Gadis menginjak usia SMP. Terang saja, Si Gadis itu lalu menjadi bahan cemoohan seisi sekolah. Si gadis dijauhi, karena bagi beberapa orang, menjadi anak seorang pemabuk dan penjudi merupakan sebuah penyakit dan selayaknya penyakit ia musti dijauhi.

Di usia awal SMP ini lah, kecantikkannya yang merupakan warisan ibunya terlihat mulai mekar. Bibirnya yang nampak selalu merah walau tanpa pulasan. Dadanya yang terlihat semakin menggembung, memperlihatkan tonjolan. Rambutnya yang berkilauan, ditambah dengan senyum manis yang selalu ikhlas dia bagikan, seakan membuat semua orang seakan melihat sosok bidadari yang turun dari khayangan.

Merasa khawatir dengan pertumbuhannya yang sangat cepat, Si Ayah dari Gadis ini selalu meminta seorang anak buahnya –yang juga sering menemaninya mabuk-mabukkan- rutin menjemput Gadis itu tiap pulang sekolah. Bagaimanapun, Si Ayah tetap sadar bahwa Gadis itu tetap putrinya, anak dari perempuan yang salah satu perempuan yang ditidurinya. Satu-satunya perempuan yang berani menuntut pertanggungjawaban.

Seorang lelaki pengangguran, sering lontang-lantung tanpa kejelasan, dipilih Si Ayah sebagai orang yang ditugasi untuk mengantar dan menjemput anak gadisnya. Terkadang, karena teralu antusias ketika minum-minum, lelaki ini sering tidur sampai pagi dan melupakan tugasnya mengantar Si Gadis. Kalau sudah begitu, Si Gadis hanya bisa berusaha membangunkannya dengan seember air, lalu menyodorkan sebuah handuk untuk mengelap bekas siraman air di kepalanya. Si Gadis juga sering mendapati lelaki ini menodong teman-teman SMPnya, meminta apa yang disebut jatah preman agar bisa digunakan untuk mabuk-mabukkan. Dan seringkali jika hal ini sudah terjadi, Si Gadis akan buru-buru mengejar temannya itu lalu memberikan seluruh uang saku yang dia punya dan sekaligus membungkukkan badan seraya mohon ampunan.

Lelaki itu terus setia melakukan pekerjaan satu-satunya yang ia miliki –antar jemput Si Gadis- hingga pada satu titik lelaki ini sadar betapa cantikkan anak ingusan yang sering menyiramkan air ke kepalanya. Dipandanginya Si Gadis yang berjalan di depannya. Pantat yang berayun ke kanan dan kiri. Kaki-kaki yang jenjang, putih, dan mulus tanpa bekas cacat sedikitpun. Tubuh tegap lagi semampai. Semua hal yang ia rasa telah ia sia-siakan selama ini, kini mencapai titik kulminasinya. Ditambah pengaruh minuman keras yang belum hilang, membuat nafsu binatang dari lelaki itu muncul.

Segera setelah mengantarkan Si Gadis sampai rumahnya dan memastikan bahwa rumah itu dalam kondisi sepi sebagaimana harusnya. Lelaki itu menguntit Si Gadis hingga masuk ke kamarnya. Perlahan dengan langkah berjingkat lelaki itu mengintip aktivitas Si Gadis dari lubang kunci. Dilihatnya dari lubang kecil itu Si Gadis yang sedang berganti pakaian. Diamatinya setiap lekukan dan tonjolan yang mulal bertumbuh dan berkembang. Kemudian dalam satu hentakan dan dan dalam dekapan, nafsu binatang itu berhasil ia lampiaskan.

Lelaki itu keluar begitu saja meninggalkan Si Gadis yang masih kebingungan. Tak tahu harus berbuat atau mengadu ke siapa, Si Gadis hanya pasrah begitu saja. Matanya masih menerawang, merasakan perih di sela-sela selangkangan. Dalam kepalanya masih tergambar jelas bagaimana lelaki itu dengan buas menyodokkan batangnya ke dalam kemaluannya yang belum sempurna, menyisakan perih yang tak berkesudahan. Anehnya tak ada tangisan setelahnya. Dan, bukan berarti Gadis itu juga menikmatinya.

Kejadian yang begitu cepat itu seperti menyisakan sebuah kehampaan pada diri Gadis itu. Dia semakin menarik dirinya dari setiap pergaulan yang ada. Gadis yang tak berteman dan selalu diremehkan oleh sekolah dan lingkungan itu, kini harus menjalani hari-hari yang begitu sunyi setelah satu-satunya hal yang berharga di dirinya dirampas paksa oleh orang yang suruhan ayahnya.
Ayahnya yang tentu akan lebih percaya pada lelaki itu, karena baginya, tidak pernah ada orang mabuk yang tidak jujur, membuat gadis itu semakin bingung. Setajam-tajam ucapan Gadis itu menghujam ke ayahnya, itu tak akan cukup membuatnya percaya. Hingga pada akhirnya Gadis itu hanya bisa bermandikan buih airmata saking ia merasa terluka.

Waktu semakin tajam berlalu. Anak SMP itu makin hari makin mekar layaknya bunga di tengah musim semi. Wajahnya semakin merona ayu, posturnya semakin semampai, dengan tonjolan dan lekukan yang semakin aduhai.

Namun, bukannya tumbuh seperti mendiang ibunya yang dikenal baik dan santun, Si Gadis malah semakin mirip ayahnya. Kekhawatiran ini semakin menjadi-jadi setelah Si Ayah merasa kehilangan beberapa botol bir yang disimpannya selama beberapa pekan terakhir. Beberapa hari setelahnya di kolong kasur Si Gadis, ayahnya menemukan botol-botol bir yang hilang itu.

Rasa cemas dan takut mendadak menyelimuti ayahnya. Walaupun dikenal sebagai preman yang sudah lama malang melintang, jauh di dalam lubuk hatinya dia tak ingin melihat anak gadisnya tumbuh seperti dirinya. Kecemasan itu semakin menjadi ketika seringkali Si Ayah menjumpai anak gadisnya tengah berada di sebuah lokalisasi tak jauh dari rumahnya.

Di lokalisasi itu, di tempat di mana terbitnya mentari sengaja ditunda, di tempat cinta tak musti merana dan keluar banyak biaya, Gadis itu tengah khusyuk dengan sebotol bir yang ia tenggak dalam kondisi sepenuhnya kafir. Dengan rokok yang terjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya, Gadis itu mulai meracau seiring malam yang mulai lingsir.

Tak ingin anak gadis semata wayangnya menjadi semakin parah, Si Ayah akhirnya memutuskan untuk mengawinkannya. Dan, tebak siapa yang dipilih Si Ayah untuk mengawini anak gadisnya? Benar, kawan. Si lelaki pengangguran yang tiap hari hanya mabuk-mabukkan itulah yang dipilih untuk mengawininya.

Sebuah keuntungan yang juga kedukanestapaan berlangsung dalam satu waktu yang sama. Si Gadis yang tak punya banyak pilihan hanya pasrah begitu saja ketika ayahnya ingin mengawinkannya. Si Lelaki, tentu dia sangat bahagia. Layaknya mendapatkan sebuah harta tanpa harus sungguh-sungguh berjuang untuk mendapatkannya. Di sini kita akan melihat, terkadang Tuhan memang sering kelewatan dalam menulis jalan cerita orang. Tapi, toh Si Gadis tetap menerima perkawinan itu karena ia punya dendam yang harus ia tuntaskan.

Pesta pernikahnnya berlangsung ramai. Semua yang Ayahnya kenal yang kebanyakan adalah preman, pemabuk, penjudi, mucikari, pekerja seks, berkumpul dalam keriaan tak bertepi. Beberapa tamu undangan lainnya adalah mereka yang masih berelasi dengan Si Ibu. Mereka umumnya datang dari warga biasa, yang baik-baik saja dalam hidupnya, bahkan ada beberapa di antaranya adalah tokoh masyarakat sekitar.

Dan sebagaimana pesta-pesta lainnya, pesta pernikahan itu tidak bisa disebut pesta jika tidak dipenuhi dengan kerat-kerat bir. Semua bahagia. Semua bersuka cita dalam tiap tuangan dan tegukan bir.

Menyepi dari ingar bingar pesta, Si Gadis tengah bersiap. Malam itu seharusnya malam paling mendebarkan dalam sepanjang sejarah hidupnya. Malam di mana ia akan merasakan bahwa ada orang yang ingin kehadirannya berarti. Sembari menunggu Si Lelaki yang masih asyik dengan birnya, Gadis itu bersolek.

Pelan dia mengusap paras ayunya dari sisa-sisa bedak dan peluh yang jatuh. Di dalam cermin itu dia bisa melihat baying-bayang ibunya sedang tersenyum. Seakan ingin berkata, tak apa nak, sebentar lagi kedukaanmu akan sirna. Bersabarlah. Lalu, Gadis itu tersenyum, dibukanya laci meja rias dan ditemukannya sebuah belati yang telah ia asah selama seminggu sebelumnya. Ditaruhnya belati itu di bawah bantalnya, dan ditunggunya suaminya datang.

Malam semakin pekat. Namun, pesta penikahan itu tak kunjung tamat. Banyak para pemabuk yang mulai kehabisan bir mulai beralih menuju lokalisasi, surga selama macam minuman memabukkan. Lelaki itu merasa ini lah saatnya. Dia tak perlu merasa khawatir lagi. Malam itu dia bisa menikmati tubuh Si Gadis dengan sepuasnya. Di kepalanya dia sudah membayangkan hal-hal apa saja yang akan ia lakukan.

Mulai dari menciumi tengkup gadisnya. Mengelus tangan hingga meremas dua payudaranya yang menantang. Menelusupkan ucapan-ucapan yang menggairahkan ke telinga gadis itu, lalu membuka pakaiannya dengan sedikit kasar. Lalu ia akan menidurkan gadis itu, mencumbui bagian susu dan berlama-lama di bagian pusar sebelum pada akhirnya membenamkan wajahnya di selangkangan.
Lelaki itu kini tak perlu merasa was-was seperti dulu. Karena hari itu Si Gadis adalah miliknya. Sepenuhnya. Seutuhnya. Hal yang semakin mendorong batangnya semakin terliat mengembang. Dan, tanpa pikir panjang, lelaki itu menggelandang. Menuju kamar di mana ia akan menuntaskan segala nafsu yang telah mencapai ubun-ubun.

Wajah lelaki itu sumringah ketika mendapati Gadis itu, istrinya itu, sedang duduk di pinggir Kasur dengan bersalin baju, memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya yang putih, bersih tanpa guratan cacat sedikitpun. Senyum manja Gadis itu semakin mengundang nafsu kelelakian suaminya datang.
Didekatinya gadis itu, dielusnya paha yang tak ditumbuhi rambut-rambut halus nan kecil itu. 

Disorongkan bibirnya ke arah gadis itu, pelan melumatnya, menyecap manis bibir yang dipulas merah merekah itu. Didorongnya tubuh gadis itu ke arah kasur dan sebelum lelaki itu menuntaskan imajinasinya, belati yang disimpan Si Gadis memotong urat lehernya.

Darah muncrat, membanjiri tubuh Si Gadis dan hampir seisi kasurnya. Lelaki itu, suaminya, merengang nyawa dan terbujur kaku. Sejenak, gadis itu beku, menatap dingin pada seonggok tubuh yang terbujur kaku.

“Andai saja kau mau sabar menunggu, mungkin aku bisa belajar jatuh cinta padamu,” ucapnya menatap tubuh kaku itu.

Bau anyir darah menguar-uar mengisi sela-sela ruangan. Gadis itu duduk di depan cermin dengan sebotol bir di tangan.Dipandangnya bayangan dirinya yang perlahan pudar dan berganti dengan wajah ayu ibunya. “Ibu, dendamku kini sudah sirna. Kini bawa aku pulang, bu.”

Lalu dunia Gadis itu menjadi gelap.



Sebuah keramaian membangunkan tidurnya. Mata gadis itu rasanya sangat susah untuk terbuka tetapi suara-suara itu benar-benar mengganggu tidurnya. Dilawannya kantuk yang teramat sangat, kepala yang berat, dan kelopak mata yang enggan terbuka. Setelah didapatkannya kembali kesadarannya, dia melihat tamu-tamu undangan pernikahannya mengerubunginya. Gadis itu heran, bukankah pesta pernikahannya sudah selesai kemarin malam?

Orang-orang itu heran, kenapa Gadis yang selesai menikah kemarin malam, kini terbangun di tengah-tengah lokalisasi tanpa pakaian. Yang lebih membingungkan, kenapa gadis itu berlumuran darah dan berbau anyir seperti mayat yang masih mentah.

Yang tak kalah bingung dari semuanya adalah Si Ayah. Begitu mendengar anak gadisnya yang baru saja menikah berada di tempat tak semestinya, kantuk dan pening sisa bir yang ia tenggak semalam sirna.

Hal pertama yang Si Ayah lakukan adalah memastikan. Ia masuk ke kamar pengantin anak Gadisnya dan menemukan bau anyir yang menguar begitu pintu terbuka. Ditemukannya lelaki yang dikenalkannya, yang dikawinkannya dengan anak gadis satu-satunya mati di sana.

Geram memenuhi kepalanya Si Ayah. Disahutnya dengan kasar kain di atas jemuran dan dibawanya ke lokalisasi tempat anak gadisnya yang kini jadi tontonan.

Sesampainya di sana, kerumunan memberinya jalan. Diselimutkan kain itu ke tubuh anak gadisnya yang kini menjadi bingung. Dituntunnya pulang bersama dengan kerumunan yang mulai memudar.
Si Ayah tak habis pikir dengan apa yang dilakukan anak gadisnya. Si Gadis tak habis pikir kenapa ayahnya tak pernah paham apa yang dia lakukan. Setiap pertanyaan yang dilontarkan Si Ayah, hanya berbalas tatapan kosong. Hal itu terus-terusan terjadi selama berbulan-bulan hingga pada akhirnya Si Gadis jatuh demam.

Suhu badannya panas meradang, namun yang dirasakannya tak lebih dari dingin yang begitu menusuk tulang. Tak kunjung mendapat perawatan yang sepadan, Gadis itu dinyatakan mati pada Rabu petang. Namun, saat para warga berkumpul untuk mendoakan beberapa jam kemudian, Gadis itu hidup kembali.

Dan sejak peristiwa mencengangkan itu, perangai Si Gadis semakin tidak jelas. Dia pernah menenggak puluhan botol bir milik ayahnya dan mengganti airnya dengan air kencingnya. Tak berhenti di situ, perangai anehnya semakin menjadi-jadi ketika ia berlari dengan tak hanya bertelanjang kaki tetapi juga badan menuju lokalisasi dengan membawa sebuah botol bir di tangannya. Lain hari dia pernah mencuri ayam cemani milik seorang tetangga, lalu mengulitinya dan memakannya di halaman belakang rumahnya.

Si Gadis Bingung itu kini menjadi semakin linglung. Seorang pemuka agama setempat pernah berujar bahwa kegilaan yang dialami Gadis itu adalah cara Tuhan membuatnya lupa atas pengalaman mengerikan yang pernah Gadis itu temui di akhirat.




Kini, setiap sore menjelang petang, Gadis itu akan ada duduk di atas batu di pinggir sebuah jurang. Matanya menatap kosong ke ujung cakrawala. Menikmati sore yang tak selalu berwarna jingga. Pikirannya menerawang mencari-cari apa saja yang hilang. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah bayangan seorang perempuan yang dengan susah ia kenang…

0 Responds