Belajar Mencintai

12:42 PM



Beberapa jam sebelum resepsi pernikahanku, Cahyok meminta sedikit waktu untuk bertemu. Aku baru saja resmi menjadi seorang istri pagi tadi. Di sebuah Altar Gereja aku mengucapkan janji untuk sehidup semati, berusaha untuk setia dalam keadaan suka maupun duka, dengan lelaki yang memasangkan cincin warna emas bergoreskan namanya di jari manisku.

Aku mengiyakan permintaannya, dan meminta beberapa waktu untuk bisa berdua bersama Cahyok, keluarga yang aku temukan ketika aku harus berjuang untuk mendapat gelar sarjanaku di Jogja, beberapa tahun ke belakang. 

“Aku mau mengakhiri ini semua”, katanya selang beberapa detik kemudian. 

Butuh waktu untukku bisa memahami maksudnya, tapi sebelum aku sempat bertanya demikian dia menambahkan. “Aku mau bilang jujur ke Bintang, kalo aku suka sama dia”. Mendengar itu, aku hanya tersenyum. Aku tak merasa kaget sekalipun, karena aku tahu sejak kemunculan Bintang dua tahun lalu, bukan hanya kawanan kami yang ikut bersinar karenanya, tapi Cahyok juga. Dan terutama dia.

Upacara resepsiku dimulai, dengan gaun bernuasa biru, aku berdiri di samping suamiku menyalami satu per satu tamu yang hadir. Alunan musik Jazz mengiringi satu per satu tamu yang silih berganti dan berfoto bersamaku. Di ujung sana, aku lihat Bintang tampil cantik sekali, tanpa kehilangan sentuhan kesederhanaan yang selalu coba ia tunjukkan. Rambutnya digerai panjang, dengan mengenakan dress warna putih dengan hiasan batik biru menempel serasi di badannya.  

Bintang berdiri bersebelahan dengan Cahyok yang mengenakan setelan rapih, berdua mereka sedang antri di salah satu booth makanan. Saling bertukar tawa, selayaknya manusia yang sedang dimabuk cinta. Di sisi berlainan dengannya, aku melihat Adi dan Ester, sepasang sejoli lainnya sedang berada di booth lain. 

Ohiya, perkenalkan namaku Audrey. Aku adalah orang tertua di kawanan yang sangat penuh dengan cerita ini. Terutama dua tahun belakangan. 

Aku kenal Cahyok lebih lama daripada yang lainnya. Aku adalah seniornya di kampus dulu dan seiring kesukaan kami menumpuk waktu, kami menjadi semakin akrab. Kesukaannya pada hal-hal baru selalu membawanya bertemu denganku yang waktu itu aktif di salah satu unit lembaga pengabdian masyarakat. Yang bisa aku kenang waktu itu adalah kejelian dia dalam melihat suatu hal dan menghasilkan sebuah pertanyaan usil yang mengganggu semua orang. 

“Well.. yeah, I annoy people”, katanya dulu. Jawabnya ketika aku bertanya apakah dia punya teman dekat selain aku di kampus tempat kami berproses bersama.

Tahun-tahun selanjutnya aku sudah mulai sibuk bersama teman-teman pecinta alam ketika aku sadar bahwa lembaga pers menjadi pilihannya dalam menemukan jati diri. Iya, mungkin aku adalah seorang anomali dari seorang mahasiswa. Lumrahnya, sebagai mahasiswa, lulus cepat dan segera mendapat pekerjaan adalah hal yang harus menjadi fokus utama. Namun bagiku, kuliah merupakan sebuah kesempatan yang tidak semua orang bisa dapati, maka ketika kesempatan itu ada manfaatkan untuk bisa menemukan siapa dirimu itu, untuk mengenal, dan merenungi akan jadi apakah nanti setelah selesai pada tahapan ini. Yah… kurang lebih itu yang aku katakan sewaktu mengisi Inisiasi di depan junior-juniorku. Di depan dia. 

Sampai akhirnya kami lulus hampir bersamaan. Aku kembali ke Ibukota, mencoba mengail keberuntungan sampai kail-ku terkait di salah satu kantor berita. Untuk beberapa lama, aku hanya bisa bertemu secara tulisan pendek di tab chat dengan Cahyok. Hingga semesta kemudian mempertemukan kami pada suatu pagi.

Aku selalu percaya semesta punya acara kerjanya sendiri. Itulah kenapa aku bisa kembali bertemu Cahyok di kantor berita ini. Dan seiring mengumpulnya butiran-butiran waktu, Adi dan Ester mulai bergabung pada sebuah tim research yang dibentuk oleh atasan kami. 

Waktu tumbuh menjadi tua pada akhirnya juga. Itu adalah saat dia berkata kepadaku bahwa tim ini adalah tempat terbaiknya selama beberapa tahun ke belakang. Dia berkeinginan untuk menjadikan ini lebih dari sekadar tim yang solid. 

“Aku ingin membentuk keluarga di sini, dre”, teguhnya.

Aku sadar, walau hampir selalu bertukar kabar dengannya, dia bukan lah orang yang sama dengan yang aku kenal waktu masih menempuh pendidikan dulu. Sebuah perjalanan panjang membuat sebuah luka akan kehilangan yang begitu mendalam padanya. Dia yang dulunya adalah orang yang selalu cepat akrab dengan orang, kini cenderung menjadi sedikit pendiam. 

Cahyok lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kubikelnya, bergelut dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tugas, hanya itulah yang ada di benaknya waktu itu. Sesekali memang dia sering menghabiskan waktu berdiskusi bersama. Dan setelah itu dia akan kembali ke kubikelnya. Selalu seperti itu.

Dia menjadi malas untuk melakukan segala hal di luar itu. Malas dalam artian yang luas. Malas untuk nongkrong bersama sepulang kerja, bahkan ketika Adi dan Ester menjadi semakin dekat selayaknya sepasang kekasih, dan aku pun juga melakukan hal yang sama dengan suamiku yang sekarang, Cahyok masih malas untuk memulai menceritakan hubungannya dengan seorang perempuan. 

Walau hal ini tidak pernah mengganggu kami. Karena walaupun kami adalah 'keluarga', kami tetap bisa menjaga privasi masing-masing dari kami. Kami percaya bahwa dia bisa mengatasi semua masalah yang dihadapinya. Kami percaya.

Dia juga bukan seorang gay, aku yakinkan itu, walaupun dia memang jarang bercerita tentang hubungannya asmaranya. Beberapa kali, aku sempat melihatnya jalan bersama seorang perempuan. Namun, rasanya itu tak dapat menutupi luka akan kehilangan yang dia rasa.

Dia adalah perempuan yang selalu dibanggakannya sewaktu kuliah dulu yang telah menorehkan luka itu. Perempuan berambut panjang, berkacamata, dengan sedikit noda merah di pipi sebelah kanannya. Berdua, Cahyok dan perempuan itu, selayaknya orang terbahagia sedunia. Berbagi cerita, jalan berdua, dan menghabiskan senja hingga hari berganti bersama. Cahyok, aku rasa, telah terlalu jatuh cinta padanya hingga dia tak bisa jatuh ke tempat yang lain. Hingga sebuah kejadian menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya. Perempuan itu pergi meninggalkannya secara begitu tiba-tiba, tak ada salam perpisahan yang sempat disampaikannya. Perempuan itu pergi begitu saja, mengubah dirinya sendiri menjadi jutaan kunang-kunang yang hanya bisa Cahyok kenang. Sebuah kenangan pahit yang tak terlupakan. Bahkan setelah beberapa windu berlalu.

Lalu, dua tahun lalu, perempuan lain datang. Perempuan yang membawa sinar yang meneduhkan. Perempuan yang selalu punya tawa keras nan renyah. Perempuan yang selalu punya jutaan ton cerita walau selalu kukuh mengaku bahwa dirinya adalah sosok pendiam dan pemalu. Iya. Dialah Bintang.


Kemunculan Bintang di kawanan kami memberi angin segar di antara kami. Cahyok terutama. Seakan dia kembali bergairah dalam menjalani rutinitasnya. Seakan, dirinya yang dulu ikut terbang bersama jutaan kunang-kunang itu telah kembali. Kembali bersama datangnya sosok perempuan pendiam dan pemalu bermata segaris tipis. 

Bintang juga hadir dengan daya tariknya sendiri yang membuat Cahyok keluar dari kubikelnya. Dia bahkan lebih sering menggunakan waktunya untuk berada di Area Bersama yang hanya kami pakai sesekali untuk menyamakan persepsi -- dan curhat ketika kami sudah merasa jenuh dengan kerjaan kami. Di sana dia duduk di sebuah sofa panjang dengan beberapa bantal menghiasinya. Duduk dan bersama Bintang di sebelahnya.

Ditempatkan di divisi yang sama oleh atasan kami, membuat Cahyok selalu bisa menemukan tempat bersama Bintang dalam hari-harinya. “Cinta memang selalu bisa mengembangkan imajinasi dan bisa mendorong orang untuk menentukan posisi”[1], setidaknya itu kalimat yang diucapkan dari seorang Romo dulu. Aku kira itu hanya bagian dari sebuah homili yang tak pernah ada irisannya dengan kenyataan sehari-hari. Namun, aku salah. Setidaknya setelah melihat  kedekatan yang Cahyok dan Bintang jalin bersama.

Kedekatan-kedekatan itu lah yang membuat Cahyok bisa kembali belajar mencintai sedikit demi sedikit.

Hari menumpuk menjadi minggu yang kemudian tertata rapih menjadi bulan. Dan kedekatan mereka berdua pun bisa terasa bukan hanya di kawanan ini, tetapi juga seisi kantor berita. Bahkan aku yakin, andai mereka adalah sosok fenomenal di negeri ini, headline mereka kan menjadi trending topik yang luar biasa.

Namun sayangnya, ketika Bintang datang, dia sudah punya rencana pamitnya sendiri. 

Selasa malam itu, aku menghantarkan Bintang bertemu dengan Cahyok di sebuah café. Aku hanya berhenti sampai depan pintu café dan membiarkan apa yang menjadi urusan Cahyok menjadi urusannya. Aku tak hendak ingin terlibat terlalu dalam dengan urusan hati seseorang.

Sejam sebelum tengah malam, ketika aku dan suamiku baru saja selesai menonton sekuel kedua dari trilogi Before Sunset, pintu rumah diketuk seseorang. Bintang, memang tinggal di rumahku sejak beberapa hari sebelum pesta pernikahan ku, malam itu pulang sendirian. Aku tak melihat Cahyok di luar sana. Tidak sama sekali.

Bintang pulang dengan air mata yang terus berlinang di ujung mata segarisnya. Dia lalu berlari menuju kamar yang ia pakai selama beberapa hari ini. Dia terisak, aku bisa mendengarnya dari luar. Pelan, aku coba dekati dia dan bertanya apa yang terjadi dan kenapa dia pulang sendiri. Bintang memelukku erat dan kemudian bercerita tentang semua yang terjadi malam itu. Dia pergi meninggalkan segelas Lemon tea nya mendingin bersama Cahyok di sana, setelah dia mendengar sebuah kenyataan yang disampaikan Cahyok. Aku mencoba menenangkannya kembali dan menghapus derai air mata yang membasahi pipinya itu. Dia tersedu.

“Aku sebenarnya sudah tahu lama semua soal perasaan Cahyok ke kamu, Bin. Yang mau aku tahu, Apakah kamu cinta sama dia?”, tanyaku.

Dengan masih tersedu-sedu Bintang menjawab, “Dia cinta padaku, Mbak”. Lalu, bulir-bulir embun pun kembali datang di pelupuk mata nya. Kian lama kian banyak hingga hujan mulai berjatuhan kembali dari sudut matanya.

Aku kembali memeluknya.

Mungkin memang ada sesuatu yang datang, terjadi, hanya untuk sia-sia[2]. Pikirku.








[1] Dikutip dari perkataan Romo In Nugroho yang dimuat di twitter Asian Youth Day
[2] Dikutip dari Buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu karya Puthut EA, hal 3.

0 Responds