Kunang-kunang Kenangan

4:06 PM

AKU mungkin akan menyesali keputusanku untuk menggunakan liburanku ini untuk pergi ke kota itu. Ribuan tanya yang terus berlalu lalang di kepala selalu ku abaikan. 

Kenapa harus ke sana? Sedang masih banyak tempat lain yang jauh lebih menjanjikan. Sebut saja lah, Bali dengan semua panorama yang tak mungkin berdusta, atau ke Malang, bercinta dengan hangatnya sinar matahari terbit di puncak tertinggi di pulau ini seperti yang selalu menjadi bagian dari mimpi, atau tetap tinggal di Jogja, kota yang telah mengajarkan bagaimana cara mengubur perasaan dalam-dalam. 

Kota yang telah menjadi saksi segala macam curahan air mata, juga tawa.


Kenapa harus ke kota itu? Kota yang penat penuh dengan orang-orang egois hinggap di dalamnya. Kota yang hanya menjanjikan mimpi-mimpi semu. Kenapa? Kenapa aku harus merelakan tabungan yang aku upayakan berbulan-bulan, hanya demi tiket satu tujuan. Kenapa aku tak pernah mendengarkan apa perkataan orang lain kepadaku? Apa aku sedang merasa jatuh cinta? Tapi pada apa? Aku sudah tak ada cinta lagi yang tersisa. Cinta yang kini terpaku di dada pun kini tampaknya harus segera aku relakan. Apa artinya mencintai seseorang yang kini malah sibuk mengagumi orang lain? 

Mungkin otakku sudah tak lagi bisa mencerna logika-logika yang orang lain dendangkan untukku. Buktinya. Hanya demi melihat kunang-kunang beterbangan di langit malam pun aku rela harus pergi ke Jakarta. 

Aku menyandarkan kepalaku di kaca samping yang kini merefleksikan bayang muram wajahku. Jauh di bawah sana, gumpalan awan berwarna putih cerah   seperti kapas menari-nari. Seolah berkata, "Kemarilah, peluklah aku. Aku akan memberikan kenyamanan yang akan selalu kamu inginkan".

Sudah hampir satu jam aku berada di udara, artinya hanya dalam hitungan menit saja aku akan tiba di sana. Di kota dimana dia sekarang berada. 

Aku tak pernah membayangkan mengapa aku jadi seperti ini sejak dia meninggalkanku dalam kesendirian. Memang, sejak dia pergi sudah lebih dari puluhan kali aku jatuh cinta lagi. Bahkan, saat ini aku pun sedang merasakan yang demikian. Tapi, satu hal yang sangat jelas. Jatuh cinta lagi rasanya tak akan pernah sama.

Rasanya aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu. Aku lupa, 7 atau 8 tahun yang lalu. Aku tak pernah berani menghitung hari setelah dia pergi tanpa ucapan perpisahan. 

Aku ingin kembali ke sana. Ke sebuah bukit dimana kami sering duduk bersama. Dari mentari yang masih panas menyengat hingga ia menjadi muram dan tenggelam di pelupuk cakrawala. Aku ingin dia memelukku lagi, menyandarkan kepalanya di pundakku, dan mendengarnya mengejekku karena aku punya pundak yang tak layak dijadikan sandaran. Tapi dia tetap melakukannya, katanya "Cinta yang tulus tak akan pernah mau meminta pasangan kita berubah menjadi apa yang kita mau. Tetapi menemaninya sampai tutup usia"

Aku ingat saat dia memintaku untuk menculiknya dari segudang aktifitas belajar yang memuakkan. Memintaku untuk mengantarnya ke sebuah bukit dimana kami  bisa bersama melihat jutaan kunang-kunang terbang melayang.

Aku tahu bahwa dia suka sekali dengan hewan kecil yang mampu berpendar itu. Entah kenapa. Sampai saat ini pun aku masih merasa heran jika ingat alasannya. Dia bilang bahwa kunang-kunang adalah bentuk metamorfosis sempurna dari orang yang kita sayang yang kini telah tiada. 

"Satu saat, jika aku mati, aku ingin berubah bentuk menjadi kunang-kunang" katanya sambil erat memeluk tanganku. 

Saat sebelum aku memberikan jawabanku, dia memintaku untuk diam. "Diam dan perhatikan apa yang akan muncul di sana" Katanya seraya menunjuk satu tempat di sela-sela tumpukan bebatuan, kala senja mulai terganti malam.

Lama rasanya kami terdiam dalam kesunyian.  Menantikannya berkata sesuatu hanya untuk memecah keheningan. Dia tahu aku tak pernah suka dengan sunyi saat semestinya kami bisa bernyanyi. Saat sebenarnya kami bisa bercerita dari pada tenggelam dalam diam. Tapi entah kenapa, untuk kali itu aku bisa meredam ego ku. 

Sedetik kemudian satu per satu gemerlap cahaya kekuningan mulai bermunculan. Segerombol kunang-kunang mulai mengapung memenuhi langit malam yang gelap dengan cahayanya. Sungguh luar biasa.  Senyum pun mulai terkembang diantara semu merah pipinya.

"Lihat.. mereka muncul. Kunang-kunang itu..."

Aku terkekeh,  "Jadi, cuma gara-gara kunang-kunang ini sampai kamu rela bolos semua jadwal les mu hari ini?"

"Ini bukan kunang-kunang biasa. Mereka sungguh sangat istimewa. Mereka bukan dari golongan Lampyriyade seperti kunang-kunang yang biasa kamu jumpai. Kebanyakan orang termasuk aku sangat percaya, bahwa mereka adalah jelmaan orang yang kita sayangi yang kini telah tiada." jawabnya.

"Dan... Kunang-kunang ini juga hanya hidup selama tujuh hari." lanjutnya.

"Tujuh hari aja?"

"Iya, mereka hanya hidup sesingkat itu. Dan dalam masa yang singkat itu hanya mereka habiskan untuk mencari cintanya"

"Kalau gitu, rasanya aku tak akan mau lagi menjadi kunang-kunang."

"Kenapa?"

"Karena aku sekarang sudah bersama orang yang aku cintai."
"Satu saat, jika aku menikah. Aku ingin gereja tempat aku nikah dipenuhi dengan kunang-kunang yang berpendar seperti ini. Aku ingin kunang-kunang itu mengubah tanda salib di gereja yang selalu terlihat muram itu menjadi berwarna kuning cerah. Persis seperti mereka ini.  Aku juga ingin menari di bawah jutaan kunang-kunang yang akan datang di pesta pernikahanku, kelak"

Lalu sejenak dia menundukkan kepala, lirih aku dengar dia berdoa..

Ubi caritas et amor, Deus ibi est.
Simul ergo cum in unum congregamur 
Ne nos mente dividamur, caveamus 
Cessent iurgia maligna, cessent lites
Et in medio nostri sit Christus Deus...*)  

AKU mulai merasa tak jenak menunggunya. Senja sudah semakin menggelap, bayangan pohon-pohon tua pun mulai berkelebat ditiup angin musim penghujan. Tapi dia masih saja belum terlihat di pintu gerbang.

Lalu, dalam sekejap dari keheningan senja dia pun muncul dari balik gerbang sekolah. Wajahnya layu. Seakan program persiapan ujian nasional yang dia ikuti telah mampu menghisap sari-sarinya madunya hingga tak bersisa. 

Aku masih ingat, malam itu dia berkata bahwa kami tak akan pernah bisa melihat kunang-kunang bersama lagi. Aku paham, mungkin karena Ujian Nasional yang sebentar lagi akan dia hadapi. Tapi entah mengapa, sebuah kalimatnya itu kini masih saja menggantung di dalam kepala. Seakan ada sebuah pertanda yang masih belum bisa aku cerna apa maknanya.

Aku pun terlelap dalam buaian pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu aku cari jawabannya. 

Malam itu aku merasakan sentuhan dan pelukannya. Hangatnya sebuah kecupan di pipi ku. Juga aroma wangi parfum yang bercampur keringat karena seharian berjibaku dengan soal-soal yang entah apa gunanya bagi masa depan. Aku juga melihat jutaan kunang-kunang melayang, menghias langit malam. Mengubahnya bak sungai cahaya yang tak pernah ada yang mampu menandinginya.

"Aku mau ikut bersama mereka. Terbang bebas. Terlepas dari semua rutinitas ku yang begitu menjemukan."

"Lalu  bagaimana caramu untuk ikut bersama mereka?"

Tapi dia tak menjawab tanyaku. Dia hanya tersenyum, dan menjentikkan jari-jarinya yang lentik. Setiap sentikkan yang dia lakukan, secuil bagian tubuhnya berubah menjadi kunang-kunang. Dia tertawa bahagia karenanya. Dia terus melakukannya hingga satu tangannya kini terlepas dan terbang menjadi kunang-kunang. Tiba-tiba, tatapannya menjadi kosong, seolah jiwanya kini memang sudah bertransformasi seutuhnya menjadi kunang-kunang. Aku melihat tubuhnya mulai melayang-layang di udara, berpendar diselubungi cahaya kuning keemasan yang semakin lama semakin terang. Lalu, dia meledak menjadi jutaan kunang-kunang yang  ikut terbang dengan bebas. 

Aku masih terdiam, mencoba mencerna apa saja yang baru aku saksikan. 

Deru suara telepon membangunkanku. Dengan kepayahan aku berusaha mengumpulkan nyawaku untuk menjawab panggilan itu. Sebuah panggilan yang mengabarkan bahwa dia telah meninggal dunia. Tubuhku kaku. Tak ada kata-kata yang sanggup aku keluarkan. Otakku masih mencoba merangkaikan semua mozaik kejadian yang baru aku alami ini. 

Sebuah kecelakaan besar menimpanya dalam sebuah perjalanan ke Jakarta. Hanya dia yang tak berhasil diselamatkan. Kepalanya pecah menghantam pembatas jalan. Sungguh cara mati yang terlalu mengenaskan. 

Bertahun-tahun telah aku lewatkan tanpa dia.

KINI, aku duduk bersila di samping pusaranya. Menemaninya melihat senja yang sangat dia suka. Bercerita tentang segala hal seolah dia akan mampu mendengarnya. Seolah di surga sana dia sedang tersenyum melihatku. 

Lalu, dari balik nisannya yang berbentuk salib itu aku melihat Kunang-kunang muncul dengan perlahan. Mereka terbang bebas seolah tak ada hal apapun yang mereka khawatirkan. Terbang menghambur ke udara. Menghiasi langit dengan cahayanya. 

Seekor kunang-kunang pun hinggap di ujung jari telunjukku. Aku mengira bahwa dia sedang berusaha memeluk tubuhku. Aku mencoba menggerak-gerakkan jariku. Percuma. Dia tak mau pergi walaupun dia kini sudah sendiri. Dan sesaat aku tersadar , bahwa dia benar-benar telah menjadi kunang-kunang. 

Mungkin inilah sebabnya aku selalu ingin kembali ke kota ini. Untuk nya yang kini ada di sana. Untuk kunang-kunang dan kenangan.


*): Requiem Kunang-kunang karya Agus Noor

0 Responds