Hikayat Patah Hati

9:54 PM

Lelaki itu duduk di sebuah bangku taman yang panjang di pinggir sebuah danau. Jauh di depannya, di sebuah titik di batas cakrawala, dimana langit yang mulai menghitam bertemu dengan daratan yang gelap, adalah satu tempat dimana dia meletakkan kepingan hatinya.

Tak lebih dari 24 jam yang lalu, dia terduduk di depan terminal keberangkatan bersama seorang perempuan yang dia sayangi seumur hidupnya. Tak pernah ia sangka bahwa ceritanya bersama perempuan yang telah membawa segala hal baik terhadap diri lelaki itu harus berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam seperminuman Caramel Macchiato. 

Bagi lelaki yang kini duduk menatapi langit yang semakin menggelap, perempuan bergincu merah yang gemar mendongeng itu adalah sosok yang sempurna yang pernah Tuhan kenalkan dengannya. Perempuan itu adalah segala wujud dari impian lelaki itu, segala doa yang saban malam iya lapalkan dalam setiap sujudnya. 

Sedari awal lelaki itu menginjakkan kakinya di ujung daratan ini, dia tak pernah melepaskan kertas yang ia genggam itu. Kertas itu adalah sebuah surat di selembar kertas HVS dengan tulisan tangan warna hitam. Surat yang diwasiatkan oleh perempuan yang dia cinta. Surat yang berisikan deretan kata berima yang ia terima sebelum mereka tau kapan lagi akan berjumpa. 

Hadirnya perempuan itu layaknya sebuah oase di padang pasir yang tandus bagi lelaki yang telah lama merasakan sendiri itu. Baginya, perempuan berambut panjang itu adalah sebuah selotip yang selalu siap merangkaikan puing-puing hati yang sudah entah sejak kapan berantakan. Perempuan itu ibarat sebuah hujan lebat yang telah jutaan tahun ditunggu untuk membasahi keringnya isi hati lelaki berkacamata itu. Perempuan itu layaknya sebuah pelangi sehabis hujan pergi. Karena itulah kepergiaannya yang mendadak, keinginannya untuk segera menutup lembaran cerita yang belumlah sampai setengah buku, adalah sebuah pukulan yang telak bagi lelaki itu.

Hidupnya yang dulu penuh dengan kesejukkan-kesejukkan khas oase kini kembali kering kerontang. Hatinya yang sempat kembali utuh kini kembali tercerai berai. Sayap kecil yang sempat tumbuh kini harus patah lagi.

Konon hari terpenting dalam diri seseorang adalah hari dimana seorang itu tahu dia terlahir untuk apa. Dan hari itu, lelaki itu tahu bahwa dia memang terlahr untuk perempuan pendongeng itu.*)   Pasalnya, baru beberapa jam setelah mereka berpisah jalan, lelaki itu langsung berubah menjadi sosok yang sedemikan nelangsa. Hidupnya yang penuh warna layaknya langit di senja yang cerah kini berubah menjadi mendung dan gelap senantiasa. Berulang kali memang dia jatuh cinta dan patah hati. Tapi tak pernah ada yang sepatah ini. 

Dia tenggelam semakin dalam di pikiran-pikirannya akan kesepian. Malam memang belum terlalu lelap, suasanya pun belumlah terlalu senyap. Apalagi hari itu adalah malam minggu, malam dimana puluhan pasangan muda dan mudi keluar dan menikmati malam yang katanya adalah malam terpanjang selama satu minggu. Mungkin lelaki itu juga menyesal kenapa ia memilih menghabiskan malam nya di tempat itu, tempat dimana banyak cinta dibagi-bagikan. 

Tapi siapa yang akan peduli, tak ada yang mau mempedulikan lelaki yang baru saja patah hati, kan?

Riuh suasana taman justru makin terasa saat malam semakin menanjak. Dera tawa terdengar hampir dari setiap sudut taman, bangku-bangku panjang, bahkan sampai di pinggir-pinggir danau. Seakan didendangkan lagu nina bobo, seluruh riuh itu malah semakin membuat lelaki itu hanyut dalam pikiran-pikirannya tentang perempuan itu. Namanya tercetak tebal dan bergaris bawah di otak nya. Kepingan-kepingan cerita silih bergantian muncul layaknya sebuah slide-slide presentasi. 

Lelaki itu seperti tinggal di dunia dengan dimensi yang berbeda. Tak ada apapun di dimensi lelaki itu. Tak ada pasang-pasang manusia yang saling berbagi tawa. Tak ada suara berisik kendaraan di jalanan yang berlalu lalang di pinggir kota. Yang ada hanyalah lelaki itu sendiri. Bersama sepi. 

Sisa hatinya semakin tersayat-sayat saat mengingat bagaimana dia dan perempuan yang dia cinta menghabiskan malam bersama. Berteman secangkir cappuccino atau terkadang sekadar teh dengan sedikit kudapan yang bias dengan mudah di dapat dari minimarket depan rumah, menikmati malam-malam berbintang. Kini, ketika lelaki itu menatap jauh ke bintang, perempuan itu tak ada lagi di sisinya. Dipandanginya tangan kanannya yang selalu erat berpegangan. Diresapinya rasa hangat yang dulu sempat ia rasakan. Dihirupnya dalam-dalam aroma parfum yang dulu tak pernah ingin ia hembuskan. Semua sirna sekarang. Hatinya pedih. Tak ada lagi semua yang pernah ia rasakan itu.


Perlahan lelaki itu mencoba berdiri. Beranjak dari bangku yang entah sudah berapa lama ia duduki. Lemas tak berdaya rasanya saat hujan mulai turun perlahan. Diraihnya jaket yang tadi sempat ia tanggalkan. Dikenakannya untuk menutupi tubuhnya yang tak seberapa besar. Menutupi kemeja hitam yang ia kenakan.

Sesaat ia teringat, bahwa kemeja itu merupakan kemeja hadiah dari perempuan saat mereka baru sebulan jadian. Kemeja yang katanya dibeli dari sebuah situs belanja ternama di Indonesia. Zalora.



Ia ingat saat bagaimana perempuan itu terdiam kaku di depan layar monitor memilihkan sebuah kemeja untuknya. Lelaki yang ia cinta, begitu ucapnya. Ia ingat saat perempuan itu sibuk memilih kemeja dengan brand-brand ternama ala Zalora. 

"Aku suka deh belanja di sini", katanya. 
"Kenapa?"
"Karena selain ada banyak pilihan barang yang ingin kita cari, di Zalora juga ada banyak potongan harga," imbuhnya sembari tertawa. 
"Lebih lagi, kamu juga bisa menjadi brand ambassador nya Zalora," dia melanjutkan sembari membuka sebuah tautan.

Lelaki itu tersenyum kecut mengingat malam-malam indah yang telah dilaluinya bersama. Sebuah malam yang mungkin tak akan kembali lagi terulang.

Hujan mulai turun semakin kencang, puluhan pasangan berlari tunggang langgang saling menyelamatkan diri dari bogem mentah air hujan yang berjatuhan. Tapi lelaki itu tetap bimbang. Pandanganya masih menerawang tepat di dimensi yang gagal ia tinggalkan.

Hujan turun semakin menggebu. Lelaki itu berjalan tak menentu. Menerjang hujan, tanpa pandang bulu. Dia terus saja berjalan sembari menangis tersedu-sedu.



kata diambil dari Buku berjudul Ayah karya Andrea Hirata*) 

9 Responds