Merawat Kenangan

2:26 PM

Lelaki yang mengenakan baju hitam dengan setelan jas berwarna abu-abu itu duduk diam di depan terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta. Matanya sembab dan merah. Bibirnya mengatup, seakan menahan sesuatu untuk tidak dikatakan.


Pagi itu, pagi di akhir minggu di bandara yang konon ceritanya merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia, dia terduduk di sana. Tangan kirinya menggenggam segelas Caramel Macchiato yang ia beli sesaat sebelum terduduk. Tatapannya dingin seakan merobek segala hal yang berada di dalam terminal itu. Banyak sekali pikiran yang sedang bergemuruh di dalam otaknya yang tak terlalu besar kapasitasnya itu.

Lelaki berbaju hitam itu meletakkan tas rangsel tepat di antara kedua kakinya. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri seorang perempuan berkacamata bundar, berambut panjang dengan bibir bergincu merah muda. Erat. Seakan tak ingin dilepasnya sama sekali. 

Tak ada percakapan sama sekali di antara mereka sejak tiba di Bandara itu. Hanya sesekali si perempuan meneguk segelas Es Capuccino yang ia pesan bersamaan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Tak pernah jelas apakah yang mereka pikirkan adalah hal yang sama ataupun tidak. 

"Aku tak pernah suka kata selamat tinggal", kata lelaki itu.
"Aku pun demikian. Tapi, apapun yang akan kamu katakan sekarang, itu sudah tak bisa merubah apa yang akan kita hadapi, kan?", sahut perempuan itu tanpa berusaha mengalihkan pandangannya.
"Tak bisakah kita berusaha lagi? Mencoba merawat hal-hal yang telah dan masih kita jalani ini?"



Tak ada yang mampu terucap dari bibir perempuan itu. Tangan kiri yang sedari tadi berpegang erat pun ia lepaskan. Kini, kedua tangannya kemudian tertangkup di wajahnya, dengan kepayahan perempuan itu menyembunyikan air matanya.

Perempuan yang selalu riang walaupun hidup dan menjalani segala rutinitas di tengah-tengah lalu lalang kendaraan itu menangis. Untuk kali pertama, perempuan bergincu merah itu berani mengambil sebuah keputusan yang begitu pelik di dalam hidupnya.

Matanya merah, air matanya menetes seperti tak ada yang mampu bisa menahannya. Mengalir melewati celah diantara hidung dan pipinya yang merona. Rentetan semua kejadian sebelum pagi di bandara pun mulai berbaris rapih di kepalanya.

Sepenggal asa yang coba mereka bangun bersama selama berbulan-bulan nyatanya harus pupus begitu saja. Asa yang coba mereka teguhkan. Asa yang coba mereka hidupi di tengah-tengah sela yang menjaraki mereka dari segala kenyamanan bersama saat akhir pekan tiba. Sebuah sela yang selalu mereka yakini sebagai sebuah ilusi semata, sebagai sesuatu yang tak perlu dirisaukan, kini malah menjadi sesuatu yang menjerat keduanya ke dalam sebuah hubungan yang hanya bisa mereka nikmati berdua.

Asa mereka kembali menyala setelah sekian lama pingsan. Sejak lulus SMA tepatnya, kali terakhir mereka bertegur sapa dan saling mengucapkan sepatah doa agar dilancarkan segala urusan masa depannya.

"Harusnya sela tidak membuat ragu, tetapi membuat kita semakin yakin," ujar perempuan itu mantap.
"Bukan jarak yang membuat kita mulai meragukan asa yang kita coba jalani. Kita yang membunuh asa itu dengan kesibukkan kita," bantah lelaki berkacamata bundar itu.

Ada hening yang mendekap mereka berdua. Ada sepi yang hadir ditengah-tengah genggaman tangan keduanya. Sela diantara keduanya, kini memang sirna. Tapi, keinginan untuk menyudahi cerita bersama memang sudah terpatri dalam diri masing-masing. Sela yang sudah terhapus pun nyatanya tak mampu mengembalikan mereka seperti bagaimana mereka berusaha memulai semuanya.

"Kita memang punya rencana.. Tapi kita juga harus bersiap dengan apapun yang ada di depan kita. Apapun yang akan terjadi pada cerita kita," ungkap perempuan itu seraya menghapus air mata yang kini hampir menghapus bedak yang dipakainya.


Berat memang untuk mengakhiri sebuah cerita yang sudah begitu nyaman dituliskan dalam lembaran kehidupan, kata per kata nya, kalimat per kalimatnya. Namun, rasanya lebih berat jika harus memulai lagi sebuah jalinan, sebuah untaian cerita dari awal mula.

Mungkin seperti itu lah yang dirasakan lelaki seperempat abad itu. Ada ketakutan pada dirinya jika harus memulai sebuah jalinan cerita dari pertama jumpa. Mungkin itu juga lah yang menjadi sebabnya ia tak mau melespaskan genggaman tangannya.

"Apapun yang ada dihadapan kita mulai saat ini, harus kita hadapi. Berat memang.. tapi bukankah kamu yang selalu menyakini ku bahwa hati, seberapun ia sakit terpatahkan, ia akan bisa tumbuh lagi. Ia akan bisa mencintai lagi."

Sebuah helaan nafas panjang dikeluarkan perempuan berkaos biru dan bergincu merah jambu itu.

"Seumur hidup aku tak pernah sekalipun meminta apapun, entah itu kepada Tuhan, maupun orang tuaku. Tapi khusus untuk kali ini, aku minta padamu untuk tetap menulis cerita hidupmu. Jangan pernah lari darinya, jangan pernah berhenti. Aku sayang sama kamu," ujar perempuan itu lirih.

"Iya.. Aku akan berusaha untuk tidak menunggu hujan hingga reda, tapi akan ikut menari di dalamnya."

"Aku sebenernya masih punya banyak hal yang ingin ku bagi bersama, ingin ku lakukan bersama, ingin ku tulis dan ceritakan bersama. Tapi rasanya aku tak akan punya kesempatan untuk melakukan," lanjutnya dengan suara pelan. 

Suasanya bandara semakin ramai dipenuhi oleh orang-orang yang ingin pergi. Entah pergi untuk kembali ataupun sekedar untuk melarikan diri. Pergi untuk menentukan tujuan hidup yang baru ataupun pergi untuk menjemput mimpi. Yang jelas, orang-orang itu, juga dua pasang manusia yang masih bergandengan tangan itu yakin, bahwa pergi selalu memiliki dua arti: untuk kembali dan untuk menemukan diri sendiri.

Suara-suara panggilan yang mengingatkan jadwal penerbangan pun mulai saling bersahut-sahutan. Seiring dengan kosongnya gelas Es Capuccino di tangan perempuan itu, mereka pun berjalan berpisah menuju gate nya masing-masing. Dua buah pesawat dengan dua tujuan berbeda sudah menunggu mereka.

Bersamaan dengan senyuman terakhir, dengan jabat tangan terakhir, dengan kecupan di pipi keduanya. Selembar kertas perpisahan terulur dari tangan perempuan itu.

"Bacalah ketika kamu sampai di Singapura," katanya setengah berteriak.
"Iya.. Sampaikan salam ku untuk Frankfurt ya.."



Kertas bertuliskan beberapa larik kata pun lelaki itu baca ketika kaki nya menginjakkan kaki di Singapura. Tempat dimana ia akan meletakkan mimpi-mimpinya yang baru. Dimana ia akan berjuang untuk bisa menemukan sebentuk hati yang mungkin akan berwujud lain lagi.

Selembar kertas yang bertuliskan sebuah puisi yang perempuan itu tuliskan malam hari sebelum mereka berpisah. Sebuah puisi bertuliskan:

Aku mengenalmu melalui sebuah nama
yang kau sebutkan saat kali pertama kita jumpa
saat kali pertama mata bertemu mata
saat kali pertama bibir kelu tak berdaya
saat pertama hati saling bertegur sapa

Aku mengingatmu melalui sebuah cerita
yang kita coba tuliskan bersama
di sela antara Jogja dan Jakarta

Dan walau kini kita sudah tak sanggup untuk bersama
Tak sanggup lagi saling bertukar kata dan makna
Percayalah bahwa aku selalu ada
di sampingmu, seperti saat kita saling berbagi senja

Karena aku menyayangimu melalui sebuah jalinan
Melalui sebuah ikatan
yang sering kita sebut sebagai sebuah PERSAHABATAN

Mata lelaki itu terasa panas, jutaan kubik air mata seperti hendak turun membasahi bumi bak Hujan di bulan November. Bibirnya terkatup menahan kata atau mungkin menahan rindu yang tiba-tida datang menunggu. 

Lewat sebuah puisi itu, lelaki itu berjanji untuk merawat segala hal baik yang pernah mereka lakukan bersama. Merawat kenangan yang telah diupayakan bersama..

10 Responds