(Masih) Tentang Cinta

2:50 PM

TIDAK pernah telintas barang sedetikpun di pikiranku bahwa perkenalan absurd kami di sebuah warung bubur ayam 4 tahun lalu akan membawaku masuk ke dalam sebuah perjalanan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah perkenalan yang membawa ku larut dalam perjalanan panjang menyusuri tempat-tempat yang bahkan takut untuk sekadar aku impikan.

Perjalanan panjang itu dimulai dari penerbangan pertama ku ke Malaysia, ke Sepang tepatnya. Bulan Oktober 2014, tepat 2 minggu setelah hingar-bingar pesta wisudaku. Aku 'dibawa' nya ke sana dengan cara luar biasa. Dengan digabungkan ke dalam sebuah tim beranggotakan 4 orang lelaki dewasa, kami memulai misi kami untuk meliput acara balapan Moto GP.

Balapan Moto GP adalah satu dari dua olahraga yang aku sukai. Bagi dia, pastilah mudah untuk pergi kemanapun dan kapan saja dia mau. Tapi, caranya 'membawa' ku dalam perjalanan ini sungguh luar biasa. Aku ingat dahulu aku pernah bercerita kepada dia ketika dia baru saja menikmati sinar mentari pagi yang masuk melalui sela-sela jendela di kamarku. Di kamar yang hanya seluas seperempat lapangan futsal itu aku menunjukkan sebuah poster usang yang tertempel di sebelah kanan jendela. Poster itu, aku ingat, aku tempelkan ketika aku masuk SMP. Saat Valentino Rossi mendapat gelar juara dunianya, entah untuk yang ke berapa. Dan sampai sekarang poster itu tak pernah aku lepas walaupun sudah puluhan kali kamarku berganti warna tembok.

"Satu saat aku ingin nonton balapan Moto GP langsung di sirkuitnya", kataku kepada dia yang sedang dengan khidmat melihat poster itu. Aku tak yakin apakah waktu itu dia mendengar ucapanku, tapi yang jelas aku melihatnya, dengan ekor mata, sedang tersenyum manis.

Dan bulan itu, Oktober 2014, mimpi itu terwujud. Aku diikutkan ke dalam sebuah tim yang bertugas meliput jalannya balapan dari mulai free practice sampai ke race nya.

Aku tak pernah mengerti bagaimana dia melakukan semua nya. Mewujudkan sebuah perkataan di pagi yang masih enggan menampakkan diri, di hari dimana sebuah kalimat terlontar begitu saja dan dianggap sebagai sebuah janji.

Aku tak pernah mengerti.

Berbulan-bulan berikutnya sebuah kabar tak enak datang dari dia. Berbulan-bulan setelah dia memutuskan untuk melanjutkan studi ke Australia.

Dan karena itu aku kembali 'dibawa' nya mengarungi luasnya lautan, terbang selama berjam-jam hingga pantat kram, untuk bisa duduk berdua dengannya menikmati sore yang temaram.

Aku 'diundang' ke sana untuk menemani dia menghadapi thesis defense nya. Aku diundangnya untuk menghapuskan air mata yang mengalir deras di sela-sela pipi dan hidungnya. Diundangnya untuk menyakinkan dia bahwa semua akan baik saja. Diundang untuk menyaksikan hujan di ujung senja yang tenggelam.

Dan di sanalah aku, merasakan bahwa apa yang ada pada kami tak akan pernah selesai begitu saja.

Di sana kami berbagi semua kata-kata, tawa yang jarang ada, dan dera air mata. Kami berbagi hampir tentang segalanya. Mencoba mendengar perasaan masing-masing bahkan dengan tanpa adanya kata. Saling menenangkan dan mencoba mengerti bahwa bersama orang yang kami cintai, kami tak pernah peduli apapun yang akan terjadi*.

Kembali kami mencoba membuka janji yang tersimpan di relung hati, bahwa bersama ataupun tidak, kami akan senantiasa saling membahagiakan. Mencoba merevitalisasi janji. Meneguhkan hati. Bahwa kami berdua tercipta untuk saling melengkapi.

Seminggu yang lalu sebuah email masuk ke inbox ku. Tertulis dengan singkat dan sangat jelas sebuah ajakan untuk menghabiskan sebuah akhir pekan bersama di sebuah negara yang jaraknya sejam dari Jakarta.

Singapura. Itulah tujuan kami bersama.

***
EMPAT tahun perkenalan kami nyatanya telah mampu melipat seluruh jarak yang terbentang. Bukan hanya jarak yang kasat mata, melainkan juga yang tidak.

Aku mulai mengenalnya dari seorang asing yang bertemu di sebuah warung bubur ketika pagi masih enggan menyapa kota Jakarta. Jarak sebagai orang asing teman sarapan itu pun mulai terkikis sedikit demi sedikit ketika kami bisa saling sapa di dunia maya. Lewat percakapan yang menembus segala batasan, kami menjelma menjadi sepasang kekasih yang saling berjanji untuk selalu membahagiakan, walaupun nantinya tak bersama.

Dari predikat kekasih itulah kami saling berbagi hal yang sama-sama kami sukai. Berpartner manis dalam sebuah proyek pembuatan film untuk sebuah festival. Berteman dalam perjalanan. Bersama kami mencari tau apakah selamanya itu benar-benar ada. Bersama berjuang untuk menghapuskan segala titik henti yang tersisa.

***
DISANA lah aku, duduk di bawah bayang-bayang teduh pohon sambil memandang dia yang sedang asyik bermain sepatu roda bersama seorang perempuan kecil yang secara tak sengaja menabrak kakinya. Dalam sekelibat, mereka nampak sebagai sepasang sahabat erat. Saling bantu membantu memberi semangat. Tak peduli dengan panas yang menyengat. Dan derasnya laju keringat.

Aku hanya tersenyum manis sambil sesekali mengambil gambar keriangan yang sedang terjadi. 

Siang itu suhu di Merlion Park tergolong cukup panas. Setidaknya itulah yang sempat aku dengar dari percakapan seorang Ibu-ibu yang memakai topi pantai dan sedang mengibas-ngibaskan kipas ke arah badannya. 

Panas yang cukup itu nyatanya tak menyurutkan niat turis-turis yang datang untuk berfoto dengan patung duyung berkepala singa itu. Aku mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sana. Berbagai macam gaya mereka gunakan untuk mengabadikan perjalanan mereka. Mulai dari gaya foto seperti minum air, gaya memuntahkan air, berwudhu, hingga gaya seperti orang yang buang air.

"Lho kok cuma di sini aja? Sana ikut foto-foto," suara lembut itu memecahkan keheningan di kepalaku. Sambil menjulurkan tangan yang menggenggam sebotol air minum kemasan. Perempuan bersuara lembut itu duduk di samping ku.

"hehe.. Enggak tante.. Saya di sini aja lah," kataku seraya membenahi sikap dudukku.

"Dia.. berapa usianya sekarang?" katanya sambil menunjuk seorang perempuan berkaos biru muda yang tengah riang tertawa.

"Tepat 25 bulan april kemarin."

"Usia nya sama ya kayak Nita"

"Iya tante.. Pun kalau seandainya Nita itu terlahir kembali, saya rasa dia lah orangnya."

"Kenapa bisa gitu?" tanya perempuan paruh baya itu sambil menatapku tajam.

"Dia punya hampir punya semua sifat Nita, tante." Jawabku menjelaskan. "Disiplin, galak, tempramen, pintar, semuanya seperti lahir kembali, seperti tercetak sama persis di dirinya."

"Jadi, sudah nggak ada tempat lagi buat Nita?"

"Saya rasa, akan selalu ada tempat untuk orang-orang baik, tante." Kataku sembari melempar sebuah senyuman.



Waktu itu aku pun tak pernah paham kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja, tanpa rem dan tanpa kendali. Seakan kata-kata itu mampu melampauhi semua membran saringan semipermeable yang tak kentara. Memang butuh waktu yang tak singkat untuk mampu mengikhlaskan, merelakan orang yang tersayang untuk pulang dan menjadi bagian abadi sebagai kenangan.

Kita hanya butuh orang yang lebih baik untuk menggantikan mereka yang sempat singgah di hati dan pikiran kita.

Cuma, masalahnya bagaimana jika yang pergi itu adalah orang yang terbaik?

"Waktu, Nyoo.." Kata dia suatu waktu.

Waktu memang bukan sebuah ukuran yang pasti. Ia tak bisa dijadikan ukuran kelanggengan sebuah hubungan, pun kebahagiaan. Ia juga tak bisa menjadi acuan apakah semua hal akan berlangsung selamanya atau secepatnya.Waktu hanya tau berjalan maju. Melesat meninggalkan semua menjadi debu. Maju dan tak pernah melihat ke belakang untuk sekadar merasa rindu. Waktu hanya tau soal maju. Meninggalkan semua yang hanya sibuk dengan menunggu.

"Waktu memang tak pernah menunggu. Ia membuai. Membuat kita lelap. Entah di sudut mana, ia meninggalkan kita dalam rasa sesal karena kehabisan waktu. Padahal, waktu tak pernah habis. Ia hanya terus bergulir. Dengan iramanya yang konstan, ia meninabobokan kita hingga lupa untuk bergegas**," katanya melanjutkan.

"Namun, sisi baiknya, waktu lah yang akan menyembuhkan segala luka. Membawanya mengalir jauh hingga ke segara, Menggantinya dengan berton-ton tawa."

Dia yang saat itu duduk disampingku, merebahkan kepalanya ke pundakku. Sepintas, deru angin yang berhembus membawa aroma parfum yang dia kenakan yang telah bercampur dengan sedikit keringat terhirup oleh hidungku.

"Iya.. Aku tahu.. Aku tahu kalau menunggu pun ada batasnya. Ada waktunya. Kita tak bisa terus-menerus berada di tempat yang sama. Tempat yang membawa luka kepada kita. Terkadang kita harus keluar dari tempat itu untuk mencari bahagia."

"Untuk melakukan perjalanan. Mencari pelajaran. Menggapai asa yang kita letakkan jauh.. sejauh bulan" aku menggenapi.

Dia hanya menggumam.

"Yang harus kita kenang dari sebuah perjalanan itu bukan soal kemana langkah kaki kita tertuju. Bukan juga soal seberapa indah pemandangan yang akan kita buru. Tapi soal dengan siapa kita melakukan perjalanan itu, nyoo."

Mendengar kalimat itu, secara tiba-tiba perempuan sederhana itu masuk ke dalam relung perasaan terdalam, tanpa perayaan yang gempita. Begitu saja tanpa pernah aku duga...




kalimat diambil dari Tera Errau karya Pidi Baiq *)
kalimat diambil dari buku Life Traveler, hal.265. Karya Windy Arientanty**)

0 Responds