Akankah ini Selamanya?

11:04 AM

"Jadi, udah berapa banyak cewek yang udah elu buat klepek-klepek, tersipu malu, dengan gombalan-gombalan selamat pagimu itu?", begitu tanyanya di malam itu. 
Malam itu mungkin bisa disebut sebagai malam pertama yang akan mengawali semuanya. Malam itu bagi gue merupakan suatu awal baru dari sebuah fase persahabatan gue dengan dia.
 ***
Kalau gue inget-inget, sudah hampir enam bulan gue kenal sama dia. Lewat perkenalan singkat dan aneh di pagi yang masih muram, di sebuah warung bubur ayam di ibukota. Gue masih ingat benar bagaimana awalnya gue bisa bertemu dengan sosok perempuan cantik ini.

Di pagi itu, di saat beberapa orang lain sudah mulai bersiap-siap menghadapi harinya melawan kerasnya hidup di ibukota, gue masih asik-asik nongkrong di warung bubur nya pak ujang. Gue melihat bagaimana bapak 40 tahun ini berusaha melayani semua pelanggannya dengan keramahtamahan khas orang desa. Pagi itu, setelah selesai melayani hampir semua pelanggannya pak ujang duduk disamping gue. Entah apa yang dia pikirkan... tapi untuk sesaat gue sempat berpikir hal yang sangat aneh yang bakalan dia lakukan.

Namun, sebelum semua yang ada dipikiran gue menjadi nyata, dia datang. Dia adalah seorang langganan dari pak ujang yang tinggal di ujung gang sana. "Yang biasa ya pak..", begitu katanya waktu itu, aku masih ingat betul. Dan.. dengan cekatan pak ujang pun membuat kan menu yang memang sudah biasa dipesan perempuan ujung gang itu.

"Ini neng buburnya..."
"Oya, terima kasih pak.", begitu balasnya sambil menyodorkan beberapa lembaran uang pecahan 2ribuan.

Tak perlu menunggu untuk waktu lama, segera setelah bungkusan itu diterimannya dia berbalik. Perempuan cantik berbalik, berjalan kembali menuju ke rumahnya yang terletak di ujung gang yang tak jauh dari tempat jualan pak ujang ini. Namun, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang berbeda yang gue rasakan saat dia berbalik.. Iya, dia tersenyum.. tersenyum kepadaku.

Dan..dengan kemampuan mengenali semua langganan dan menghafal menu langganan yang dimiliki pak ujang lah gue akhirnya tau nama perempuan cantik itu.
"Itu tadi siapa pak?" tanyaku ke pak ujang sembari mengamati perempuan yang masih memakai piyamanya itu berlalu.
"Oh... Itu tadi namanya neng Disty mas.. Tinggalnya di ujung gang itu. Rumahnya gedhe mas udah kayak lapangan bola" Begitu ungkap pak ujang dengan logat medok khas orang desanya.
"Disty?", jawabku sembari menyantap bubur spesial buatan pak ujang yang mulai dingin.
"Iya mas... Nama lengkapnya itu...."
"Nama lengkapnya siapa pak?" sergahku kepada lelaki 40tahunan yang sedang mencoba mengingat-ingat itu.
"Duh.. saya lupa je.. Namanya itu susah banget.. tapi kalo ndak salah namanya itu neng Cellinea Adisty Wijaya mas. Dia itu anaknya Pak Wijaya, dulu dia yang ngemodalin saya buat jualan bubur ayam disini hehehe"
"Oh..."

Cellinea Adisty Wijaya, begitu ucapku dalam hati. Sebuah nama yang kelak tak akan pernah ku lupa. Sebuah nama yang nanti akan ada di daftar nama-nama orang hebat yang ada di sekitar gue.
"Cantik ya mas neng Disty itu."
"Ah.. biasa aja pak. Toh yang tinggal di komplek ini juga banyak yang cantik-cantik kaya si Disty itu."
"Wooo.... ndak gitu juga mas!!", bantaj pak Ujang
"Kalo neng Disty itu cantik nya luar dalam mas.. ndak kaya cewek-cewek yang lainnya." tegasnya.
"Cantiknya luar dalam gimana pak?", balasku
"Dia itu sering ngasih uang lebih kalo beli bubur ayam saya, terus kalo beli pulsa juga ndak yang 10ribuan mas ndak pake ngutang lagi bayar pulsanya. Kalo yang lain boro-boro mas ngasih lebih.. apalagi kalo beli pulsa, ngeboonnn mulu hobinya", pak ujang terkekeh
"Walah pak-pak.."
"Eh pak,  itu tadi si Disty pesennya dua bungkus bubur ayam ya pak?"
"Iya mas.. selalu seperti itu, dua bubur ayam dengan ekstra suwiran ayam dan kecap. Saya hapal betul mas.."
"Lha memang dia tinggalnya sama siapa pak? Orang tua? apa suami?"
"Duh mas.. saya kurang tau je. Tapi kalo ndak salah orang tua neng Disty itu udah ndak tinggal disini. Orang tuanya itu tinggal di manado mas.. deket-deket sumatra gitu katanya."
 Sejak kapan manado pindah sumatra pikir gue!
"Kalo suami kayaknya belum punya mas.. orang jalan bareng cowok aja kayaknya jarang kok mas. Neng Disty itu hobinya kerja mas, tiap hari kerja, hari minggu aja kerja kok."
"Terus, dia tadi beli dua bungkus buat siapa aja?"
"Mungkin buat adikknya mas. Neng Disty cuma tinggal berdua sama adikknya.. tapi mas.. dirumahnya itu ada pembantunya juga namanya Mirah mas.. dia cantik juga lho mas. Saya sering ngirimin dia pulsa hehehehe."
"Mas.. mas naksir ya sama neng Disty?"
"Ah... enggak pak. Apaan coba. Cuma nanya doang kok pak"
"Nanya kok sampai banyak banget gitu mas..mas.. Naksir juga ndak apa-apa kok mas, banyak kok cowok di kompleks ini yang naksir dia, tapi ndak ada yang nyangkut."
"Lha emang kenapa pak? cowok-cowok di komplek ini kan udah kelihatan mapan-mapan, ganteng, punya mobil juga."
"Wah.. ndak tau mas. mungkin bukan seleranya neng Disty mas."
"Eh.. pak. Tadi katanya sering ngirimin pulsa ke Disty ya?"
"Iya mas. Mas mau beli pulsa juga?"
"Kagak... Gue minta nomernya Disty dong pak"
"Wooolhhaa.. Tadi katanya ndak naksir! Kok sekarang minta nomer hape nya segala"
"Yaelah, cuma minta doang kan buka berarti naksir pak!", tegas gue 
"Wah.. tapi tetep ndak bisa gratis je mas"

 Dan disinilah mulai percaloan harga dimulai. Seakan mengingatkan gue akan kenyataan yang ada di dunia ini.. TIDAK ADA YANG GRATIS!

"Yaelah pak... Ntar gue borong semua buburnya dah.."
"Nah... gitu baru oke mas". 
 Oke palelu peyang!! Pikir gue.
Dan mulai saat itulah semesta mulai bekerja dengan segenap kemisteriusan yang ia miliki untuk bisa mengenalkan kami berdua, mendekatkan kami berdua, sampai hari ini. 
Hari ini, sudah  enam bulan kami bersama. Bersama memulai sebuah awal persahabatan yang indah. Bekerja bersama membuat suatu event, menulis cerita bersama, menyaksikkan film di sebuah tempat teromantis sedunia, dan duduk bersama menghabiskan segelas es cappuccino memandangi jalanan ibukota yang semakin menyesakkan. Lima bulan lebih satu minggu tepatnya, gue bersahabat dengan dia. Dengan seorang perempuan berdarah campuran belanda-sunda-manado itu.

Selama lima bulan itu lah gue selalu jadi morning person nya. Jadi orang yang selalu mengucapkan selamat pagi dengan disertai gombalan-gombalan yang gue karang sendiri. Dan entah kenapa gombalan-gombalan itu juga yang selalu bisa membuatnya tersenyum manis.. setidaknya dengan sebuah emoticon bergambar senyum yang selalu dia kirim setiap pagi.

Lima bulan lebih satu minggu kami bersahabat, berbagi segala hal tanpa mengenal batasan apapun. Dan tiga minggu belakangan, kami akhirnya sepakat untuk menjalani fase yang lebih tinggi dari sebuah persahabatan. Gue masih ingat waktu itu, tanggal 7 bulan Januari tahun ini, di sebuah cafe di daerah jakarta selatan lah sebuah awal baru dari cerita persahabatan gue dengan dia dimulai. 

Hari itu setelah kami selesai meeting dengan beberapa orang terkait dengan sebuah proyek film indie yang akan kami buat, kami memutuskan untuk tidak langsung pulang kerumah. Selain karena jalanan di ibukota yang memang kurang bersahabat, gue juga ingin sedikit lebih lama menghabiskan waktu dengan dia. 

***
Disinilah kami berdua, di tempat yang selalu sama selama hampir 3 minggu ini. Di tempat ini pulalah dia berkata, "I will.." di depan gue. Satu katanya itu telah membuat segalanya berubah seratus delapan puluh derajat.

"Ya.. Sejauh ini sih ada beberapa cewek yang selalu klepek-klepek dengan gombalan-gombalan selamat pagi gue."
"Jadi, siapa aja yang pernah elu gombalin kaya gitu?"
"Banyak..."
"Emhhh.... Itu artinya elu sering dong punya pacar? Terus gue pacar lu yang keberapa?", tanyanya sambil menggulung-gulung  spaghetti pesanannya.

Mendadak, gue merasa susah sekali mencerna makanan yang baru sekali gue makan ini. Pertanyaan dari dia yang baru saja meresmikan hubungannya dengan gue.

"Ya.. kalo gue sih jatuh cinta sering. Jatuh cinta itu asyik buat gue."
"Asyik? Kenapa?"
"Ya.. soalnya kalo gue lagi jatuh cinta sama seseorang, rasanya kaya gue punya suatu energi lebih untuk bisa melakukan segala hal sebaik mungkin.. Soalnya bagi gue.. cinta itu....." gue menahan kalimat gue
"Cinta itu...?", tanyanya
"Bagi gue cinta itu memberi.."

Iya.. bagi gue cinta itu memberi, memberi segala hal yang gue punyai tanpa mengharapkan balasan apapun. Ikhlas, mungkin begitu yang dikatakan guru ngaji gue.

"Jadi, kalo cinta itu memberi.. berapa banyak orang yang udah kamu beri? dan berapa banyak yang sudah elu terima?", tanyanya dengan tatapan tajam ke arah gue. Sekejap, gue merasa bahwa gue adalah seorang buronan polisi yang baru saja tertangkap untuk kemudian diinterogasi.

"Banyak.. Gue udah berusaha memberi ke banyak orang."
"Terus.. yang elu terima?"
"Errr.. Nggak ada sih. Bagi gue cinta itu memberi tanpa henti dan tanpa berharap kembali", jawab gue
"Hahaha.." 
"Kok elu ketawa sih?? Emang ada yang aneh dari kata-kata gue itu?"
"Hehehe... sumpah! Gue baru kali ini ketemu sama orang se ikhlas elu. Hampir 4 tahun gue ada di sini, di ibukota ini, di tempat dimana semua orang selalu mengharapkan balasan atas semua yang dilakukannya, gue masih bisa ketemu sama orang kayak elu. Sama orang segila elu.. sama orang sehebat elu.."

Malam pun makin pekat, tetapi jalanan didepan makin padat saja. Sembari menikmati hidangan yang sudah kami pesan..perbincangan kami makin hangat. Ah.. Akankah ini Selamanya? pikir gue.

"Ohya.. Disty... Gue mau nanya sesuatu. Boleh?"
"Iye.. Elu mau tanya apa?"

Ada hening yang cukup lama diantara kami berdua. Saat itu, gue berusaha mengumpulkan kata-kata yang ada di kepala gue. Merangkai setiap hurufnya, menjadi sebuah kalimat tanya yang enak untuk didengarkan..

"Disty.. Mungkin nggak sih kita akan selamanya?"
 "Selamanya?"
"Iya... gue sama elu. Mungkin gak ya kita akan selamanya?"
"Kalo menurut lu sendiri gimana? Mungkin nggak kita akan seperti ini selamanya?"

Lagi.. ada hening panjang diantara kami berdua. Saat itu, hanya terdengar sayup-sayup alunan musik jazz lembut yang dimainkan beberapa orang di lantai 1 cafe ini. Suara alunan musik jazz yang bercampur dengan lantunan orkestra jalanan.. suara-suara klakson mobil, motor yang selalu berebut untuk bisa jalan duluan.

"Gue sendiri nggak tau apakah kita bisa selamanya kaya ini. Gue seneng banget bisa kenal sama elu, bisa jalan sama elu, bisa sahabatan sama elu, bisa ada ditempat ini dengan elu.."
"Gue juga gitu nyoo.. Gue kayak punya seorang dari luar angkasa yang bisa ngenalin gue ke hal-hal yang sebenernya ada disekitar gue tapi gue nggak pernah sadar akan hal itu.. Makasih nyoo"
"Sialan.. elu pikir gue alien. Pake bilang datang dari laur angkasa.."
Tawa terurai diantara kami berdua.. tawa yang tak pernah bisa dilupa., oleh sepasang manusia yang sedang dimabuk asmara.
"Tapi..." Gue lagi-lagi menggantung kalimat gue.
"Tapi apa nyoo??"
"Elu tau kan kalo kita punya sebuah perbedaan yang mungkin nantinya akan membuat kita atau mungkin orang-orang disekitar kita menjadi susah..?"
"Itu.. Gue juga tau nyoo."
"Terus?"
"Terus.. Kalau itu yang jadi masalahnya.. mungkin nggak ya nyoo kita akan bisa selamanya?", katanya.

Mendengar pertanyaannya itu, gue hanya bisa diam. Pikiran gue menerawang jauh sekali untuk mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang sebenarnya sederhana itu. Sebuah pertanyaan dengan jawaban yang mungkin akan mengubah segala hal dalam hidup gue dan dia.

Malam itu.. gue genggam tangannya, jemari-jemari cantiknya, dan berkata, "Disty.. Mau nggak elu sama gue mencari tau bersama.. Mencari tau apakah kita akan bisa selamanya seperti ini?"
"Nyoo.." Katanya lirih sambil membalas menggenggam tangan gue..
"You always know that I will... Kita cari tau bersama, akankan ini selamanya.."


6 Responds