Menjadi Luar Biasa di Tengah Ke-biasa-an

6:03 PM

Belakangan ini hampir nggak ada cerita yang luar biasa yang gue alami.. Entah, mungkin cerita luar biasa sudah malas menghampiri gue..atau memang gue yang kurang peka dalam melihat segala proses-jatuh-bangun-berjuang-bertahan-mencari-menemukan-segala hal yang seharusnya bisa membuat hidup gue jauh lebih bermakna.. lebih luar biasa.

Tak begitu terasa jalannya waktu, tiba-tiba hari sudah semakin menua menjadi minggu.. dan minggu pun sudah silih berlalu berganti dengan bulan. Semuanya berjalan sebegitu cepat sampai gue lupa bagaimana seharusnya bisa menikmati hari-hari yang gue jalani. Semua hal yang gue hadapi harus sesuai dengan target yang gue buat. Target..target..dan target. Semuanya harus ada target, dan target itu harus dipenuhi.

Untuk beberapa saat, gue terlena akan target yang gue buat sendiri. Gue merasa buta, karena semua harus terjadwal, harus pasti, dan harus terlaksana.

"Semua harus begini.. Semua harus ada jadwalnya. Semua harus sesuai dengan yang sudah direncanakan. Agar nanti kamu kerjanya enak, sekarang susah-susah dulu ndak apa-apa. Yang penting kuliah mu selesai 4 tahun, terus kerja jadi guru di swasta atau di negeri, terserah! Yang penting kerja dulu, nambah pengalaman.. Syukur-syukur kamu nanti bisa ambil S2 lalu kerja jadi dosen gitu!. " begitu kata bapak gue sore itu. Sebuah perkataan yang endadak membuat semuanya berantakan.

Sore itu dengan penuh kesengajaan gue langsung cabut seusai kuliah. Meninggalkan semua pekerjaan rutin yang biasa gue lakuin seusai pulang kuliah, meninggalkan semua rapat yang harus gue hadiri, meninggalkan semua cerita indah dari sahabat yang harus gue dengar sore itu.. Semua demi satu tujuan..ngobrol bareng bapak!.  Satu-satunya orang yang membuat gue mau bertahan pada program studi yang gue ambil saat ini, satu-satunya orang yang membuat gue menolak sebuah pekerjaan yang sudah ditawarkan ke gue.. demi membuat beliau bangga. Bangga karena dia memiliki anak yang bergelar sarjana.

Sore itu kami duduk bersama di ruang tamu rumah kami. Hanya ada kami berdua, hanya ada ayah dan anaknya yang beranjak menuju sebuah kelas baru dalam hidup. Kelas yang banyak disebut dengan kelas kedewasaan. Kelas dimana kadang kita menemui bahwa hidup ini tidak seperti apa yang ada di buku-buku dongeng. Perlu usaha yang tidak hanya keras, tapi jauh dan jauh lebih keras lagi untuk bisa membuat suatu akhir seperti di buku-buku dongeng.
 
Bersama teh hangat khas ibu gue dan sebuah lantunan orkestra dari suara deras hujan yang turun, bapak gue memulai percakapnnya. Sebuah percakapan tentang masa depan, masa depan putra sulungnya yang seakan tidak bisa menentukan akan jadi apa dia nanti.

Sore itu, gue dijejali dengan segala macam nasehat tentang hidup. Nasehat dari orang yang lebih lama hidup dari gue, nasehat dari orang yang telah banyak makan asam manisnya hidup. Di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter dengan dihiasi sebuah aquarium kecil di sudut ruangan dan beberapa lukisan bergambar keluarga bahagia bergantung diatasanya itu, beliau berkata, "Mbok ya kamu ki kurangin ikut-ikut kegiatan di kampus ki. Mbok ya fokus sama kuliahmu aja. Kamu kan udah gedhe, harusnya udah bisa mikir. Harus punya target, semua harus di target. Kuliah mu itu harus 4 tahun selesai lho ya!! Jangan molor-molor."
 
Obrolan sore itu mendadak membuat lidah gue menjadi kelu. Tak ada satu kata pun yang bisa terproduksi dari dalam mulut gue. Lebih tepatnya tak satu pun kata yang mampu gue lontarkan untuk menyangkal semua yang beliau bilang. Rasa hormat gue ke beliau sudah lama menghancurkan kemampuan gue untuk membantah semua yang beliau katakan.

Target lulus kuliah 4 tahun, setidaknya itu yang selalu beliau bilang. Mungkin lebih dari lima kali beliau bilang seperti itu dalam jangka waktu 2 jam kami duduk bersama di ruang tamu itu. Dua jam lebih lima belas menit tepatnya. Obrolan tentang masa depan yang seharusnya gue nikmatin itu mendadak berubah menjadi suatu tragedi, berubah menjadi semacam penghakiman atas hal yang gue rasa tidak gue lakukan.

Dan... terhitung mulai sore itu, mulai dari sebuah ruang kecil berukuran 4 x 6 m itu gue mulai merasakan ada sesuatu yang mengusik pikiran gue. Sesuatu yang aneh, sebuah perasaan takut kalo gue terlalu larut dalam rutinitas gue.. rutinitas dalam menghidupi sebuah mimpi.

Sebuah mimpi yang tidak ada hubungannya dengan program studi yang gue ambil, sebuah mimpi yang tak mampu gue ceritakan ke orang yang paling gue hormati sekalipun, sebuah mimpi yang hanya berani gue ceritakan disini.
 
Sebuah perasaan takut kalo sampai gue gagal memenuhi target yang beliau janjikan, gagal membuat beliau bangga karena putranya tak menjadi seseorang yang beliau inginkan. 
 
Dan sore itu juga entah kenapa tangan gue secepat kilat menyambar alat tulis di meja belajar yang sudah hampir 6 tahun ini selalu setia menghuni kamar kecil gue. Sebuah ruangan yang cat dindingnya penuh dengan bekas double tip yang selalu gue gunakan kalo gue punya sesuatu keinginan yang harus gue capai. Di lembaran kertas bekas itu gue mulai menuliskan target yang harus gue capai dalam seminggu ini. Semua target gue tulis dengan rapi, persis seorang direktur suatu perusahaan yang sedang menganalisis perusahaannya dengan membuat Management Research Report.

Target tentang kenapa gue sampai harus ada disini, belajar disini dengan biaya yang setinggi ini. Target tentang prioritas pekerjaan yang harus sekuat tenaga gue penuhi.
 
Suatu target yang hampir memupuskan semua impian gue..

Sebuah impian yang sudah hampir 3 tahun ini gue kasih pupuk, gue kasih perhatian lebih, gue beri jiwa agar ia tetap hidup dan suatu hari ia akan jadi alat gue hidup. Sebuah mimpi yang kini berganti dengan target kuliah yang sedikit memuakkan ini. Target untuk segera menyelesaikan tugas ku disini dan beralih menjadi apa yang orang tua gue ingini.
 
Target yang hampir membuat tidur gue nggak nyenyak,  yang hampir membunuh apa yang sudah gue rawat sejak bertahun-tahun lalu, yang hampir gue relakan demi membahagiakan mereka. Mereka yang selalu menunggu ku pulang sampai selarut apa pun, mereka yang selalu menghidangkan teh hangat manis sehangat dan semanis kasih mereka pada gue. 
 
Target lulus 4 tahun yang membuat gue menjadi hampir buta. Buta akan semua hal yang seru yang berada di sekitar gue. Sebuah target fiktif yang membuat hidup gue kurang bermafaat dan bermakna. Sebuah target yang membut gue seakan malas menjadi luar biasa di tengah semua ke-biasa-an yang gue miliki.
 
Dan kini.. gue sedang berusaha untuk bisa keluar dari rutinitas target yang gue buat. Berat memang tapi pasti bisa, setidaknya itu yang tertulis di kutipan-kutipan orang bijak. Hari ini gue akan mencoba untuk tidak selalu menuruti target hidup gue, gue ingin mencoba menuruti apa yang hati gue inginkan. Mungkin dengan demikian gue bisa menemukan kebermaknaan gue ada disini.

Gue ingat seorang sahabat gue. Dulu dia  pernah bilang seperti ini, "Memprioritaskan prioritas mu belajar di tempatmu sekarang adalah hal yang baik. Tapi bagaimana caramu memprioritaskan mimpimu adalah hal yang luar biasa." ke gue.

Dan inilah saat yang tepat bagi gue untuk melakukannya..

0 Responds