Tentang Seseorang

2:19 PM

Hari itu malam belum lah berakhir dan nampaknya, pagi pun masih lama untuk berkenan mampir. Tapi entah kenapa mimpi itu membuatku seakan enggan untuk kembali merebahkan tubuh kembali. Butiran keringat  sebesar biji jagung yang mulai berguguran dari keningku menambah perasaan malas untuk melanjutkannya lagi. Melanjutkan sebuah mimpi panjang yang baru saja aku alami.

"Untung hanya mimpi" pekikku malam itu sembari mengusap keningku yang penuh dengan butiran keringat. Mimpi yang baru saja aku alami malam itu mungkin sebuah mimpi teraneh yang pernah aku alami dalam sejarah hidup ini. Sebuah mimpi tentang sosok masa depan diriku sendiri yang entah kenapa tumbuh menjadi seorang yang sangat dikagumi banyak orang. Tumbuh menjadi seorang yang selalu diharapkan ketika penjahat datang. Tumbuh menjadi seorang pahlawan.

Iya.. mimpiku malam itu adalah mimpi tentang diriku yang menjelma menjadi seorang pahlawan yang sangat dirindukan. Pahlawan yang selalu di elu-elu kan.

Aku sempat berpikir mungkin ini adalah efek samping dari film-film superhero yang aku tonton secara marathon..

Aku masih ingat, hari itu aku sedang berjalan di sebuah lorong yang lumayan gelap. Sendiri, tanpa seorang kekasih menemani, aku mulai berjalan menapaki malam. Hari itu malam belumlah terlalu larut, tapi keadaan sekitar sudah mulai berangsur cemberut.

Jauh di depan terlihat sebuah lorong gelap dan sempit. Dengan aroma khas septitank dimana-mana. Jauh di sisi kanan ujung lorong ini, terletak sebuah rumah yang untuk beberapa bulan ini akan aku singgahi. Sebuah rumah modern yang memiliki 2 lantai dengan sebuah kolam renang kecil  yang ada di halaman belakangnya.

Butuh setidaknya lima belas menit jalan kaki untuk bisa menyelesaikan perjalanan di lorong nan sempit itu. Tapi tidak untuk malam itu. Suasana lorong yang penuh akan bau busuk khas septitank tak elak membuatku harus memotong waktu agar bisa lebih cepat keluar dari neraka bau itu.

Aku memutuskan untuk berlari. Berlari secepat mungkin untuk segera menghabiskan perjalanan ini panjang nan bau ini.

Sialnya, sebelum ujung lorong dapat aku capai, aku melihat sebuah kotoran berwarna kuning tua dan agak berair tepat di depanku. Aku yang nggak bisa mengendalikan kecepatan lari terpaksa harus menginjak kotoran itu.

Alhasil, tak beberapa lama kemudian aku merasa dunia ini mulai berubah dari yang semula tegak lambat laun mulai sedikit miring dan terus semakin miring sampai akhirnya aku merasakan kepalaku menyentuh sesuatu yang sangat keras. BBBRRRUUUGGGHHHH!!!

***

Layaknya menaiki sebuah mesin waktu, perlahan dan dengan sangat perlahan aku akhirnya membuka kedua mata. Hal yang pertama kali aku lihat adalah sebuah ruangan yang semuanya berwana putih, dari mulai jendela, pintu, tirai dan pada awalnya gue berpikiran "Inikah surga??"

Akan tetapi hal itu sangatlah tidak mungkin. Tidak ada orang yang pernah masuk surga cuma gara-gara kepleset. Aku coba meyakinkan diri.

Saat itu terdengar suara langkah kaki seseorang, suara yang makin lama makin terdengar itu sejenak menyakinkanku bahwa aku masih hidup, untuk sementara ini. Suara itu semakin keras dan tiba-tiba berhenti. Berhenti tepat di muka pintu di ruangan yang aku tempati ini.
***
Beberapa hari semenjak keluar dari tempat itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang janggal terjadi pada diriku. Nafsu makanku berangsur-angsur mulai berubah, aku mulai sering melamun, mulai sering bicara sendiri, dan mulai sering pipis sembarangan.

Dan semenjak saat itu, ketika melihat terjadi suatu pertengkaran ataupun terjadi suatu kejahatan di sekitarku, aku merasa bahwa aku lah yang harus bertindak untuk menyelesaikan semua permasalahan itu. Berlagak bak pahlawan yang ada di serial tivi.

Dengan menggunakan kostum, aku mulai berjalan menelusuri lorng-lorong sempit tempat terjadinya kejahatan. Kostum yang aku kenakan merupakan perpaduan kostum dari berbagai macam superhero yang ada di layar kaca tivi.

Sebuah topeng berwarna kelabu, baju berwana hijau, merah, dan biru, dengan sayap terbentang diantara kedua ketiak dan sebuah parasut kecil diantara selangkangan,kondisiku saat itu bener-bener mirip pembalut bekas.

Dan sebagai tugas pertamaku sebagai superhero berbaju karnaval adalah membantu satuan polisi pamong praja untuk merazia pedangang kaki lima, anak-anak pengamen, dan juga banci-banci yang sering mangkal.

Setelah semua persiapan selesai, dengan setelan kostum karnaval itu, aku mulai menjalankan tugas.

Akan tetapi sebelum semua tugas berjalan dengan baik, aku malah jadi bulan-bulanan para banci yang seharusnya aku tangkap dan bawa ke mobil razia. Entah, mungkin kostum yang aku pakai bukan membuat mereka takut malah membuat mereka semakin berani melawanku yang hanya sendiri. Aku berteriak sekuat tenaga, berteriak sekeras yang aku mampu, berteriak minta tolong, tapi tak satupun mau menolong. Mereka semakin buas dalam memukuli, menendangi, dan... menciumi tubuh ini.

Untunglah, sebelum kebuasan mereka, kebrutalan mereka, dan keganasan mereka semakin menjadi, aku sudah kembali sadar diri. Atau lebih tepatnya setengah sadar diri. Dan mungkin setengahnya engan kembali, menikmati entah apa yang sedang terjadi disana, di dunia mimpi.

Sembari mengumpulkan kembali energi untuk bisa memulai awal baru dari sebuah mimpi, perlahan mulai aku rebahkan badan ini. Berharap mimpi itu tidak akan mengganggu lagi. Pergi. Tak pernah kembali.

Detak irama jam dinding sayup-sayup mulai hilang seiring dengan pudarnya kesadaranku. Aku merasa terbang. Merasa sedang berada di awang-awang. Semua yang ada di hadapanku mulai pudar hingga akhirnya hilang.

Akhirnya aku benar-benar kembali ke alam tidur hingga.... Beep-beep-beep-beep. 

"Heh?" pekikku kala mendengar suara alarm jam di handphoneku.

Tepat pukul empat empat puluh lima menit alarm itu berbunyi. Selalu setia walaupun terkadang empunya tak pernah suka. Pagi pukul empat empat puluh lima menit adalah waktu yang sengaja aku pilih, bukan pukul empat, bukan pukul lima, tapi empat empat puluh lima. .

Bagiku, pagi pukul 4.45 menit adalah suatu pagi yang sangat misterius. Dimana matahari belumlah terlalu tinggi dan kabut-kabut pun belum semuanya pergi. Menandakan malam masih ingin tinggal dan enggan untuk pergi.

"Arrrggghhh.. Kuliah jam 7 lagi", gerutuku pagi itu.

"Eh... pagi-pagi kok udah ngedumel aja. Ntar harinya ndak baik lho,, mbok ya pagi-pagi ki di isi dengan sesuatu yang berguna. sarapan terus mandi pagi gitu." kata ibuku sembari merapalkan nasehat-nasehat pagi nya.

"Iya-iya.." jawabku sambil nyelonong ke kamar mandi.

***

Jam tanganku, pagi itu, menunjukkan pukul 6 lewat 38 menit. Masih kurang 22 menit lagi sebelum kelas pertama dimulai.

Kampus masih teramat sepi pagi ini, hanya terlihat beberapa petugas kebersihan yang lalu lalang di hadapanku. Kali itu, aku memang sengaja duduk di tempat yang sangat strategis untuk mengamati kondisi di sekitar.

Selain petugas kebersihan yang berlalu lalang, burung-burung pun tak malu menampilkan kicauan mereka di pucuk pohon nan rindang. Dan jauh di ujung gang, terlihat beberapa mahasiswa berkacamata tebal, dengan tas selempang mulai berjalan mendekat. Tak berapa lama kemudian, para dosen pun terlihat datang. Yang pertama adalah seorang dosen yang usianya tak lagi matang. Berjalan dengan langkah yang mantap, maju terus tanpa ada yang berani menghadang.

Yang kedua, ketiga, adalah dosen-dosen yang berwajah sedikit muda. Terlihat ada semburat wajah enggan pada raut muka mereka. Mungkin karena ini masih terlalu pagi untuk bertemu dengan mahasiswa dan mahasiswi. Atau mungkin ini juga salah satu tuntutan profesi, yang memaksa mereka harus berada di tepat ini. Pagi ini.

Pukul 6 lewat 51, para mahasiswa mulai berhamburan, berdatangan, bergerombol menurut kelompok-kelompok mereka. Dari mereka, beberapa, masih terlihat wajah-wajah setengah hati. Mungkin mereka tak tidur lagi malam tadi, atau mungkin mereka bermimpi seperti mimpi malam tadi.

"Selamat pagiii..", begitu sapa beberapa dari mereka yang mengenali sosok yang sudah hampir 22 menit mengisi tempat kosong di dekat lorong. Sendiri. Berteman sepi.

"Pagiii juga.." balasku.

Jarum jam sudah mulai bergerak mendekati angka 7, dari salah satu pintu ruangan di dekat lift  keluarlah sosok dosenku. Dengan menggunakan celana kain katun panjang semata kaki, sepatu hak tinggi yang begitu serasi, dia mulai berjalan menuju kelas. Akan tetapi, dia belum juga datang pagi ini.

Pukul tujuh lebih lima menit, beberapa mahasiswa mulai berlarian sekuat tenaga, takut kalo mereka akan di hukum berdiri di depan ruangan kalau-kalau mereka datang terlambat. Mereka berlari, berpacu dengan waktu yang mungkin selalu mereka remehkan, tapi ketika waktunya datang, mereka merasa kebingungan, kehilangan waktu yang seherusnya mereka manfaatkan.

Tapi dia belum datang juga. Mungkinkah dia sakit? Pikirku. Tidak.. Tidak.. dia tidak sakit. Malam tadi kami masih mengumbar tawa haha-hihi di sebuah jejaring sosial. Atau jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi saat dia dalam perjalanan menuju tempat ini?? Atau...

Belum sempat aku menyelesaikan pikiran negatif itu, dari kejauhan, dari sebuah lengkungan lorong dia datang. Berjalan perlahan, dengan langkah yang anggun. Dari kejauan dia melihatku, aku melihat dia, ada sebuah lengkungan manis di bibir nya yang berwarna sekidit merah muda. Jika ada hal lain yang lebih mampu menghangatkan pagiku selain kopi pagi, itu adalah senyumannya. Senyuman yang secara sadar ditujukan untukku. Seseorang yang hampir 35 menit setia menunggunya.

"Pagii.." sapanya.

"Iya pagii.."

"Kok nggak ke kelas? Dosennya ada kan?"

"Aaa...ada.. ada kok dosennya. Baru aja tadi jalan ke kelas."

"Yaudah, ke kelas yukk", ajaknya.

Dan seketika langkahku menjadi ringan, aku seperti sedang terhipnotis, melayang dilangit ke tujuh. Aku sedang jatuh cinta.

***

Nayla Widyaningrum, begitulah dia memperkenalkan dirinya dulu, dihadapan 44 teman barunya, di sebuah ruang kelas seluas lapangan futsal. Seorang perempuan yang lahir di sebuah kota kecil dan bersih, Magelang. Setidaknya begitulah ia menyebut kota kelahirannya itu dengan penuh nada bangga. Dia lahir 22 tahun silam, tepat di tanggal 20 Oktober. Dan kini, semesta telah sangat baik hati hingga mempertemukan kami disini, di tempat ini.

Lalaa, begitu ia biasa dipanggil oleh teman-temannya. Dan juga oleh ku.

Perempuan ini, menurutku, mungkin adalah keturunan bidadari, rambut hitamnya yang selalu anggun jika di kuncir kebelakang, rambut ekor kuda begitu ejekku. Wajahnya nya yang putih bersih tanpa cacat, dengan hanya sedikit noda berupa tahi lalat di atas bibir kanannya. Tingginya yang tak lebih dari 168 cm dengan bola matanya berwarna coklat kehitaman dengan sorot mata tajam penuh arti tak ayal pasti membuat semua orang jatuh hati pada nya.

Tahun ini adalah tahun ketiga aku kuliah di tempat ini. Dan sampai tahun ini pun aku masih setengah hati dalam menjalani masa-masa kuliah disini. Alasannya klasik. Salah masuk jurusan. Tapi tidak untuk beberapa bulan ini. Beberapa bulan yang mungkin akan aku kenang sebagai bulan-bulan yang paling indah dalam perhentian singkat di dunia ini.

Mungkin karena dia, karena Lalaa lah aku jadi berubah seperti ini, berubah dari seorang yang setengah hati menjadi sepenuh hati, berubah dari tak pernah mengerjakan tugas menjadi rajin mengerjakan tugas, berubah dari tak pernah menjadi pernah, dari hitam ke putih. Tak ku kira cinta mempunyai kekuatan seperti ini!

Lalaa adalah teman satu kelasku, bisa dibilang dia adalah salah satu bintang di kelas. Dengan segala kesempurnaan tanpa celahnya pasti membuat semua pria ingin berebut mendapatkannya. Mendapatkan hatinya.

Aku yang bukan merupakan bintang yang terang di kelas kadang hanya bisa melihat dia dikagumi, di puji, oleh banyak laki-laki. Karena dulu, Lalaa, bukanlah cewek yang terlalu aku idamkan. Dari dulu aku selalu kagum pada cewek yang dapat secara fasih berbicara bahasa asing, bahasa ingris khususnya. Dan satu kriteria itu, kriteria yang harus ada di dalam diri sosok idamanku, sosok sempurna yang aku dambakan, tak ada di diri Lalaa yang nyaris tanpa cela.

Hari mulai berganti, seiring dengan berjalannya detak jarum jam yang lambat namun pasti. Hari-hari indah gue menatap wajahnya pun harus segera diakhiri.

"Bye, cah..", katanya sambil melambaikan tangan ke arahku.  "Eh, jangan lupa, tugasnya yang tadi dikirim ke email ku atau ke alamat facebook ku ya.. Jangan malam-malam tapi."

"Oke laa..", jawabku singkat tanpa melepaskan sedetik pun pandanganku ke arahnya.

Kelas pun perlahan mulai sepi, hingar-bingar suara teman-teman mulai senyap. Tapi, aku masih berdiri disini, di tempat yang sama. Mataku menerawang jauh ke luar, menerawang sosok bidadari yang sedang berjalan dengan anggungnya. Perlahan kesadaran kembali datang seiring menghilangnya bayangan punggung Lalaa di sebuah sudut menuju lorong menuju tempat parkir.

Dan kini malam kembali datang, seperti yang ia janjikan sore tadi, aku sudah siap mengirim tugasku ke dia. Sebuah tugas yang sudah aku selesaikan jauh lebih cepat daripada biasanya. Ternyata, jatuh cinta bisa semenyenangkan ini, pikirku.

Di sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter dengan warna dinding hijau yang mulai pudar itu lah aku siap mengirim tugas itu. Kamar yang hanya dihiasi sebuah jendela usang tepat di sudut kanan atas ruangan, dengan sebuah rak buku berbentuk batang kayu yang selalu membisu setia menemaniku malam itu.

Malam itu, aku duduk tepat dibawah jendela kayu usang yang tak tertutup itu. Aku duduk sembari memangku sebuah komputer jinjing hadiah ulang tahun ke dua satu. Hadiah ulang tahun yang harus di bayar setimpal dengan tabungan Ibu bertahun-tahun. Demi anak, begitu katanya selalu.

Layar monitor komputer mulai berpendar dan berangsur-angsur semakin jelas menampakkan wallpaper di dalamnya. Terlihat sebuah bukit hijau dengan langit biru cerah dan sedikit awan khas windows.

Beberapa saat setelah kemudian, aku sudah mulai sibuk dengan sebuah jejaring sosial berwarnakan biru. Biru seperti warna kesukaannya. Sama.

Dengan cepat aku mulai mengetik namanya di tab pencarian. Secepat kilat namanya muncul di bagian paling atas ketika aku baru saja menuliskan kata "Nay". Sedetik kemudian, aku sudah dihadapkan dengan sebuah profil seorang bidadari lengkap dengan sebuah foto yang tak jauh beda dengan aslinya. 

Sembari aku mencari tombol message di antara foto-foto selfie nya, aku mencuri tahu apa-apa saja yang ia lakukan di dunia maya. Dunia yang kini menjadi tempat orang berbagi cerita, tentang apa saja.

Sengaja, aku berlama-lama menikmati semua statusnya dia buat, menikmati beberapa foto indahnya dalam berbagai gaya. Cantik. Dan begitulah seharusnya.

Disana, di sebuah jejaring sosial yang dapat dilihat oleh banyak orang dia bercerita tentang cinta, impiannya kelak, dan kritiik kepada pengurus kampus yang menurutnya tak patut. Ada sedikit kejanggalan yang aku rasakan setelah sedari tadi menginvestigasi dia di dunia maya. Sedetik kemudian barulah aku sadar bahwa tombol hijau yang menandakan bahwa dia sedang on line tidak menyala. Kemanakah dia? Kenapa tak seperti biasanya.


 ***

Tak butuh waktu lama buatku untuk mencari daftar nama sahabat-sahabatku yang sedang menikmati berselancar di dunia maya. Dari sederet nama yang aku kenal, aku jatuhkan pilihan ke salah satu sahabat jauh, Dessy.

Dessy adalah sahabatku yang paling lama aku kenal. Lebih dari separuh hidupku, atau tepatnya 18 tahun yang lalu. Saat kami sama-sama baru berusia 4 tahun. Sahabat yang dulunya hanya bisa bertemu setahun sekali, setiap idul fitri dan hanya untuk beberapa hari.

Kini, kami sama-sama telah bertransformasi menjadi sosok seperti kami saat ini. Sama-sama tumbuh dewasa, sama-sama pernah merasakan jatuh cinta dengan seseorang, sama-sama selalu bertukar pendapat jika salah satu dari kami sedang berada dalam masalah, atau pun sedang jatuh cinta. Seperi saat ini.

"Cee..", sapaku lewat fasilitas chat yang ada di jejaring sosial ini.

"Yaa..", jawabnya dengan tak lupa memberi sebuah emoticon bergambar senyum

"Kayaknya aku lagi jatuh cinta nihh.."

"KYAAAA... Sama siapa? Masih ada yang mau sama elu? hahahaha"

"Kampreettt.. ya adalah yang mau. Sialan hahhaha. Aku jatuh cinta sama temen sekelas nih hehehe"

"Hah? temen sekelas? lagi?"

"Kagakk, baru kali ini kok cee"

"Namanya siapa nyet?"

"Nayla"

"Cepet amat lu jatuh cinta nya ya?? Kayaknya belum tiga hari yang lalu lu bilang kalau udah pupus lagi"

"Kagak ya.. itu udah lama hahaha. Iya, Cee, hatiku kan gedhe jadi gampang buat jatuh cinta."

"Iyee.. hati lu emang gedhe tapi isinya jarang hahaha. Elu sih terlalu pilih-pilih orangnya!"

"Pilih-pilih gimana?"

"Ya ituuu.. Pake kalo punya pacar harus pinter bahasa inggrislah, tingginya harus sekian lah, bola matanya harus apalah. Capek gue dengernya. Sumpah."

"Ya kan aku mau sosok yang sempurna Cee.. emang salah?"

"Ya nggak sepenuhnya salah sih.. Tapi kalau elu cuma nyari yang sempurna sampai jadi kakek-kakek pun kamu nggak akan pernah nemu. Carilah yang terbaik, cintai segala ketidaksempurnaan yang ia miliki dengan sempurna. Jangan banyak pilih. Gitu Harusnya!!"

"Yang sekarang beda cee.. Dia benar-benar di luar semua itu tadi.."

"Ahhh.. paling ntar juga ujung-ujungnya ditikung hahahaha"

"Kok gitu sih?"

"Yaelah, bisanya juga gitu cahh.. Semua cewek yang pernah elu ceritakan ke gue kan ujung-ujung nya gitu.  Coba elu inget-inget deh mulai dari Ayuk, Elis, Kiki semua kan ujung-ujungnya ditikung juga."

"Iya sih.. tapi kan....", belum selesai gue menuliskan kalimat chatku, mendadak dia sudah off line.

Malam ini akan jadi malam yang panjang lagi setelah percakapan singkat dengan seorang sahabat ini.

***

Tepat di hari ini, di hari lain setelah sebuah obrolan tak berujung di dunia maya, aku kembali menikmati hari. Kembali datang di awal pagi, kembali melihat orang-orang yang berlalu lalang datang dan pergi. Kembali di tempat biasanya aku menanti. Menanti seorang bidadari.

Tepat 38 menit ketika aku melongok ke arah jam tangan perakku, bidadari itu datang. Pelan tapi pasti, dia berjalan dengan anggunnya, dengan mengenakan sebuah kemeja berwarna hijau tosca favoritnya, dipadu dengan sebuah celana jins dan sepasang sneakers dia melenggang melewati beberapa kerumunan orang.

Makin lama bayang wajahnya makin terlihat jelas, sebuah senyum kembali menghiasi wajah putih bersihnya. Butuh waktu beberapa detik untuk memastikan bahwa senyumaannya itu memang benar untukku.

"Hai..", sapanya "Eh kamu kemarin udah ngirim tugasnya kan?"

"Udah.. udah seperti yang aku janjiin kemarin.", jawabku sembari mulai berdiri memanggul tas. "Eh kamu semalem kok nggak on line?"

"Iya.. lagi pengen nggak berhubungan sama dunia maya aja." , jawabnya sambil berlalu. "Pengen menikmati hidup tanpa ada gangguan." katanya dengan suara lebih keras.

Hari ini, tepat tiga bulan aku dekat sama Lalaa. Dekat dalam artian yang sesungguhnya. Dari mulai teman sekelas, teman sekelompok saat mengerjakan tugas, sampai teman berbagi cerita, pahit, sendu, bahagia, tawa, dan luka. Kami sudah jalani bersama. Tiga bulan lamanya.

"Laa.. nanti malam jadi jalan kan ya. Aku jemput dah, gimana? OK!?", kataku sore setelah kuliah selesai.

"Iyaaa.. jam setengah delapan kan?"

"Iya.."

"Oke.. sampai ketemu nanti malam cahh..", katanya sembari melambaikan tangan dan mulai berjalan pelan ke sebuah kerumunan di ujung sana.

***
7.15 tepat pada detik ke enambelas gue udah berada di depan kostnya.
"Ah.. masih kurang lima belas menit lagi", pekikku. Tapi tak lama setelahnya, dia muncul. Dia yang sudah aku tunggu. Dia yang hari ini akan menjadi milikku
"Lhoohh.. kok udah disini? Udah lama?", sapanya
"Enggak.. ini juga baru nyampe kok. Tuh knalpot motornya aja masih anget."
"Hahaha.. yuk masuk dulu.", ajaknya sembari menarik lengganku. "Eh, kamu tunggu kamar tamu dulu ya. Aku mau ambil jaket nih. Dingin banget."
"Iya.. Take your time.", aku menjawab sembari menjatuhkan pantat ini ke sebuah kursi keluaraan jaman orde lama.

Beberapa menit kemudian, dia kembali. Lengkap dengan setelah celana jins, sneakers, sebuah jaket dengan hoodie berwarna merah muda. Khas cewek.

"Yukk ah.. jadi jalan gak?", katanya dengan suara merdunya. Nampaknya dia tahu, bahwa untuk beberapa detik aku sempat bengong, hanya terpaku kepada satu titik. Dirinya. 

"Hah? eh? iya.. jadi yukk.."

"Kita mau kemana sih?", katanya sambil sedikit memukul-mukul sedel motor gue yang nampaknya berdebu itu.

"Emh.. cafe?", ajakku.

"Cafe? oke.. Tapi aku yang nentuin cafenya ya?"

"Ya oke.." Dan berangkatlah kami berdua ke sebuah cafe yang berada tak jauh dari tempat dia nge-kost.

Masih jam delapan kurang sepuluh menit, aku bergumam sembari melihat keadaan cafe yang masih cenderung lengang. Di suatu sudut di cafe itu, terlihat ada beberapa orang yang kelihatannya sedang sibuk memasang beberapa perangkat audio. Musik jazz, kah?.
 
Di sisi lain cafe ini aku melihat ada beberapa orang sedang bercengkerama satu sama lain, sementara terlihat ada dua orang yang sedang sibuk dengan beberapa buku tebal dan memandang lekat pada layar laptopnya. Di sebuah sisi lain cafe dengan ornamen khas kayu rotan, lampu gantung berwarna-warni itu, aku melihat ada sepasang muda-mudi, nampaknya sedang beradu mulut. Dari tempatku berdiri memang tak terlalu terdengar, tapi terlihat dari mimik muka yang mereka tunjukkan, dari gaya bicara mereka. Dari gelagatnya itu, satu hal yang aku tau. Ada masalah diantara mereka.  Bentar lagi ada yang putus!!

Belum sempat aku menjelajah seluruh isi cafe lengkap dengan segala keanehan yang terjadi di dalamnya, Lalaa menyeret tangganku menuju sebuah bangku yang letaknya tak jauh dari pintu masuk cafe.

"Duduk sini aja." katanya. Enak, bisa jelas liatin acara yang bentar lagi mau mulai.

"Emangnya mau ada acara apa? Musik?", tanyaku.

"Bukaann... Nanti itu mau ada Stand Up Comedy disini. Tau kan?? kayak acara orang yang ngelucu sendiri di depan sana gituu.."

"Iye-iye.. aku tau kok Stand Up Comedy"

"Oh ya.. nanti juga ada comic favoritku. Ganteng dan lucu pokoknya" katanya sambil terkekeh.

Tak lama setelahnya, di meja yang terbuat dari kayu mahoni yang berada di depan kami sudah bertengger dua gelas Es Cappuccino andalan kami berdua.

"Eh, aku nggak tau kalo kamu suka cappucino juga lho, cahh.." katanya

"Yeee.. kamu nya aja yang tiap kali aku ajak jalan nggak pernah bisa. Jatuhnya baru tau kan kalo aku juga suka sama Cappuccino" balasku

"Iye.. sedari kemarin aku sibuk mulu. Tugas kampus lah, bentar lagi kan juga udah penelitian, jadi ya.. kamu tau sendiri kan.." katanya dengan suara sedikit parau, Terkesan lelah.

"Kalo kayak gini terus bisa meledak kali ya kepalaku? Banyak banget yang mesti aku kerjain. Jadi yaa.. aku minta maaf kalau kemarin pas kamu ajak jalan selalu ada alasan untuk menolak" lanjutnya sembari tangannya meraih dan menggenggam tanganku.

"Iya laa.. aku juga tahu kok kalo kamu punya kesibukan tingkat dewa gitu"

"Sialan... " jawabnya sembari tertawa.

Waktu berjalan sangatlah cepat saat kita merasa bahagia. Malam itu juga, ketika tawa kami berdua membahana ke angkasa, seakan waktu ingin berlalu jua.  Malam semakin larut, penampilan beberapa comic --sebutan untuk mereka yang ber-Stand Up Comedy- pun silih berganti.

Sekejap tawaku hilang, entah kemana, ketika aku melihat senyum indah di wajah orang yang aku suka. Di wajah Lalaa yang kini ada di depan muka. Giginya yang berbaris rapi, bibirnya yang dipulas manis dengan warna merah muda, suara ketawanya yang membutakan, seakan membawaku membumbung ke angkasa. Jauh.. jauh.. jauh... dan untuk kemudian hilang.

Perlahan namun pasti, seiring dengan berakhirnya acara bertajuk Open Mic ini. Pengunjung cafe ini pun silih berganti. Namun, kaki ini tak ingin diajak pergi, mata ini tak ingin berhenti menatapi sosok seorang peri yang ada disini. Cantik.

"Eh, Laa.. ", aku mencoba menahan kata-kata.

"Iya..?? kenapa?",

"Aku udah pernah bilang belum sih? Kalau kamu hari ini cantik banget."

"Hah?? Perasaan biasa aja deh cahh..", jawabnya sedikit terkejut.

"Eh, kayaknya kita itu udah sekelas lama yak laa.. Tapi kok kaya ada yang aneh ya."

"Emang apa yang aneh cahh?" jawabnya.

Sembari memperhatikan sorot mata tajam yang seakan ingin menguak segala isi hati itu, aku lanjut berkata, "Iyaa.. anah aja kalo baru beberapa kali aja kita bisa jalan bareng gini."

"Halahhhh... Kamuuu sih sibuk teruusss", katanya sembari berusaha menepuk lengan kiriku.

"Nggak kebalik tuh??", aku membalasnya sembari tertawa.

Mendadak terasa sebuah keheningkan yang menusuk kami berdua. Beberapa detik berlalu, tak ada satu pun kata yang terlontar dari kami berdua. Terpaku satu sama lain. Seakan saling menunggu siapa yang terlebih dahulu harus memulai berkata-kata.

"Laa..." aku mencoba untuk kembali membuka percakapan. "Kita kan udah kenal lama banget nih.."

"Iya ya.. Udah tiga tahun lebih" katanya santai. "Kok nggak terasa ya , waktu cepet banget berlalunya."

"Iya.. dan kamu tahu nggak?", tambahku sembari menghimpun beberapa kata yang akan aku ucapkan selanjutnya.

"Tahu apa cahh?"

"Tahu nggak kalau beberapa bulan ini kita jadi saling cerita, saling ngobrol kesana kemari nggak jelas, saling cerita soal impian kita masing-masing. Soal kamu yang ingin jadi guru, soal aku yang masih nggak pengen jadi guru, soal orang-orang kampus yang nyebelin."

"Iya ya.. kita udah sering cerita soal banyak hal ya ternyata". katanya memotong

"Iya.. tahu nggak kalau ternyata, 3 bulan belakangan saat aku benar-benar bisa cerita sama kamu adalah bulan-bulan terindah bagiku."

"Hmmm... udah tiga bulan 7 hari sih, tepatnya." dia mencoba mengoreksi

"Nah makanya Laa.. Malam ini aku mau ngomong sama kamu."

"Ngomong apa? hal yang sama kah dengan yang ingin kamu omongin saat buat janji dengankku kemarin?"

"Kurang lebihnya."

Dengan sebuah tarik nafas panjang aku berkata kepadanya,"Lalaa.. kita udah kenal lama, dan aku merasa nyaman banget kalau lagi sama kamu." kata-kataku terhenti untuk beberapa saat.

"Lalaa... mau nggak kamu ngebolehin aku buat jadi... pacar kamu?", kataku akhirnya.

Mendengar kata itu, dia terlihat sedikit terkejut. Tak lama setelahnya, raut wajahnya mulai berubah kemerahan. Dia tertunduk sebentar, kemudian menengadah kembali sembari mencari jemariku yang sedari tadi tak berpindah.

Dia memengang jemariku sembari tersenyum. Di wajahnya putih bersihnya masrih tersirat bekas rona kemerahan.

"Cahyo.. Aku seneng banget bisa denger itu dari kamu. Aku juga seneng sama apa yang udah kita jalani selama 3 bulan 7 hari ini. Dan anehnya.. Sebenarnya aku juga suka sama kamu... tapi.." dia menggantung kalimatnya.

"Tapi apa Laa??"

"Cah.. sebenernya hari ini aku juga mau bilang sama kamu. Kalau aku.. kalau aku baru aja balikan sama mantanku.." Katanya sambil memegang erat jemari tanganku.

"Apa Laa..? Kamu balikan sama mantan mu?", jawabku sembari berusaha menarik tangan yang digenggamnya. Gagal.

"Terus kita gimana?"

"Maaf banget ya cahh.."

Seakan baru saja menelan pil pahit atas kenyataan yang baru saja terjadi, aku menggangguk. Sekedar memperlihatkan bahwa aku akan baik saja.

"Aku paham sih Laa... Temenku kemarin juga pernah bilang kalau hari ini aku pasti gagal lagi. Seperti yang biasa terjadi samaku", kataku lesu

"Maaf banget ya cahh.." dan aku pun menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Tak seperti ketika aku mulai sebuah perjalannanku ke cafe ini dengan hati yang berdebar-debar. Di perjalanan pulangnya, aku nyaris tak merasakan apapun. Kecewa, sedih, marah, patah hati semua bercampur menimbulkan satu rasa dalam jiwa. Hambar.

Malam yang dingin bagiku, terlalu dingin bahkan saat Lalaa merangkulkan tangannya ke pinggangku pun dingin tak mau hilang. Dia memelukku. Sebuah pelukan yang mungkin jadi pelukan terakhirnya buatku dan sembari menahan panas dan perih di mata, aku tetap memacu motor kembali ke kostnya.

Seseampainya di kost pun tak ada kata lain yang bisa dia ucapkan selain minta maaf. Minta maaf soal apa?, pikirku. Sembari kembali menggenggam jemari tanganku, dia mulai mendekat. Wajahnya begitu sangat dengat di wajahku. Semerbak aroma parfum mulai tercium dari tubuhnya. Dan beberapa saat kemudian dia sudah mendaratkan sebuah ciuman di pipi kiriku. Mungkin juga adalah ciuman terakhirnya buatku.

Di tengah perjalanan menuju rumah aku kembali merasakan panas dan perih di kedua mata ini. Tak kuasa aku menahannya. Dan ketika aku mulai mengedipkan mata, seketika itu air mulai berjatuhan dari ujung kedua mata. Air mata itu mengalir deras melewati pipi kiriku. Perlahan demi perlahan mulai menghapus bekas ciumannya, menghapus kenangan di antara kami berdua.

Aku tak bisa merasakan apa-apa. Semua tubuh ini seakan mati rasa. Hanya karena kata "maaf" darinya. Semua kini terasa berbeda, tak seindah semula. Hanya air mata yang sedari tadi setia mengisi, menemati hati yang terluka. Kenapa aku menangis? Apa yang sebenarnya aku tangisi?

Tanpa disadari perjalananku sudah hampir selesai. Satu kelokan lagi ke arah kiri, maka akan terlihat sebuah rumah bergaya kuno dengan pagar berwarna hijau cerah. Biar hidup kita selalu cerah, mungkin begitu kata bapakku dulu saat mulai mengulas kuas di setiap sisi pagar itu.

Ketika aku mulai memasuki sebuah anak tangga menuju pintu utama, aku tersadar betapa sepinya rumah ini. Beberapa langkah dari pintu utama aku berbelok ke arah kanan, menuju sebuah ruangan berukuran 3 x 4 meter. Di dalamnya ada sebuah tempat tidur yang setia, sebuah boneka doraemon kuning yang selalu tesenyum, dan sebuah rak buku berbentuk batang kayu.

Tak lama setelah memandangi kamar itu, aku mulai menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Jatuh terjerembab. Masih menahan panas dan perih di mata. Saat itu pikiranku melayang entah kemana, berharap aku akan segera bangun dari mimpi buruk ini. Bangun dari mimpi yang pernah ingin di impikan ini. Bangun dan kembali ke rutinitas pagiku, menunggu sosok bidadari.

Tapi agaknya ini bukan mimpi, ini memang sesuatu yang mesti terjadi. An ironi in reality..

Tak kuat rasanya aku menahan rasa ini, mataku seakan dicolok dengan batu bara yang membara. Panas. Perih. Dengan secepat kilat aku meraih bantal berwarna kuning pudar yang ada di sebelah kanan. Aku meraih dan kemudian membenamkan wajahku kepadanya. Seakan, bantal itu tahu betapa ironis nya cerita hidupku. Dia selalu menjadi saksi bisu atas kegagalan-kegagalan yang aku alami. Dari dulu hingga kini. Setia menemani.

Bantal yang entah sejak kapan berada di ruangan ini itulah yang selalu menjadi sasaran berjuta-juta air mata yang sedikit demi sedikit mulai berguguran. Tak pernah protes. Tak pernah bertanya. Hanya diam dan mendengarkan.

Dengan sebuah tarikan nafas yang dalam aku mulai membekap muka ini. Bersiap untuk menumpahkan semua yang ada di hati. Berteriak sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya, mumpung rumah lagi sepi. Berteriak meluapkan emosi, yang tak ingin lama-lama di simpan dalam hati.

Namun, sebelum aku dengan sangat sadar melakukan gitu. Gue mendengar suara pintu di ketuk. Pintu diketuk??
***

"Nyoo..", sebuah sapaan lembut dari luar pintu mulai sayup-sayup terdengar.

"Masuk aja.. pintunya nggak di kunci kok." kataku parau.

Lalu dia pun masuk, Disty begitu aku sering memanggilnya. sesosok perempuan  yang telah mengalami metamorfosis sempurna dalam hidupku. Dari hanya seorang teman yang kenal di sebuah warung bubur ayam, berubah menjadi sahabat yang saling berbagi kisah dan kasih, kemudian berubah menjadi seorang boss yang sangat disegani, lalu menjadi seorang kekasih yang selalu indah untuk dibanggakan.

Kini, ia bertransformasi kembali mejadi sosok hangat dan bersahaja, sosok seorang sahabat bagiku. Sosok perempuan anggun berbaju putih panjang sepaha mulai menapaki kakinya memasuki kamar ini.

Mendadak, kamar ini dipenuhi oleh aroma parfum kelas wahid yang bersemburat dari tubuh perempuan ini. Wajahnya nya yang putih, bersih pun terlihat menyilaukan di bawah guyuran lampu kamar.

"Lagi ngapain sih?" Katanya sembari mendekat.

"Oh.. lagi nulis cerpen nih" sahutku.

"Cerpen tentang apa?"

"Cerpen tentang seseorang.."

"Tentang seseorang..?", katanya heran sembari mengharapkan sebuah penjelasan

"Iya.. aku lagi nulis tentang seseorang yang terlatih buat patah hati. Tentang seseorang yang belajar bahwa untuk mencintai orang lain itu tidak membutuhkan suatu alasan. Tidak perlu cantik, bahasa inggrisnya  tidak harus jago, ataupun alasan lain." Jawabku.

Dia berdehem sembari mendengarkan, "Terus?"

"Ya tentang seseorang yang belajar bahwa patah hati itu hal yang wajar. Hati memang perlu patah agar dia bisa tumbuh lagi."

Sesaat kemudian dia menatap wajahku. Mendadak tersingkap sebuah senyuman manis di wajah indahnya itu.

"You are very welcome, dude!!" katanya sembari menarik lenganku. "Yukk ah, jadi nemenin jalan nggak?

"Ya ayookk," sahutku dengan penuh semangat. 

Beberapa saat kemudian, laptop yang tepat berada di mukaku mulai redup lalu sebuah warna hitam mulai muncul, semakin jelas dan semakin jelas. Kehitaman yang amat sangat hingga aku bisa melihat sebuah refleksi dari wajahku di sana. 

Bersamaan dengan menutupnya laptop itu lah aku juga mulai menutup kenanganku bersama Lalaa. Bersama dia yang pernah kucinta.

Hati ini mulai tumbuh lagi. Kataku dalam hati

0 Responds