Cinta Pertama

1:38 PM

Mendung yang sedari tadi menggelayuti langit ibu kota kini sudah tak ada lagi. Tergantikan oleh hujan yang sangat amat deras. Seakan ada seseorang yang sangat berkuasa di atas sana dengan mudahnya membuka kran air untuk segera menggenangi tempat ini.


“Heii..ayo pulang!! Ini hujannya makin lebat” Teriak seorang wanita paruh baya dari kejauhan.“Tante nggak mau tanggung jawab ya kalau nanti pulang ke Jogja kamu terus sakit” tambahnya.

“Iya..tante. Sepuluh menit lagi ya. Aku masih kangen sama Nita ini” Jawabku setengah berteriak karena mengingat jarak antara tempat ku dengan tante dan juga mengingat usianya yang tak lagi muda. Tempat ini perlahan mulai sepi seiring derasnya hujan yang turun senja itu. Dengan memakai sebuah payung berwana pelangi yang hanya bisa menutupi kepalaku, aku tetap bertahan di sampingnya. Di samping seorang yang bernama Yuanita Damayanti.

Rindu, kangen, dan ingin bertemu. Itulah yang aku rasakan setiap berkunjung ke sini. Tak lupa seuntai mawar berwarna merah muda selalu aku sematkan di tempat di mana kini ia beristirahat.

“Aku kangen banget sama kamu, Nit” Kataku seraya mulai terduduk di sampingnya. “Banyak banget yang berubah setelah lkamu pergi” Lanjutku.

“Aku udah bisa jatuh cinta lagi, punya pacar, putus, punya sahabat, terus aku juga rajin nulis cerita. Sama kayak yang dulu pernah aku janjiin ke kamu. Kamu ingat kan?”


“aAku udah semakin deket dengan apa yang aku cita-citakan. Menjadi seorang yang akan selalu menorehkan tinta dalam setiap lembaran kisah cinta nya. Persis kayak yang pernah kita bahas di Bukit Bintang dulu.”



“Eh, di sana kamu bisa lihat senja nggak?”Imbuhku.


Aku teramat sangat sadar bahwa seberapa banyak kalimat yang akan aku lontarkan hari itu, tak akan pernah ada balasan dari dia. Tapi aku yakin kalo dia, di sana, bisa mendengar apa yang aku katakan dan sedang tersenyum manis mendengarnya. Hujan yang semakin deras akhirnya mulai membentuk sebuah genangan air di depan sana. Tepat di samping kanan makam Nita yang dihiasi oleh rumput hijau yang selalu terpotong rapi. Di atasnya ada seuntai bunga mawar merah muda kesukaannya. 

Aku masih ingat benar kali pertama aku memberinya sebuah bunga mawar. Mendadak semua kenangan itu kembali berdatangan, seiring dengan jatuhnya butiran hujan.


Hari Senin di bulan Juli 2007. Di sebuah SMA tak ternama di kotaku.

Hari pertama MOS dan aku udah telat. Siswa macam apa aku ini. Pikirku waktu itu. Dengan terburu-buru aku malahap separuh dari roti isi yang jadi sarapan. Sembari berjuang menahan seretnya tenggorokkan saat menelan roti isi itu, aku mulai menaiki sepeda motor. Mati. Pasti bakal dijemur seharian sama kakak-kakak senior sialan. gumamku sambil memacu motor.

Dan benar saja. Ketika sampai di depan gerbang sekolah aku melongok ke arah jam tangan yang selalu setia di atas pergelangan tangan. 07.18. Jauh di depan sana, di sebuah lapangan basket, aku melihat beberapa orang berpenampilan sepertiku mulai diberi hukuman oleh beberapa senior. Di antara mereka yang dihukum, aku melihat beberapa kostum yang aneh. Ada yang memakai sebuah kantong kresek sebagai topi dengan berbagai macam tali raffia berjumpai-jumpai di atas pinggang yang seakan-akan mengajak siapa saja yang melihatnya untuk ikut bergoyang.

Di sebelah luar lapangan, aku melihat beberapa orang berseragam putih biru khas anak SMP, yang sedang melakukan squat jump. Mereka adalah anak-anak perempuan dengan hiasan pita rambut dari karet gelang berwarna pelangi. Satu, dua, tiga gue menghitung berapa banyak karet gelang yang mereka gunakan. Kok beda-beda.

Butuh sekitar beberapa detik agar aku bisa menyadari bahwa pita-pita itu mewakili tanggal lahir mereka. Betapa kasian orang tua mereka kalau mereka tau jika tanggal lahir mereka dijadikan semacam ejekan, gumamku.

Belum sempat aku selesai mengamati orang-orang di dalam sana, sebuah teriakan keras menyadarkanku. Teriakan itu berasal dari sisi dekat tempat parkir. Suara khas cewek dengan nada yang agak sedikit cempreng.

“HOYYY..!!!”, teriak wanita bertubuh kurus itu sambil mengacungkan pengeras suaranya ke arahku. Wanita berambut cepak dengan postur tubuh yang tak lebih besar dari postur tubuhku itu merupakan seorang yang paling disegani diantara para senior yang sedang asik menyiksa calon-calon adik kelasnya di sana.

Di bajunya, tepat di atas dada sebelah kanan. Terpampang jelas namanya yang hanya terdiri dari beberapa suku kata: GIYARTI.

Dengan sangat reflek aku menoleh  ke arahnya. Berharap orang yang diteriakinya adalah orang lain, dan bukan aku. Dengan memasang muka hah-elu-barusan-manggil-gue ke arahnya aku mulai berdoa. Berharap suatu keajaiban akan terjadi.

“Iya! Kamu itu yang pake jaket biru lengan panjang bergaris putih. Siapa lagi?”, bentaknya. “Kenapa kamu jam segini baru datang?” tambahnya.

“E..ee.. anu.. tadi.. tadi…”

“Anu..anu .. ANU APA?”, bentaknya lagi

“Anu mbakk..eh kak.. tadi ada kereta yang mogok di perlintasan. Jadi telat deh..” Sembari berharap dia akan percaya pada alasan yang baru saja aku karang itu.

“AKU NGGAK MEMPAN SAMA ALASAN BASI KAYA ITU !!” suaranya mulai berubah semakin keras. “Udah !!Sana, kamu dihukum berdiri sampai tengah hari.” Lanjutnya sembari menunjuk ke arah lapangan basket.

Hari itu, jarum jam belumlah menggapai angka delapan. Tapi aku sudah mulai berdiri manis di sini, di samping sebuah tiang bendera yang menjulang gagah dengan tinggi kurang lebih empat meteran. Di atasnya, berkibar dengan sangat perkasa, bendera merah putih. Bendera yang paling tidak seminggu sekali aku hormat padanya.

Tatapanku perlahan mulai menaiki setiap jengkal tiang bendera itu. Deangan enggan aku mamaksakan diri untuk menatap kemegahan bendera kebanggan bangsa ini. Tapi, sebelum tatapanku sampai pada ujung bendera itu, silaunya mentari pagi mulai menghalangi. Silaunya yang semakin lama semakin terasa panas seiring dengan bergantinya detak jarum jam.

Tak terasa, hampir tiga jam berlalu, aku masih saja setia berdiri di sini setia menatapi sang bendera yang diterangi sinar mentari. Tiga jam dijemur di bawah terik mentari ini sudah membuat ku merasa bahwa aku ini hanyalah sebuah keripik emping yang habis ini akan segera digoreng lalu dijual entah kemana.

Sayup-sayup dari arah kelas, aku mendengar suara bel dibunyikan. Satu, dua, tiga, aku menghitungnya dalam hati. Hal yang pertama terlintas di benakku adalah… Jam istirahat.

Aku, berusaha menengok ke kiri dan ke kanan, mencari sosok wanita bertubuh kurus, berambut cepak, dan bernamakan beberapa suku kata itu, berharap dia akan sedikit merasa iba pada diri ku dan akhirnya memilih untuk memaafkan keterlambatan ku tadi.

“Oke..kalian yang sedang dijemur di bawah tiang bendera”, teriaknya dari kejauhan. Suaranya yang khas ditambah aksen galak dan sok berkuasanya itu sudah menjadi ciri khasnya tersendiri. Tanpa melihat wajahnya pun, semua orang pasti sudah dapet menerkanya.

“Hukuman kalian cukup untuk hari ini.Tapi karena kalian tidak ikut beberapa sesi dalam kegiatan MOS kali ini. Maka kalian wajib menggantinya dengan hukuman yang lain.” Tambahnya sambil menatap ke arah ku dan beberapa kenalan baru aku yang sama-sama kena hukuman dijemur.

“Hukuman pengganti kalian adalah..” dia menahan kalimatnya. Seakan ingin menciptakan kesan mendramatisir sesuatu.“Kalian harus mencari 50 tanda tangan kakak kelas kalian. Dengan catatan, kelimapuluh tanda tangan itu harus ada namanya, lengkap dari A-Z. Mengerti?” bentaknya sekali lagi.

Dan seperti anak sapi yang tak bisa melawan, kami semua hanya menganguk-angguk pertanda paham. Hanya satu dari kami yang dengan lantang menjawab “Mengerti”.

Dibandingkan pengalaman MOS ku hari itu, sisa hari yang aku jalani amatlah membosankan.

***

Hari pun berganti, hari baru datang menggantikan hari kemarin. Semua ada masa nya. Semua ada waktunya. Semua ada batas nya.

Hari ini merupakan hari kedua kegiatan MOS di sekolah baru ku. Hampir sama seperti hari sebelumya, aku memulai hari dengan rasa syukur yang kadarnya amat kurang. Seakan ada rasa yang begitu hampa menggelayuti hati.

Pagi berdetak perlahan seiring jalannya jarum jam. Untuk keempat kalinya dalam lima menit terakhir, aku kembali menengok arlojiku. 6.50 terlalu awal lima belas menit, pikir ku.

Masih terlalu dini untuk kembali mendengar suara melingking dan cempreng kakak senior itu, mengingat aku belum bisa mengumpulkan lima puluh tandatangan senior.

“Separuhnya saja belum terpenuhi”, gumam ku sambil membayangkan kalo hari ini aku akan dijemur lagi seperti kemarin. Untung aku udah pakai sunblock. 

Pukul tujuh lewat lima menit, bel tanda masuk mulai dibunyikan. Sempat berharap bel itu akan berbunyi lebih lama lagi. Lebih lama sedikit lagi.

Teriakan itu terdengar lagi. Kali ini, teriakan itu meminta agar kami-anak baru-segera berkumpul di tengah lapangan. Lalu memberi beberapa penjelasan mengenai sekolah, kegiatan ekstra dan lain sebagainya. Hanya mereka yang berdiri di barisan yang paling depan yang menunjukkan wajah serius, mendengarkan, menggangguk ketika ditanya. Sedangkan aku yang berada di barisan terakhir kedua, bediri di banjar kedua, sedang berharap semua ini akan segera berakhir sembari menatap sekitar.

Pagi berlalu, kini siang mulai mengintip perlahan. Suara bel mulai meraung-raung kembali. Seperti sebuah sirine pertanda terjadinya sesuatu, tepat saat ia berbunyi, semua pintu terbuka bersamaan. Mereka yang pertama keluar adalah guru-guru dengan muka sedikit lesu. Sembari menenteng beberapa buku, mereka berjalan kembali ke ruangannya.

Barisan kedua yang mulai berhamburan adalah beberapa kakak senior yang kelasnya tepat berada di sebalah kanan tempat ku berdiri. Kelas XI IPA 2. Mereka yang keluar setelah guru langsung menuju satu tempat. Terpusat di satu titik di sebuah ruangan kecil dekat dengan tempat pakir: KANTIN.

Ya..di sanalah mereka berkumpul, mulai mimilah dan memilih tempat yang nyaman untuk mereka duduki. Bertemu dengan teman dari kelas lain. Sayup-sayup terdengar dari percakapan mereka adalah mengenai main PS habis pulang sekolah, soal ujian, dan siapa yang baru punya pacar.

Kantin itu didesain sangat minimalis. Hanya merupakan sebuah ruangan kecil berukuran 6 x 8 meter. Namun, mampu menampung puluhan siswa entah bagaimana caranya. Di sampingnya, ada lagi sebuah ruangan yang ukurannya jauh lebih kecil. Hanya diberi sekat berupa berapa pintu darurat yang terbuat dari seng, ada sebuah tempat makan yang tak kalah penuh. “Kantin siswa putri” begitu yang tertulis di atasnya. Kantin bergender, gumam ku.

Seperti namanya, kantin ini memang di khususkan untuk siswa putri, walau pun siswa putra lainnya pun masih bisa nyelonong seenak hati ke sana. Tak seperti di kantin sebelahnya. Di kantin ini, sayup-sayup terdengar beberapa siswa yang sedang bertukar cerita. Ada yang bercerita tentang pacar barunya, tentang cowok-cowok basket, sampai merk kosmetik apa yang digunakan oleh guru. Semua suara itu menggema perlahan-lahan seiring dengan sesuap nasi soto yang mereka makan.

Mata ku tak berhenti menjelajah, sedang berupaya menikmati setiap jengkal sekolah baru ku. Mempelajari sudut-sudut sempit di ujung sekolah tempat kakak senior berkumpul untuk bolos sekolah. Menikmati kaganasan lapangan basket jika siang sudah menunjukkan tajinya. Menikmati setiap jenggal langkah yang akan menjadi cerita dalam hidupku. Menikmati sebuah pemandangan luar biasa menarik, tatkala aku melihat seorang perempuan sedang duduk di bawah pohon akasia sembari membaca sebuah novel.

Deru angin mulai mendera, mengibaskan setiap tangkai daun yang tumbuh dan berkembang di pohon itu. Deru angin yang tak ayal langusng menyibakkan rambut nya yang hanya sebahu itu. Raut wajah ayu dengan seuntai senyum langsung terlihat ketika sedikit demi sedikit rambut itu tersibak angin.Cantik.

Langkah ku menjadi sangat ringan. Seakan semesta lewat anginnya menyuruh ku untuk perlahan demi perlahan melangkahkan kaki  mendekatinya. Pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit aku memotong jarak yang ada di antara kami berdua. Pelan tapi pasti, aku mulai melangkah meninggalkan lapangan basket yang panas layaknya neraka itu menuju tempat yang rindang. Tepat di ujung sana, seratus meter ke arah barat neraka. Di sana ada surga yang menawarkan berbagai macam keteduhan. Fisik dan hati. Di sana, tepat di sebelah barat ada bidadari yang sedang duduk manis. Duduk di tepian surga yang sejuk 

“Hai.. Itu Kambing Jantan ya?”, sapa ku sembari menunjuk ke arah novel yang sedang ia baca.

Sambil menyibakkan sebelah sisi rambutnya, dia mendongak ke arah ku yang hanya terlihat seperti sebuah siluet orang jangkung di bawah teriknya sang mentari. “Iya..kok kamu tau?” jawabnya sembari tersenyum.

“Iya..siapa sih yang gak tau buku yang lagi booming itu. Eh..boleh duduk di sini.” Dan tanpa menunggu sebuah kata persetujuan aku mulai menjatuhkan diri di sebuah tempat duduk terbuat dari sebuah beton berwarna abu-abu.

“Di sini banyak yang nggak tau buku ini.”Jawabnya.
“Masak sih?”tanya ku heran.
“Iya..di sini banyak yang nggak suka baca. Jadi nggak terlalu tau kalo ada buku kayak ini.”
“Oohh..begitu ya..” jawab ku mengiyakan. “Eh, aku Cahyo” lanjut gue sembari mengulurkan tangan mencoba mendekap erat tangannya nya.
“Nita” jawabnya sembari menjabat erat tangan ku. Dan seketika itu.. Aku merasakan ada sesuatu yang beda saat kali pertama tangan kami bertemu. Menjabat satu sama lain. Tangan bertemu dengan tangan. Mata bertemu dengan mata beradu pandang, beradu senyuman.

Rasanya, hari itu aku ingin waktu berhenti sampai di sini.Sampai di saat aku melihat sosok bidadari di sebuah surga yang hanya terbuat dari beton keras yang mulai rusak. Di sebuah surga yang diteduhi oleh pohon akasia berusia senja yang dihiasi dengan sepoi angin menderu-deru.

“Boleh duduk”, Tanya ku di lain waktu. Tetapi sebelum sempat dia menyatakan persetujuannya, aku telah terlebih dahulu menjatuhkan pantat ini ke sebuah tempat duduk nan keras itu. Sebuah senyuman kembali merekah di bibir merah mudanya. “Ini..udah aku tanda tangani sama udah aku kasih nama.” Katanya sambil memberikan sebuah note book berwarna coklat terang. “Eh..kamu yang tadi dijemur di lapangan bukan sih?” tambahnya

“Haa.. “ aku sempat tergagap menjawabnya. “Iya..aku yang seharian ini di jemur sama Si Kampret itu.” Lanjut ku kesal.
“Heh.. Kamu kan anak baru.” Dia menncoba menjelaskan, “Belum tau kan galaknya dia itu kayak apa?”.
“Emang dia galaknya kayak apa, Mbak?”, sahut ku seraya menunjukkan rasa ketidakpercayaan yang tinggi.
“Mbak?”, jawabnya seraya menunjukkan ekspresi jangan-panggil-gue-kayak-gitu ke arah ku. “Panggil nama aja biar akrab.” Lanjutnya sembari tersenyum malu.
”Iya deh mbak.. Eh, Nita.” Kembali sebuah senyum terlontar, meloncat indah dari wajahnya yang begitu indah di bawah terpaan sinar matahari yang malu-malu menembus kerumunan daun pohon akasia.

***

Tak terasa perkenalan singkat dengan kakak kelas itu menyisakan begitu banyak cerita di antara kami berdua. Mulai dari sebuah novel, hobi, kebiasaan, sampai hal yang paling sangat sering dibicarakan oleh anak seumuran kami… Cinta.

Seakan menaiki sebuah mesin waktu dari masa depan, kami berdua diajak untuk melampauhi sebuah masa di mana kami sering jalan-jalan berdua. Bersama menikmati setiap senja bersama melepas penat setelah seharian belajar bersama, di kelas yang berbeda. Waktu seakan menjadi musuh terberat saat kami bersama, waktu juga lah yang kadang harus memisahkan kami di setiap harinya. Tapi pada waktu juga lah kami harus berterimakasih karena kami diketemukan lagi.

Aku harus berterima kasih pada waktu, aku menggumam. “Apa yo”, tanyanya heran. “Kamu barusan bilang apa?”
“Hah?? Enggak kok.”
“Halah.. Ngaku aja barusan ngomong apa.”
“Hahaa.. Aku tadi cuma berpikir. Kayaknya aku harus berterima kasih sama waktu.”
“Buat?” jawabnya cepat
“Buat segala hal yang setiap hari kita lakukan.. bersama” aku menjawabnya.. Belum sempat aku meneruskan kata-kata itu, tiba-tiba tangannya terjulur ke arah ku. 

Mencoba menangkap dan menarik tangan ku. Sesaat kemudian tubuhnya mulai condong ke arah depan, dengan sedikit berlari dia menarik ku ke arah tempat di mana kami pertama kali bertemu. Di suatu tempat yang masih dihiasi pohon akasia yang tak lagi muda.

Sembari menaruh jari telunjukknya tepat di bibir nya yang bersemu merah seakan meingisyaratkan untuk diam, dia berkata “Coba deh,, kamu duduk disini. Tenang. Dan dengarkan”

Aku berusaha menurutinya, tanpa berusaha mendebatnya. Aku berusaha untuk diam, mencoba mendengarkan apapun itu. Detik berganti menit, sembari berusaha mencuri pandang ke arah dia yang setia dengan ketenangannya, aku mencari apa yang sedang ia dengarkan. Dan sekali lagi, ketika aku berusaha lagi mencuri pandangan ke arah nya sebuah sapuan tangan lembut darinya berusaha menjauhkan wajah ku. Konsentrasi. 

“Nit.. Kita lagi ngapain sih?” Tanya ku mencoba menghilangkan keheningan di antara kami yang sudah berlangsung ratusan detik ini.
“Ahh.. kamu berisik ahh!!” katanya setengah marah. “Aku tadi mau ngajak kamu buat dengerin suara angin” tambahnya.
“Suara angin?” Tanya ku heran.“Kenapa kita harus dengerin suara angin sihh? Kenapa kita nggak cerita aja kayak yang selalu kita lakukan?” lanjut ku memprotes.
“Yoo..” sapanya lembut. “Kamu tau nggak kenapa Tuhan ngasih kita dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga tapi hanya memberi kita satu mulut?”, lanjutnya
“Emh… “
“Tuhan itu ngasih kita dua tangan agar kita banyak bekerja, ngasih dua kaki agar kita banyak bergerak, ngasih kita dua mata agar kita banyak melihat, ngasih kita dua telinga agar kita banyak mendengar. Tapi satu mulut agar kita nggak banyak bicara.” Jelasnya sembari melempar sebuah senyuman. Lalu diraihnya tanganku, digenggam erat tangan, lalu dia berkata,” Aku tadi mau ngajakin kamu, buat belajar lebih banyak mendengarkan”, katanya sembari mencari jari telunjuk tangan kanan ku yang lalu dia tempatkan menempel di mulutku. “Banyak mendengarkan, Yo”, lanjutnya.
Banyak mendengarkan, ulangku dalam hati.

***
Empat bulan berlalu setelah aku mengutarakan perasaan ku kepadanya, empat bulan menjalani hari bersama, menikmati senja di bawah langit yang sama. Setiap hari yang kami lalui selalu menjadi sebuah hari baru. Selalu ada cerita tentang apapun, novel, senja, hingga gossip ter update anak-anak popular yang baru saja jadian sama anak basket. Tapi.. cerita andalan kami bukan soal itu semua, cerita andalan kami berdua adalah tentang masa depan. Masa depan yang bagi anak seusia kami masih sangat abstrak. 

“Aku besok mau jadi penulis, Nit.” Kata ku di suatu waktu itu
“Hee.. Seriusan? Kok tiba-tiba kamu mau jadi penulis?”
“Iya.. Itu karena kamu”
“Hee”, dia terheran-heran.”Kenapa gara-gara aku?”
“Iyaa..karena kamu udah membuat aku jadi suka baca novel lagi. Karena tiap hari bersamamu, aku punya banyak cerita untuk diceritakan. Dan berkat kamu.. Aku jadi punya mimpi untuk diimpikan”, sahutku mantap
“Apapun itu, Yo.. lakukan karena kamu memang itu yang inginkan. Jangan demi orang lain” katanya meneduhkan.
“Nah..justru ini yang aku inginkan Nit...”
“Apa?” sergahnya
“Membuat kamu bahagia.” Tegas ku.

Kemudian, seraut wajah tersipu mulai muncul di raut wajahnya. Sembari menunduk dia berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Di sana, di saat dia berusaha menyembunyikannya, ada sebuah senyum terkembang.



***

Waktu kembali menjadi musuh yang abadi bagi kami yang sedang menikmati hari kami. Tak terasa bulan-bulan akhir sekolah mulai tiba, dia yang akan segera menyelesaikan masa belajar nya di sekolah ini, mulai giat mengikuti serangkaian tes yang diadakan di sekolah.

Namun, hal itu tak akan pernah memupus cerita di antara kami. Setiap sore setelah dia selesai menunaikan kewajibannya di sekolah, kami selalu menghabiskan waktu bersama. Aku selalu menungguinya di tampat yang sama sejak pertama kali kami bertemu. Di bawah pohon akasia yang tak lagi muda.

Boleh jadi, sore itu mungkin bukan sore yang sempurna seperti yang selalu kami lewati bersama. Awan mendung, berwarna abu-abu tebal seperti membawa kesedihan berjuta-juta orang di dalamnya, datang menghampiri.

“Duuhh.. Bentar lagi hujan. Langsung pulang yukk” ajak ku
“Iya.. yukk ah pulang. Aku juga lagi nggak enak badan nih” katanya lemas
“Kamu nggak apa-apa, Nit?” Tanya ku sambil memegang tangannya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kurang sehat.
“Nggak apa-apa kok, Yoo. Kecapean aja, beberapa hari ini harus ikut tes terus.”
“Itu kok matamu hitam gitu sih.. Lebam gitu?” Tanya ku heran
“Nggak apa-apa, serius. Akuk cuma kecapean sama kurang tidur aja kok.” Jawabnya sembari tersenyum.“HAKUNA MATATA!!” lanjutnya.
“Hakuna matata?”
It means no worry. You do not have to worry about me”, katanya yang kemudian menyeret tangan ku ke arah tempat parkir. Of  course, I must worry about you, because I care with you, I love you, gumam ku sembari mengikuti ajakan dia.

Tepat 30 menit kemudian, kami sampai di depan pagar rumahnya. Pagarnya yang menjulang tinggi dengan hiasan kawat berduri di atasnya, sangat menandakan bahwa keluarganya sangat berhati-hati. Sesaat kemudian sebuah bel listrik berwarna lusuh ditekannya, dan tak butuh waktu lama seorang dari dalam datang membukakan pintu gerbang. Terdengar suara engsel pintu yang tak pernah diminyaki saat pintu itu dibuka.

Dari dalam gerbang itu, terlihatlah seorang pria berusia awal 50 tahunan. Badannya yang tak terlalu tinggi. Tubuhnya yang cukup gemuk, dengan rambut tipis dan kumis yang habis dicukur, dia memberi senyum kepada kami yang berada di depannya.

Dan setelah dia turun dari motor ku, Nita berjalan mendekati sosok pria itu. Menjabat tangannya lalu mencium pipinya. “Yo.. Ini kenalin papaku” katanya. 
Ini kali pertama aku bertemu dengan papa nya Nita sepulangnya dari Singapura.

“Hah?? “ Aku masih terdiam, mencoba memahami dan mencari di mana letak kemiripan antara bapak dan anak itu. 

“Oh.. Halo om, saya Cahyo” sapa ku sembari mengulurkan tangan, mencoba menjabat tangannya. Sambutan hangat aku dapatkan darinya. Budi Rahardian, begitu dia mengenalkan namanya.

“Nita udah cerita banyak soal pacarnya lho. Ternyata baru sekarang bisa ketemu langsung”, katanya sembari mengajak ku masuk ke dalam rumah yang berukuran wah itu.

Akan tetapi, kami tak sampai masuk ke dalam, hanya berhenti di sebuah teras yang berhias beberapa tanaman tak berbunga, empat buah kursi dari kayu, sebuah kursi goyang dari rotan, dan sebuah meja kecil penuh koran. Kami duduk di kursi itu, menikmati sore yang sendu dan kelabu. Bercerita menegani apa saja, baik keluarga, cita, maupun cinta. Di sinilah aku menemukan kemiripannya, yaitu pada kehangatan saat kami bercerita. Sama saat cerita bersama Nita, sebuah warisan, pikirku.

***

Seminggu berlalu sejak kali pertama aku bertemu dengan Om Budi, sapaan ku ke beliau, dan sudah seminggu ini pula aku makin dekat dengan tak hanya Nita dan Om Budi, melainkan juga dengan Tante Silvi. ibu dari Nita. Mereka sudah menganggap aku adalah bagian dari keluarga mereka. Dan aku merasa sangat bangga dengan itu semua. Namun, sekaligus juga sedih.

Seminggu ini pula lah, lebam di wajah Nita makin menjadi, dan masih sama sebelumnya dia hanya bisa berkata bahwa dia hanya kurang tidur dan kecapean. Dan berkali-kali selama seminggu ini aku hanya bisa menaruh kepercayaan kepadanya, bahwa dia tidak apa-apa. Dia baik saja.. dan setiap kali dia aku tanya dia selalu menjawab dengan kata yang sama. HAKUNA MATATA. Kata yang didapatnya dari sebuah film kartun kesukaannya: The Lion King. 

Beberapa hari berikutnya dia mendadak menghilang dari radar ku. Beberapa hari dia tidak masuk sekolah, semua temannya tidak ada yang tau kemana dia. Setiap sore aku mendatangi rumahnya, kembali menekan bel yang usang, menunggu seseorang berlari dari dalam rumah, membukakan pintu dengan senyum ramah. Tapi tidak hari ini. Semua usaha ku untuk menemukannya terasa sangat nihil.

Hingga pada akhirnya, sebuah pesan singkat masuk ke telpon genggam ku.


“Haii Yoo..

Maaf ya beberapa hari ini aku nggak ngabarin kamu. Aku lagi di rumah sakit ini, tapi kamu nggak usah khawatir ya.. aku pasti sembuh kok. Dan kita akan ketemu lagi, ngobrol lagi, nyari senja lagi kayak yang biasa kita lakukan. HAKUNA MATATA 

Mendapat pesan itu, mendadak semua terasa sangat jelas. Matanya yang lebam, kondisi tubuhnya yang lemas, memang menandakan bahwa dia sedang sakit. Begitu mendapat pesan itu, aku langsung menuju ke sebuah rumah sakit yang ada di sebuah kota yang tak jauh dari kota kami berasal.

Dan di sanalah aku, berada di sebuah tempat asing berbau obat di mana-mana. Sejauh aku memandang banyak sekali orang berlalu lalang, sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku masih berusaha mengedarkan pandangan ke semua arah sampai akhirnya aku menemukan meja informasi.

“Selamat siang pak” sapa ku.“ Saya mau mencari pasien bernama Yuanita Damayanti, dirawat di ruang mana ya?"

Kemudian si petugas yang ada di dalam bilik itu mengarahkan panadangannya ke depan sebuah komputer lalu mulai mengetikkan sebuah nama.

“Pasien atas nama Yuanitta Damayanti sudah dipindahkan ke RSCM mas, empat jam yang lalu”

Mendadak hilang sudah harapan ku untuk bertemu dan melihatnya, pesan singkat itu pasti ia kirim ketika ia sudah berada di sana. Dan berkali-kali sudah aku mencoba membalas pesan itu, tak ada respon balik. Berkali-kali juga aku berusaha menghubungi nomer itu dan hasilnya nihil.

Akhirnya setelah selesai menunggu selama tiga hari ada sebuah pesan singkat yang kembali masuk ke dalam ponselku. Alih-alih sebuah pesan bahagia yang gue dapat, pesan itu ternyata adalah pesan dari Om Budi, yang sedang menunggu ku di sebuah stasiun di Kota Gudeg.

“Kita hari ini berangkat ke Jakarta. Om tunggu kamu di Stasiun Tugu. Ada yang mau Om kasih lihat ke kamu. –Budi Rahardian” 

Tanpa pikir panjang, Aku langsung mengemasi barang-barang lalu menuju ke tempat yang sudah di janjikan. Tak butuh waktu yang sangat lama untuk sampai ke tempat itu, dan begitu sosok ku terlihat olehnya, Om Budi langsung membawa ku menuju sebuah kereta yang entah bagaimana sudah diatur keberangkatannya.

Di sepanjang perjalanan itu lah semua cerita terungkapkan. Sebuah cerita yang tak pernah Nita ceritakan. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah aku lupakan. Sebuah perjalanan yang menyisakan luka dalam dada, menyayat raga saat mendengar sebuah kenyataan bahwa seorang yang aku cinta sudah tiada.

Cucuran air mata ku pernah berhenti mengalir dari kedua pelupuk mata ini saat mendengar kabar bahwa dia sudah tiada karena suatu penyakit yang sudah lama dia simpan, dia pendam sendiri.

Sebuah penyakit yang perlahan demi perlahan menggerogoti seluruh fisiknya, merenggut kebahagiaannya, meghilangkan senyum manis yang selalu ada di wajahnya. Sebuah penyakit yang sangat mematikan… kanker darah.

Hampir delapan jam kemudian kami sampai di Stasiun Senen dan Om Budi dengan sigap mencarikan kami sebuah taksi yang langsung mengantar kami ke sebuah rumah. Tapi aku bersikukuh untuk langsung diantarkan ke sana, ke tempat di mana Nita diistirahatkan untuk selama-lamanya.

“Tunggu sampai esok hari, kamu kan baru saja sampai” kata Om Budi mencoba menenangkan ku.
“Tapi Om.. Itu Nita..”
“Iya..Om tahu bagaimana perasaanmu, tapi kamu tenang dulu ya.. yakin bahwa memang sudah jalannya harus seperti ini”

Keesokkan paginya aku diantarkan ke tempat itu, tempat di mana dia beristirahat selama-lamanya. Di sebuah tempat yang sangat rindang di mana di sampingnya ada sebuah pohon akasia .Persis seperti kesukaanya dulu. Di sebuah batu yang digunakan sebagai nisannya tertulis namanya lengkap dengan nama belakangku.  

“Dia yang ingin nama belakang mu ditulis di nisannya. Itu permintaan terakhirnya” jelas Om Budi.“Om juga nggak tau apa maksudnya. Mungkin apa yang kalian lakukan selama ini sangat luar biasa, sampai ia meminta Om melakukan hal ini. Lagi pula, selama dekat sama pacaran sama kamu, Om tidak pernah melihat lagi wajah sedih terpancar dari dirinya.” Om Budi berusaha menahan kata-katanya. “Terimaksih ya.. Mas Cahyo. Sudah mau membaut hari-hari terakhirnya menjadi sangat indah.”

Tak ada sepatah kata pun yang mampu aku katakan.. hanya air mata yang mengalir.

Tak terasa, hujan makin lebat turun, seakan hujan turun kembali menyadarkan ku dari kenangan itu. kenangan yang sudah hampir 7 tahun berlalu. Sebuah payung tiba-tiba melindungi ku dari derasnya hujan yang turun. Saat gue mendongak ke atas, seraut wajah senja tersenyum ke arah ku.

“Yukk, kita pulang. Nita pasti nggak mau lihat kamu lama-lama di sini dan sedih karenanya” ajak Tante Silvi.
“Iya tante, aku cuma kangen aja sama Nita”, tambah ku seraya bangkit berdiri dan menyeka air mata yang sedari tadi mengalir tanpa henti.

  
Paling tidak, kini aku tahu Cinta pertama ku nggak akan pernah kemana-mana, hati kecil ku berkata.

4 Responds