Sendiri

9:40 AM

Aku kembali berjumpa dengan nya. Aku menghitung setiap detiknya setelah terakhir kali bertemu dengannya. Sejak aku dan dia duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari bambu yang sudah reyot dan menimbulkan suara setiap kali bangku itu harus menerima beban di atasnya. 

Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah saat aku, dengan segenap keberanian yang aku kumpulkan bersama dengan setiap hembusan nafas ku, memberanikan diri, melawan semua andai, hanya untuk berucap bahwa aku sayang dia. Dengan orang yang telah membawa hal-hal baik ke dalam hidupku yang selalu statis ini. 

Paras ayu nya tak banyak berubah walau telah berpisah. Hidungnya yang walau tak pernah bisa disebut mancung, hari itu terlihat sungguh menawan. Matanya, yang selalu indah dengan warna cokelatnya, selalu memancarkan sebuah keoptimisan. Dia berjalan anggun dengan sepatu hak tinggi nya ketika menuruni podium. Awan berarak pelan, angin berhembus sepoi. Seakan semesta tak ingin melihat salah satu makhluk cantik yang pernah tercipta di bumi itu merasa kepanasan. 

Dia berjalan mantap kembali menuju tempat duduknya di deretan kursi belakang. Rambutnya yang hari itu sedikit dibuat bergelombang dengan hiasan bunga-bungaan, membuat waktu seakan berjalan pelan. Wajahnya yang tersapu riasan dipadukan dengan senyum yang selalu menawan adalah senjata andalannya. Tak ayal dia selalu mudah diterima dimanapun dia berada. Dia membawa selalu cinta bersamanya. Cinta yang tak malu untuk selalu ditunjuk dan dibagi. 

Hari itu kami diwisuda. Sebuah puncak pencapaian dari perjalanan di sebuah lembaga pendidikan tinggi. Aku duduk di deretan tengah, tenggelam di antara ratusan mahasiswa lainnya yang sedang sibuk mengabadikan momen dengan telepon genggam yang semestinya tak boleh dibawa. Tenggelam di riuh tepuk tangan setiap kali tali yang tersemat di topi berbentuk segi lima yang kami kenakan dipindahkan. Tenggelam melihat Krisya berjalan pelan. 

Aku memberinya seikat bunga Daffodil. Bunga yang melambangkan sebuah awal yang baru. Bagi dia. Bagi ku. Bagi cerita kami berdua. 

Dia adalah perempuan yang dalam sekejap mampu membuat senja menjadi terasa istimewa dengan bumbu-bumbu cerita romansa. Perempuan yang mampu menghadirkan tawa saat duka sedang merajalela. Yang menghadirkan harapan saat aku lelah dan terjebak dalam segala penantian.

Dia juga adalah sosok yang mampu menjadikan sendiri menjadi begitu terasa sepi. Dia juga yang mampu menghadirkan musim hujan yang tak kunjung berkesudahan di dalam diri. Meninggalkan sebuah lubang yang menganga di sana, saat dia mulai menutup pintu pagar biru kostnya. 

Dia tak berpaling lagi. Meninggalkanku sendiri berteman sepi. Sunyi. Dan angin yang berhembus sepoi.

Setahun berlalu dan aku masih sendiri. Krisya benar-benar telah meninggalkan lubang yang tak bisa ditambal oleh sembarang orang. Lubang yang benar-benar dalam dan kosong. Yang membuat ku menjadi sosok yang asing, bahkan untuk diriku sendiri. 



Sendiri aku duduk menikmati pagi bersama segelas kopi. Aku mencoba untuk menghayati setiap sepi yang setia duduk menemani. Tersenyum kecut saat mengingat segala hal yang pernah aku lakukan untuk mendapatkan perhatiannya.

Memang hanya cinta yang mampu membuat buta. Iya.. hanya cinta yang mampu membuat kecerdasan dan logika menjadi tak berguna. 

Aku ingat saat dia tiba-tiba suka membaca puisi, hari-hari aku habiskan untuk belajar merangkai kata, menyulam rima, untuk membuatkan dia sebait kata-kata cinta. Lalu, saat dia berkata dia suka cowok yang bisa bermain musik, berhari-hari aku belajar bermain gitar. Hingga tangan pegal, jari lecet, semua aku rela lakukan untuk membuat dia tersenyum bangga. Atau saat dia bilang dia suka dengan sosok pria bersuara merdu. Aku yang sama sekali buta dengan nada-nada mencoba mengalahkan diri sendiri dengan ikut bergabung dengan kelompok paduan suara di kampus. Hasilnya, jelas aku dikeluarkan saat baru saja selesai mengisi formulir pendaftaran. Atau saat dia bilang bahwa dia suka dengan sosok pria yang religius, cinta dengan Tuhan dan agamanya. Mendengar itu, walaupun tak mungkin ikut ibadatnya, seminggu sekali aku rajin datang ke gereja. Paling tidak ikut membantu menjaga kendaraan yang terpakir. 

Semua karena perasaan cinta kepada dia. Cinta yang walau pada kenyataannya hanya bertepuk sebelah tangan.

Sendiri aku mencoba memaknai setiap hal yang baik yang pernah aku lakukan untuk nya. Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Berusaha untuk menjadi orang pertama yang berucap, ‘selamat pagi’ untuknya. Menghirup aroma embun sembari berlari di saat mentari masih enggan menampakkan diri. Banyak meminum air putih seperti yang selalu dia inginkan.


“Kamu banyakin gih minum air putihnya,” katanya dulu.

“Kenapa?”

“Aku enggak ingin kamu sakit”

“Kamu perhatian sekali kepadaku..”

“Nggak!!” katanya tegas. “Aku enggak mau kamu sakit soalnya bakal nyusahin.” Candanya sambil menepuk bahu ku.

Dalam sepi dan sendiri, aku mencoba untuk merangkai setiap puzzle-puzzle yang pernah aku jalani. Dan, walaupun kini kami sudah tak akan mungkin merajut cerita indah bersama lagi, aku merasakan bahwa segenap hal yang pernah aku lakukan untuknya kembali kepada diri ku sendiri. 

Aku selalu bisa bangun di pagi hari. Menikmati udara pagi sembari menanti mentari menampakkan diri. Membagi ucapan selamat pagi, kepada setiap orang yang aku jumpai. Dan walapun masih belum begitu rajin, paling tidak aku bisa berjamaah dalam mengerjakan ibadah. Sosial media ku, tempat aku kali pertama berjumpa Krisya, kini menjadi tempat aku menumpahkan beberapa larik kata berima yang aku buat tatkala suka dan duka datang. Aku juga masih sering belajar bermain gitar. Sedikit memang. Aku juga masih terus belajar bernyanyi. Belajar mengenal nada-nada rendah dan tinggi. Mencoba menyanyikan lagu-lagu dengan suara mayor dan minor. Yang tentu semua aku lakukan sewaktu aku di kamar mandi. 

Sendiri… aku menjadi mengerti. Bahwa cinta selalu datang kembali. 

Hanya butuh waktu sedetik lebih lama untuk merenung sendiri. Bercengkerama dengan sepi untuk bisa menemukan apa yang hati ingini.

Sendiri adalah cara paling tepat untuk mengobati luka hati. Membuat semua yang patah untuk bisa tumbuh lagi dan membuat semua yang hilang datang kembali. Teman, sahabat, keluarga, dan mereka-meraka yang sempat hilang saat aku jatuh cinta, datang kembali mengulurkan tangannya untuk memberi pelukan yang paling hangat yang memang satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan luka.

Sendiri… aku kembali menciptakan bahagiaku. Yang untuk beberapa saat harus selalu tergantung pada seseorang. Yang untuk beberapa saat bahagia harus beralasan.

Lalu aku mengerti bahwa cinta memang banyak membawa suka, juga duka sebagai bonusnya. Cinta, katanya, bisa membuat kecerdasan dan logika kita menjadi dangkal. Membuat hati dan otak saling menyangkal.  

Tapi itulah cinta, yang walaupun dengan sebelah mata ataupun buta sekalipun. Yang walaupun bertepuk sebelah tangan dengan sangat keras sekalipun. Ia akan selalu kembali membawa hal-hal baik kepada diri sendiri…*)

Dan aku bersyukur, bahwa lewat dia,  Tuhan telah mengajarkan ku untuk mencintai, mengalahkan diri sendiri, dan berjuang melawan semua andai..


Kata dari buku berjudul Ayah karya Andrea Hirata *)
Foto dari Vania, diupload sesuai atas ijin yang diberikan.

7 Responds