Krisya.

2:46 PM

Namanya Krisya. Memang bukan nama yang sering ia gunakan untuk memperkenalkan dirinya di hadapan banyak orang. Bukan juga nama yang sering ia gunakan untuk melabeli hampir semua sosial media yang bejajar rapih di ponsel pintarnya. 

Tapi nama itu —nama yang aku dapat dari hasil pencarian selama berhari-hari di web kampus— terasa mempunyai daya hisap sendiri. Nama yang merupakan deret ketiga dari nama lengkapnya itu, kini telah meracuni hampir semua isi otakku. Nama yang seolah-olah mampu membangkitkan endorfin di dalamnya untuk terus menerus memaksa, agar sebagian besar tubuh ini mau mengeja dan menuliskan namanya.

Krisya, nama itu lah yang kini menjadi tanda tersimpannya beragam info mengenai dirinya di dalam ponsel pintarku. Mulai dari nama lengkap, tanggal lahir, beragam nama akun sosial media nya, nama blog, alamat, sebuah foto berdimensi kecil, hingga kutipan favorit yang diambil dari salah satu kitab suci. 

Sebagian besar info itu aku dapatkan bukan dari dia secara langsung. Banyak diantaranya aku dapat dari pencarian selama berjam-jam di web kampus. Beberapa diantaranya aku dapat dari keisenganku menuliskan namanya di mesin pencari di internet. Dan sisanya aku dapatkan dari hasil petualangan bertanya dengan mutual friend di sosial media yang kami miliki. Namun, dari ke semua info yang hanya merupakan dereten kata dan selembar foto dengan background  warna merah itu, nyatanya tak mampu memadamkan rasa penasaranku tentang sosoknya.

Walau sudah cukup banyak info mengenai dirinya yang berjajar rapih di dalam ponsel pintarku, kemistisan nama itu tetap dan masih saja mengganggu isi pikiran ini. Nama itu kini telah mengambil porsi lebih banyak secara paksa di dalamnya. Seakan memaksaku untuk melihat kembali catatan - catatan yang aku miliki kalau-kalau saja ada bagian yang terlewatkan tentang siapa dia sebenarnya.

Aku baru mengenalnya seminggu belakangan. Dia adalah seorang perempuan yang tiba-tiba saja hadir di dalam deret follower twitterku.  Ada aura yang lain ketika aku membuka profil twitter yang ia miliki sekadar memastikan bahwa itu akun asli milik seseorang. Tak banyak informasi yang bisa diambil dari biography yang disediakan platform microblogging itu. Hanya sebentuk gambar hati dan tulisan travelling. Hal itulah yang mendorongku untuk lebih dalam lagi mencari tahu tentang sosoknya yang begitu sangat menghadirkan rasa penasaran ini.

Perkenalan kami dimulai dari sapaan-sapaan 'Selamat pagi' dan ucapan selamat datang di lini masaku. Dari sanalah percakapan mulai berkembang menjadi semakin dalam. Bercerita tentang pribadi masing-masing dalam form yang teramat singkat. Berkat percakapan singkat itulah aku sedikit mengenal pribadi Krisya yang ternyata lucu, yang kadang agak telat dalam menanggapi sesuatu, yang kadang bilang "aku itu nggak reti artinya" setiap kali aku mengirim tweet dengan bahasa inggris. Begitu hangat. Begitu dekat. Walau hanya sebatas di dunia yang sejatinya tidak bisa terlihat.

Merasa percakapan kami di twitter banyak mengganggu lini masa orang, kami pun memutuskan untuk bertemu secara langsung. Berupaya menuntaskan rasa penasaran akan pribadi yang hanya kami kenal lewat layar ponsel kami masing-masing. Diawali dari ajakan untuk melewatkan siang bersama dengan menikmati santap siang, akhirnya tersepakati lah pertemuan pertama kami. 

Pertemuan pertama kami berlangsung di sebuah warung makan pinggir jalan. Menu makanan yang khas penyetnya, membuat warung itu sangat jauh dari kesan romantis. Dari pertemuan itulah akhirnya aku tahu bahwa Krisya adalah seorang perempuan berwajah membulat, berkulit sawo matang, dengan rambut yang biasa tergerai se punggung. Teramat sangat berbeda dengan selembar foto yang aku temukan di internet. Kulitnya halus saat kali pertama aku menjabat tangannya. Wajahnya bersih tanpa noda, berwarna senada dengan kulitnya yang kecoklatan, seakan mampu menghadirkan kenyamanan tersendiri saat memandangannya. Sempurna. Lebih lagi dengan adanya tahi lalat tepat di bawah pipi kanan nya, membulat hitam di dekat dagu bagian belakang. Matanya berwarna cokelat terang dengan tatapan yang meneduhkan, juga sepasang gigi seri yang mirip gigi kelinci yang selalu tersembul saat dia tertawa. Yang membuat semuanya tambah istimewa adalah gaya bicaranya yang sangat khas. Gaya bahasa ngapak yang selalu menjadi penunjuk tersendiri mengenai tempat asalnya, di Purbalingga sana.

Setelah selesai menuliskan pesanan kami dan memberikannya kepada mas-mas yang dengan cekatan meraciknya, kami mencoba mengenal lebih dalam lagi. 

Aku menegakkan posisi duduk dan bertanya kenapa ia mempunyai bola mata yang berwarna sedemikian itu. Dia tersipu, ada rona merah yang kemudian terlihat diantara kedua pipinya. "Aku itu masih ada garis keturunan kraton dari ibukku, walau agak jauh" jelasnya.

"Mungkin itu yang membuat mata ku jadi terkesan kelihatan berwarna coklat terang" lanjutnya menggenapi dengan logat ngapaknya yang sangat kental. Aku menggangguk berusaha memahaminya cerita tang terlampau singkat itu, "Ooh.. aku kira kamu pake lensa kontak".

Awan kelabu yang sedari tadi setia menemani santap siang kami, kini berubah semakin pekat. Hitam pekat. Beberapa kali gemuruh mulai terdengar saling menyahut, beberapa kali juga ia selalu menutup kedua telinganya saat itu terjadi. Angin berhembus membawa udara dingin ke tengah-tengah percakapan kami. Dia mulai banyak bercerita mengenai pengalaman mistisnya selama menjalani KKN, aku banyak bercerita tentang betapa kagumnya aku akan sosoknya yang selalu mampu menghadirkan tawa. "Ah... Kamu ini yok" begitu jawabnya saat tiap deret kata tentang dia terlontar dariku.

Awan hitam yang pekat itu pun akhirnya pecah menjadi milyaran titik-titik air. Tepat saat kami menyelesaikan suapan makan siang kami yang terakhir. Ada seraut wajah cemberut mengutuki cuaca yang akhir-akhir ini tak begitu bersahabat. Udara dingin kembali berhembus diantara kami, namun hangatnya perbincangan kami seolah mampu membuatnya menyingkir, menjauhi kami. 

Dia masih asyik bercerita dengan logat khas nya dan aku masih sibuk sendiri memandanginya, sembari menunggu tawa kecil hadir di akhir satu premis cerita yang tengah ia lantunkan. Hujan yang sedari tadi mengucur layaknya kran air yang dibuka tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti.

Percakapan kami mulai semakin cair, selain menyoal tentang masa-masa indah selama menjalani KKN dia juga sedikit bercerita tentang masa sekolah nya. Masa SMA yang tak akan pernah terulang untuk kedua kalinya.

Dengan seksama dia melantunkan cerita masa SMAnya, sembari sedikit demi sedikit mencoba memaksaku memberi tanggapan. Karena mungkin dia mulai sadar bahwa sedari tadi aku hanya diam membisu. Begitulah caranya memancing cerita-cerita masa lalu  ku untuk kembali menyeruak ke permukaan. Memaksa ku untuk kembali menguak cerita-cerita lama yang telah menjadi bagian dari kenangan. Dengan telaten dia mendengarkan ku bercerita, tatapan wajah lembutnya seakan mengorek isi hati yang paling dalam. Dan entah mengapa, deretan kata mengenai pacar pertama yang kini sudah tiada, beragam kegiatan ekstra kulikuler yang pernah aku ikuti, hingga angka yang menunjukkan jumlah skor yang harus aku terima karena beberapa kali membolos kelas sejarah mulai terucap dengan fasihnya. Menceritakan kembali cerita masa lalu memang merupakan cara ampuh untuk merawat semua kenangan yang ada padanya. Begitu jelasnya.

Hari sudah sangat sore ketika hujan mulai menghilang. Kami pun memutuskan untuk mengakhiri perjumpaan pertama kami, setelah aku sepakat mengantarkan dia kembali ke kost-kostanya. "Makasih ya yok!" katanya di depan pintu pagar besi berwarna biru yang telah karatan. 

Krisya adalah perempuan yang belum genap dua puluh empat jam aku temui, tapi ia telah mampu merusak segala bentuk rutinitas malamku. Malam yang biasa aku habiskan dengan membaca tumpukan novel yang sudah terlalu lama mengantri, kini berganti dengan jutaan canda tawa juga cerita melalui deretan kata dalam layar ponsel pintar kami. Pertemuan singkat kami itulah yang membuatku tahu bahwa dia adalah tipe manusia yang sangat punya banyak cerita yang selalu saja menarik jika dia yang menyampaikan. Sedangkan aku, adalah tipe manusia yang merupakan kebalikkan dari dia. Nggak banyak cerita yang mampir dalam hidupku yang terlalu statis. Aku hanya menjalani rutinitas yang ada dengan sebaik mungkin. Terlalu kaku.

Keesokkan harinya rutinitas ku kembali terguncang. Guncangan yang menyenangkan sebeneranya, saat aku yang baru saja menyelesaikan sarapan pagi  dan menengok pesan yang baru saja masuk ke ponsel. Sebuah ajakan makan siang dari dia lagi. Dengan secepat kilat aku mengiyakan ajakan itu. "Confirmed. Makan siang. Jam 1. Aku yang milih tempatnya. See you."

"Kamu itu kaku banget ya, yok. Balesin pesan aja kayak gitu" katanya sambil menyodorkan layar ponselnya ke arah muka ku. "Dengan gitu pesannya jadi lebih jelas. Gampang dipahami" jawab ku sambil memberikannya sebuah tatapan tajam. Dia melengos begitu saja, satu tangannya terangkat ke atas memanggil pelayan untuk datang mendekat.

Belum juga pesanan kami sampai di meja, dia kembali menguasi banyak jatah percakapan kami. Diisinya dengan cerita-cerita soal masa SMA nya lagi. Tentang teman-temannya, tentang guru-gurunya, juga tentang dia yang pernah pingsan gara-gara terkena bola saat menyaksikan satu pertandingan futsal. Masa SMA mu pasti luar biasa. Aku menggumam. Hari itu terasa begitu sempurna dengan kedatangan sosoknya. Sosok perempuan yang kini menjadi salah satu bagian dari rutinitas gue. 

Di hari-hari selanjutnya, makan siang bersama telah menjadi agenda rutin kami. Selepas pulang dari tempat magang, aku selalu menyempatkan diri bertandang ke kost nya. Mengajaknya untuk bertukar cerita dan membawakannya sebungkus coklat.
"Pasti kamu seneng ya yok, tiap hari bisa ngapelin princess" katanya suatu waktu.
"Hah? Ngapel apanya? Kan aku cuma main aja kesini. Lagian mana ada sih princess yang jam dua siang gini masih belum mandi?" aku membalas.
"Hahaa.. Ya biarin. Habis aku kan udah nggak ada jadwal kuliah. Jadi nggak perlu buru-buru mandi" jawabnya sembari menegakkan posisi duduknya. "Lagian ya yok. Belum mandi gini aja udah ada cowok yang hampir tiap hari dateng ke kost, ngapelin, sama kadang ngajak makan siang bareng." Dia menggenapi.

Aku saat itu hanya mampu menelan ludah sembari menahan tawa mendengar kalimatnya itu.

Dia adalah satu dari sekian banyak orang yang baru saja aku kenal namun sudah terasa begitu akrab. Cerita nya yang futuristik tentang segala apa yang pernah dia alami, telah menjadi candu tersendiri bagiku. Krisya adalah perempuan yang belum lama aku kenal, yang telah mengobrak-abrik segala rutinitasku, kini telah menjadi salah satu bagian terpenting dari hidupku. Namun, ada ketakutan yang aku rasakan saat terlalu sering bersama dia.

"Heh.. Kok kamu bengong yok? Di sini agak angker lho. Jangan kebanyakan bengong. Ntar kesambet" katanya sambil menepuk pundakku.
"Ah.. Enggak kok. Lagi kepikiran sesuatu aja" jawabku sembari membenahi posisi duduk yang melorot. Ada suara decitan dari kursi rotan tua yang ada di teras kost nya saat aku mulai memindahkan posisi pantatku. Kursi itu telah menjadi saksi bisu banyaknya cerita yang telah kami bagi. Menjadi saksi tumbuhnya satu perasaan diantara kami.

"Sya.. Kalo menurutmu pacaran sama sahabat sendiri itu asyik nggak?" tanya ku di sela-sela hujan yang tak terlalu deras mengucur. Ada keterkejutan sendiri yang ia tunjukkan saat mendengar pertanyaan itu. ]
"Ada asyiknya ada enggaknya sih yok" jawabnya sambil menyendok es krim coklat di atas pancakenya. Sore itu kami habiskan di sebuah cafe. Seperti kebiasaannya, dia duduk menghadap ke jalan dan aku duduk menghadap ke arah cafe. Satu hal yang bisa membuatnya merasa bahagia adalah bisa menikmati senja dengan melihat lalu lalang orang di jalan. Bahagia yang kelewat sederhana, begitu ejek ku ke dia, yang akan selalu dia jawab dengan kalimat sakti: Setiap orang punya taraf kebahagiaan sendiri-sendiri, ada yang bahagia dengan cara mahal dan ada pula dengan cara yang murah. Bahagia seperti hal nya perasaan orang yang  merupakan sesuatu yang sangat misterius.
"Asyiknya?"
"Asyiknya ya udah tau kurang lebih nya dari masing-masing pihak"
"Nggak asyiknya?"
"Semua modus yang dipake juga jadi ketahuan. Kayak kamu. Yang tiap hari bilang mau cerita tapi aslinya cuma mau ketemu aku kan?" lanjutnya dengan tersenyum manja, seolah dia tahu apa yang aku coba sembunyikan dalam-dalam. Mendengarnya berujar demikian, aku hanya bisa menggaruk kepala yang sejatinya tak merasakan gatal.

Tak dapat dipungkiri memang, semakin lama kami selalu menghabiskan waktu bersama, merajut cerita bersama, semakin dalam pula lah perasaan ku padanya. Perasaan yang dengan sangat susah payah aku tahan.

"Tapi.. Kamu nggak mungkin jatuh cinta sama aku kan yok?" katanya tiba-tiba.
"Kenapa kamu mikir nya kayak gitu?"
"Soalnya, menurut analisis ku. Kamu itu udah terlampau sering main ke kost ku. Terlampau sering juga ngajak aku jalan berdua. Lalu apa dong namanya kalo bukan jatuh cinta"
"Pun demikian ya yok. Jatuh cinta sama sahabat itu bisa berakibat nggak baik. Serius. Aku pernah dulu. Pernah suka sama temen ku SMA, tapi pas putus ujung-ujung nya jadi pura-pura nggak saling kenal. Pokoknya nggak enak lah yok"
"Ya.. Itukan kamu sama temen SMA mu, hal yang sama kan nggak akan berlaku buat ku"
"Pokoknya jangan!! Teman ya teman yok. Nggak boleh ada perasaan di dalamnya" lanjutnya dengan nada meninggi. Gumpalan eskrim yang baru saja melewati tenggorokanku pun rasanya tiba-tiba terhenti, tidak ingin mencair melainkan berubah menjadi keras. Ini bukan kencan pertama kami, tapi aku nggak pernah merasakan gugup yang terlalu seperti ini saat bersama dia.
"Iya-iya.."
"Pokoknya jangan ya yok. Aku seneng deh punya sahabat kayak kamu"

Ragu, aku pun mengganguk pelan. Seolah semua perkataannya mampu begitu saja melenyapkan perasaan yang kini sudah semakin tumbuh ini. Cinta memiliki tingkat kompleksifitas yang teramat tinggi. Sebuah kata 'jangan' terkadang malah menjadi satu pemicu yang membuat nya semakin membesar. 

Malam pun berlalu cepat. 

Alarmku berdering. Pukul 4.45 tepat. Di saat pagi yang masih menyisakan sejumput malam dan menjanjikan siang itu suara adzan shubuh mulai saling bersahutan. Aku memincingkan mata saat melihat sinar terang yang berasal dari ponsel. Sebuah ucapan selamat pagi menyembul di notifikasi nya. Aku tersenyum melihat asal pesan itu. Duduk di pinggiran tempat tidur, aku membalas pesan singkat itu. 

Pagi ku seolah menjadi sangat ringan. Seolah ucapannya itu mampu melesatkan beban tugas kuliah yang harus aku tanggung. Menggantikannya dengan sebuah perasaan yang aneh... senang. Terlebih sore ini kami akan bertemu lagi setelah beberapa hari hanya kami habiskan dengan bersama di hadapan layar ponsel masing-masing. 

Mendung mulai menggelayut manja di angkasa saat aku tiba di depan pintu pagar besi berwarna biru yang penuh karat itu. Secepat kilat aku meraih ponsel yang ada di dalam saku celana. Mencoba memberi kabar bahwa aku sudah ada tepat di depan kostnya. Tak lebih dari lima menit dia pun keluar dari balik pintu besi berwarna biru gelap. Ada tawa yang aku rindukan tersimpul di wajahnya. "Motornya di masukin aja yok. Mendung banget soalnya" katanya sambil membuka gembok pintu pagar. Sesampainya di dalam teras, hujan pun turun dengan deras. Dia yang sesaat tadi menghilang di balik pintu kini kembali dengan segelas besar air putih. "Mau minum?" tanyanya sambil menyodorkan gelas plastik bening itu. "Kamu ada apa kok tiba-tiba minta aku kesini?" Aku bertanya sambil sekilas memandangi gelas yang dia berikan itu. Sekilas tentang kebiasaan burukku: aku tidak pernah suka minum air putih, ada pengalaman pahit saat aku dipaksa meminum air putih yang ternyata adalah air hujan yang dikumpulkan dan disimpan di dalam lemari es yang aku dapatkan saat masih kecil membuatku seakan memiliki alergi tersendiri jika diminta meminum air putih.

"Bab III skripsi ku udah ditagih nih sama dosen. Bantu ngerjain sih"
"Heem.." aku coba menjawab sembari berusaha mati-matian memasukkan satu tenggak air minum ke dalam tenggorokan. Dia menatapku tajam. Aku merasakannya, walaupun tak melihat secara langsung karena masih sibuk berusaha menelan sisa-sisa air yang ada di dalam mulut. 

"ASTAGA!!!" katanya mengagetkan. "Aku lupa kalo kamu nggak bisa minum air putih" lanjutnya sembari mengambil kembali gelas yang aku pegang.
"Eh.. Nggak apa-apa. Santai aja, sya." segera setelah dia menguasai gelas itu, dia berjalan ke arah dalam, meminta ku untuk menunggu sebentar. Ada perasaan tak enak karena secara tidak langsung menolak apa yang telah dia berikan. Namun, jauh di dalam hati ada perasaan yang teramat senang karena tak perlu lagi memasukkan sisa-sisa benda mengerikan itu.

Selang beberapa menit dia kembali keluar dengan segelas coklat panas. "Nih!! Jangan bilang kamu juga nggak suka coklat panas." katanya sambil melihat tajam ke arah dua bungkus snack yang baru saja aku beli di minimarket tepat di samping kostnya. Tatapannya yang seolah-olah berkata awas-kalo-gue-nggak-elu-bagi, membuatku secara reflek menyodorkan sebungkus snack ke arahnya. Dia lantas tersenyum.

"Coklat panas nya enak, sya"
"Jelas lah!! Siapa dulu yang buat. Mbak KRISYA!!" katanya bangga
"Nggak kepikiran buat jualan coklat panas aja"
"Sialan!!" jawabnya ketus sembari mengerucutkan bibirnya ke arah depan. 

Lewat segelas coklat panas dan beberapa kepingan kentang, isi snack, percakapan kami semakin ngalor-ngidul. 

Hujan yang semakin deras tak pernah mampu memadamkan kehangatan percakapan kami berdua. "Kamu tau kenapa aku jadi sering datang kesini, sya?"
"Tauk. Kamu keseringan kesini karena kamu mau ketemu sama aku kan. Mau denger cerita cerita ku, mau lihat aku ketawa, karena kamu senang lihat aku ketawa. Iya kan?"
Aku menggangguk pelan. Rasanya ada satu perasaan yang ingin meledak-ledak di dalam dada. "Tau kenapa aku ingin melakukan semua itu?" Dia menggeleng. Matanya menerawang, mencoba menelusuri relung-relung dalam diri. "Sya..." aku melihat ke sekeliling. Aku mencoba menyakinkan diri tentang 'Haruskah ini terjadi di tempat ini? Di teras yang luasnya tak lebih dari seperempat lapangan futsal ini'. Melihat tak ada pilihan lain yang bisa diambil,  aku melanjutkan. "Tiga bulan ini adalah tiga bulan yang terindah dalam hidup ku. Tiga bulan yang nggak akan pernah bisa aku lupakan." Berat mulutku untuk membuka. "Kita, dua orang cowok dan cewek, yang sama-sama sedang menuju kedewasaan, yang sama-sama bisa bertanggungjawab atas pilihan kita masing-masing. Telah bersama melewati banyak hal, bercerita banyak hal"
"Sya.. Nggak bisa aku pungkiri lagi, selama tiga bulan ini, ada perasaan lain yang tumbuh di hatiku. Perasaan yang pada awalnya coba aku tahan tapi nggak mungkin lagi."
"Sya.." aku mulai terbata. "Aku suka sama kamu. Kamu mau kan ngebolehin aku buat jadi pacar kamu?"

Dia terenyak. Matanya tak berkedip. Lama dia menatapku dalam diam. Sampai pada akhirnya dia tersenyum jenaka, "Kamu bercanda kan yok?"

Kini giliranku yang tak bisa berkedip. Bahkan, saat aku sudah dengan susah payah berusaha mengatakan itu semua, dia masih mengira aku sedang bercanda. "Enggak, sya.. Aku nggak bercanda. Aku serius."

Ada hening yang cukup panjang.


Dia menghela nafas yang cukup panjang.
"Cahyok.. Sebenernya tinggal nunggu waktu aja sampai kamu bakal bilang kayak gitu. Tapi aku nggak pernah mengira bakalan secepat ini."
"Aku tau perasaan mu padaku selama kita sering jalan berdua. Makanya kan, aku sering bilang ke kamu, bahwa nggak boleh ada perasaan lain dalam persahabatan kita. Itu bahaya yok"
"Tap... Tapi.. Sya.. Bukankah dengan perasaan itu lah yang membuat persahabatan kita semakin indah?"
"Enggak yok.. Temen ya temen. Nggak boleh ada perasaan lain di dalamnya. Kamu temen ku, sahabatku, dan akan terus seperti itu."
"Terus kita gimana, sya" Tangannya yang halus kini meraih tanganku. Menggenggamnya erat. Hangat. Serasa ada sengatan listrik dari sana. Yang bahkan aku ataupun dia, tidak mempunyai kendali untuk mengartikannya.

"Kita masih bisa temenan kok yok. Masih bisa sahabatan, tanpa ada perasaan itu di dalamnya." Dia menatapku dengan tatapan yang tak pernah dia tunjukkan selama kebersamaan kami. Lembut seperti boneka panda. 

"Sebegitu takutnya kamu, sya? Takut jatuh cinta sama sahabat kamu sendiri?"
"Enggak yok.. Enggak gitu. Kamu nggak tahu yok.. Please... Ngertiin aku kali ini." Dia terisak. "Aku nggak mau merusak ikatan yang sudah kita jalin tiga bulan ini, yok. Kita udah sahabatan, aku nggak pernah merasa kecewa dengan itu semua. Aku mau kita sahabatan terus dan selamanya, dengan gitu nggak ada diantara kita yang akan tersakiti. Aku mohon yok, kamu hapus perasaan mu itu" Mendadak, sorot mentari yang selalu terbayang dari matanya yang kecoklatan itu pun redup. Berganti dengan air yang menumpuk di pelupuk matanya, terus menumpuk hingga akhirnya menetes satu demi satu. Inilah kali pertama aku melihat Krisya menangis. Kali pertama dan terakhir. Aku tertunduk, tak sanggup melihat.

Dua minggu berselang.. 

Alarmku kembali berdering tepat pada dimana dia telah diatur. Pukul 4.45 tepat. Namun, nama itu tak ada disana, tak ada dinotifikasi layar ponsel pintarku. Tak ada lagi sapaan selamat pagi darinya, tak ada lagi cerita-cerita futuristik yang selalu dia banggakan. Hidupku kembali berjalan sebagaimana sebelumnya. Kembali ke rel yang memang semestinya. Pulang dari tampat magang, menyelesaikan tugas kuliah, makan siang sendiri. Malam hari aku habiskan dengan membaca novel-novel. Semuanya kembali sama.

Tapi aku bukanlah orang yang sama. Tubuhku berfungsi tapi sebagian darinya hilang entah kemana. Ada lubang besar yang menganga di dalamnya. Lubang yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. 

Walau aku selalu berusaha memungkirinya, tapi aku tau penyebabnya. Aku kehilangan Krisya. 

Aku rindu padanya. Pahit memang mengakuinya. Tapi iya.. 

Aku merindukannya. Teramat sangat..

2 Responds