Sore itu adalah sore yang paling melelahkan bagi kami berempat, mungkin. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu coklat bergurat halus yang kami susun dua berjajar agar muat untuk menampung semua pesanan kami. Sore itu mendung semakin berat mengandung, namun hujan juga tak kunjung lahir dari perutnya yang semakin berat. Juga warnanya yang semakin pekat. Seakan sengaja menahannya, lalu muntah begitu saja saat semua makhluk di bawahnya yang sedang larut dalam buaian bisingnya suara klakson yang lebih mirip suara teriakan derita para manusia ibukota.
Aku duduk di samping Bintang yang hampir selama lima menit matanya masih terpaku menatap menu makanan dari sebuah buku yang dibawakan oleh seorang pelayan berbaju merah. Berdasi kupu-kupu hitam, dengan sepatu pantofel mengkilap hingga memantulkan kerlip lampu yang tergantung tepat di atas kami. Sedangkan, Adi, Audrey, dan Ester memilih menenggelamkan diri mereka dalam tawa semu bersama layar berukuran lima inci yang berpendar. Seakan, menikmati sajian yang digoreng tak begitu matang di dunia maya, lebih bisa memuaskan nafsu lapar mereka dibandingkan dengan menyuapkan sepiring nasi ke dalam kerongkongannya.
Aku memandang Bintang lekat. Seakan wajahnya adalah sebuah mesin penyedot debu dan aku adalah gumpalan-gumpalan debu yang ringan yang dengan sukarela menyerahkan diri begitu saja masuk ke dalam sela-sela moncongnya. Dia hanya tersenyum simpul, melihat deretan menu-menu yang menjadi andalan dari café ini. Lalu, sesaat kemudian, dua cangkir hot chocolate dengan asap yang menari-nari sudah mampir begitu saja di atas meja kami lengkap beberapa iris kentang goreng berwarna kuning terang bertabur bubuk cabe di atasnya, beberapa milkshake, dan lima piring nasi goreng dengan taburan bawang goreng sedikit agak gosong, tiga irisan mentimun bersusun, dan selada berwarna hijau menyala melengkapinya.