Aku terhenyak ketika sampai di lobby kantor dan menemukan sosok yang sepertinya aku kenal sedang duduk di teras, di anak tangga, berteman dengan angin yang lirih menyibakkan helai-helai rambutnya yang kemudian buru-buru diselipkan diantara jepitan telinga sebelah kiri. Sedetik kemudian aku sadar, bahwa dia adalah Bintang setelah melihat rambut ekor kuda yang terikat rapih dengan pita berwarna hijau tosca. Tas ransel warna biru cerah yang erat dalam pelukan, kaos hitam, dan cardigan dengan warna senada dengan langit malam yang lenggannya digulung hingga ujung siku.
Bintang duduk dengan muka sedikit agak ditekuk, mungkin karena selama setengah jam lamanya dia di sana tanpa ada seorang pun di sampingnya. Atau mungkin juga sosok yang ia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
“Lho… belum pulang, Bin?” tanyaku.
“Heh… mas. Iya belum dijemput ini.”
“Mau bareng aja? Kost ku sama rumahmu kan searah.”
Hujan mulai meniupkan aroma kedatangannya dan tanpa menunggu bagaimana sebuah respon dari Bintang, secara reflek aku menggamit tanggannya. Mengajaknya duduk diboncengan motorku yang baru saja aku cuci di pagi hari dan kehujanan di sorenya. Saat itulah, saat kali pertama Bintang terhenyak dalam sedel, aku merasakan waktu berhenti untuk beberapa saat. Aku tau ini terdengar terlalu berlebihan. Tapi kawan, percayalah, saat itu rasa itu benar-benar terjadi.