Narasi Orang Muda untuk Perdamaian

9:19 AM

Mereka berduabelas bukan merupakan murid Yesus Kristus sebagaimana yang diceritakan pada kitab-kitab suci. Mereka manusia biasa. Sama sepertiku dan kamu. Mereka juga pernah (semoga) jatuh cinta, penasaran, benci, juga kecewa.

Mereka adalah Ahmad Hadid, Ari Januar, Aulia Fauziyah, Awan Firmanto, Gugum Gumelar, Gugun Abdul Mugni, Lendy Yolandevita, Neneng Alfiah, Siddika Thohiroh, Sindi Aditia Ningsih, Suburada, dan Yulda Sapti Lofa.

Mereka biasa. Sama seperti kebanyakan kita. Yang membuat mereka berbeda adalah karena mereka, keduabelas orang itu, berani bersuara dan menyuarakan kegelisahan mereka tentang banyak hal di sekitar mereka yang tak tepat porsinya.

Dua belas orang muda ini bertemu dalam sebuah program bernama READY (Respect dan Dialogue), sebuah program penguatan hak-hak kewarganegaraan di Jawa Barat yang dijalankan oleh Humanist Institute for Cooperation with Developing Countries (HIVOS), Wahid Foundation, Yayasan Paramadina, dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dengan dukungan dari Uni Eropa. Progam ini diadakan selama 30 bulan, mulai 2014 sampai pertengahan 2017.

Dua belas orang ini mempunyai latar belakang yang sangat kontras. Beberapa darinya malah berasal dari Ahmadiyah, Syiah, dan bahkan ada yang mantan anggota organisasi masyarakat yang citranya sering dikaitkan dengan gerakan sweeping.

Namun, mereka satu pemikiran. Bahwa apa yang selama ini menjadi citra di masyarakat tidaklah selalu benar. Mereka adalah orang muda yang bosan dengan tatanan hidup masyarakat yang, kata seorang teman, “living a life of katanya.” Mereka bosan hidup dalam stererotype yang selalu menyudutkan mereka. Mereka bosan selalu dianggap berbeda cuma karena mereka tak sama seperti kebanyakan warga di sekitar tempat tinggalnya.
Dianggap sesat lah, darahnya halal lah, cina kok masuk masjid lah, dan hal-hal lain yang benar-benar tak masuk akal lainnya.

Fatimah Zahrah dan M. Ahsan Ridhoi secara apik menuliskan kisah-kisah perjuangan keduabelas orang muda ini dalam mematahkan anggapan masyarakat umum tersebut.
Berdua mereka seolah mengajak pembaca untuk bisa merasakan langsung upaya dua belas orang ini dalam membangun perdamaian dengan gaya dan cara mereka. Ahmad Hadid misalnya, dia ingin mencitrakan bahwa umat Islam itu bukan anggota teroris lewat sebuah game online. Atau Neneng Alfiah yang ingin menebarkan benih perdamaian lewat sebuah kegiatan seni teater bernama kliwonan, dan kesepuluh lainnya yang ingin membuktikan “jadi berbeda itu tidak apa-apa.”

Ditulis dengan narasi yang sangat mengaduk-aduk emosi, buku ini juga didukung dengan desain-desain ilustrasi yang tak sedikitpun mengurangi isi. Mungkin bisa dibilang bahwa buku ini sangat cocok untuk kidz jaman now.

Selain upaya orang muda dalam membangun perdamaian lewat pembuktian bahwa apa yang mereka yakini bukanlah sesuatu yang mengamcam, buku ini juga bercerita tentang cinta dan perjumpaan.
Seperti yang dtuturkan Ari Januar, seorang pemuda nasrani yang jatuh cinta pada perempuan muslim bernama Siti Syarifah. Cerita mereka dimuat di halaman 37 dengan judul Beda Agama Satu Cinta. Sebuah roman klasik sebetulnya.

Namun, seklasik-klasiknya cinta, pasti ada saja sesuatu yang selalu membuat kita tersenyum bangga. Seperti ketika Ari Januar ditanya apakah ia cinta dengan Siti Syarifah. Ari tegas menjawab: tidak.

Ari tidak jatuh cinta dengan Siti. “Bagi saya cinta itu di awal-awal saja. Selebihnya, adalah upaya untuk memahami dan menghargai.” Begitu ungkapnya yang setali tiga uang dengan yang diungkapkan Siti. Mungkin sebelum diwawancari mereka sudah saling sepakat untuk menjawab demikian, atau kalau mau berpikiran positif: mereka berjodoh.



Tentang perjumpaan, Awan Firmanto memberikan sebuah gambaran yang luar biasa. Bagi penggemar serial Harry Potter, tentunya tidak asing dengan istilah pure blood. Istilah ini diberikan kepada anak yang kedua orangtuanya merupakan penyihir.
Awan Firmanto pun demikian, tetapi kedua orangtuanya tentu bukan penyihir. Kedua orangtuanya bergelar haji. Bahkan orangtua dari orangtuanya juga bergelar haji. Namun, kedua hal ini tidak serta merta membuat Awan merasa nyaman dengan jalan yang ia jalani.

Terlahir dengan perawakan berbeda dari teman sebayanya, Awan sering dianggap sebagai liyan. Bahkan disebutkan seorang temannya pernah berujar, “Ngapain orang Cina kok ke masjid?”
Perundungan itu justru malah ia dapat dari orang yang seagama dengannya. Hal yang sungguh membuatnya tidak habis pikir. Hal yang membuatnya kemudian berpindah ke sekolah Katolik.

Paradoks dalam hidupnya kembali terjadi. Semula ia mengira bahwa ia akan menjadi sosok minoritas yang akan mendapatkan perundungan seperti sebelumnya menguap karena keterbukaan hati dan pikiran dari teman barunya. Dia diterima apa adanya. Tanpa pernah mempermasalahkan apa dan bagaimana cara ia menyembah Tuhannya.

Hal ini tentu menimbulkan problematika sendiri baginya. Bagaimana bisa ia merasa nyaman dengan mereka yang ‘beda’ tapi tidak ketika bersama yang ‘sama’. Terdorong rasa ini lah ia kemudian mencari hingga pada akhirnya ia berjumpa.



Awan menemukan Tuhan dan sebuah hangat rasa nyaman di Katolik. Hal yang membuatnya memilih untuk melawan dan menentukan sendiri apa yang baik baginya. Secara personal, aku memang tak pernah setuju dengan konsep agama yang diwariskan. Bagiku, agama adalah proses penemuan. Perjumpaan diri dengan segala macam peristiwa ketuhanan. Perjumpaan ini lah yang, menurutku, akan lebih bisa membuat orang beragama menjadi berlimpah cintanya.

Dan, begitulah buku ini. Menarasikan perjuangan dua belas orang muda untuk mewujudnyatakan perdamaian. Bukan hanya di antara mereka dan masyarakat tempat mereka tinggal. Namun juga dalam diri mereka…







Judul Buku: Antologi Kisah Orang Muda untuk Perdamaian
Penerbit: Wahid Foundation
ISBN: 978-602-7891-06-7
Tebal: 156 halaman



Tentang Respect and Dialogue (READY) bisa ditemui di:

Twitter: @READY_INA
Facebook: READY – Respect & Dialogue



0 Responds