Alasan Tuhan Tidak Makan Ikan

12:35 PM

Harapanku dibawa terbang jauh ketika mulai membaca Tuhan Tidak Makan Ikan buku dari Gunawan Tri Atmodjo ini. Ada beberapa alasan yang salah satunya sangat sentimental. Yang sangat sentimental adalah buku ini direkomendasikan seorang perempuan yang begitu mengidolakan GTA dan karya-karyanya, walau ketika ditanya buku apa favoritnya dia menjawab Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapinya Yusi Avianto Pareanom.  Namun itu tak melunturkan rasa sukanya terhadap GTA dan buku-bukunya.

Alasan kedua adalah bagian pengantar yang dituliskan oleh Triyanto Triwikromo. Dia mengupas secara mendalam buku Tuhan Tidak Makan Ikan ini dari cerpen ke cerpennya. Membaca pengantarnya ini, harapanku semakin terbawa jauh. Lewat simbol-simbol semiotika, Triyanto Triwikromo mengulas humor-humor yang ada dalam cerita. Sebut saja pada cerita Cara Mati yang Tidak Baik bagi Revolusi di mana GTA membalik nama-nama terkenal dunia seperti Neruda menjadi Aduren; Borges menjadi Sergob. Di cerita lain, Triyanto pun membedahnya dengan begitu apik, dalam, akurat, seakan tidak ada cerita humor paling tinggi kadarnya selain cerita-cerita milik GTA ini.

Namun, harapan ini perlahan mulai terjatuh ketika membaca satu per satu cerita pendek dalam buku ini. Harapan akan disuguhi cerita humor yang bikin kantong tawa yang kecil ini mengering sirna sudah. 




Aku sempat belajar tentang bagaimana menulis komedi, dulu. Komedi bagiku adalah perpaduan peristiwa dan waktu yang dirangkai dengan beberapa set up yang membentuk opini lalu menghajarnya dengan punchline yang berbeda. Walau yang aku pelajari ini hanya sebagian kecil dari bentuk komedi, aku sudah merasa komedi yang GTA aturkan ini adalah komedi yang berbeda dari yang pernah aku pelajari. 

Hal ini semakin aku sadari ketika sampai pada cerita Tentang Prawiro Oetomo dan Palonthen di mana pada punchline cerita GTA memberikan sebuah twist yang memancing senyumku. Komedi dalam buku ini justru datang pada cerita Sakit. Dalam segmen cerita Cakar Ayam, misalnya, aku sangat terkesima bagaimana GTA menganalogikan cakar ayam dengan jari seorang nenek yang kena lepra yang dimakan cucunya. Begitu pula dalam cerita Cabe-cabean Berkalung Tasbih, Rahasia, dan Anak Jaranan. 



Pada cerita Perjalanan ke Pacitan, GTA memberi kejutan di akhir cerita yang aku sebut sebagai sebaik-baiknya punchline cerita yang ada di keseluruhan buku. 

Semalam setelah merampungkan buku ini aku terserang gangguan tidur berkepanjangan. Isi kepalaku terbang berkelana mencari titik-titik temu dari semua cerita yang ada di buku Tuhan Tidak Makan Ikan ini. Hingga, ketika tiba di satu titik aku tersadar. Bahwa buku ini memang bukan menceritakan komedi yang bisa membuat aku terbahak-bahak sampai katong tawaku kering.

Buku ini, seperti yang dikatakan perempuan yang merekomendasikannya, merupakan sebentuk kumpulan kegetiran hidup yang coba dimaknai dengan cara berbeda: humor

GTA, si penulis, berusaha mencoba mencari kegetiran-kegetiran hidup yang lalu ia coba tabrak-tabrakkan dengan kenyataan lain yang kemudian memancing tawa. Sebuah tawa yang getir, tentunya.

Ambillah contoh pada cerita Persetan dengan Hujan, Istri Pengarang, dan juga Tuhan Tidak Makan Ikan. Terutama pada cerita yang terakhir aku sebut. Komedi di dalamnya tidak membuatku tertawa, sebaliknya malah membuat mataku berkaca-kaca. Isi kepalaku yang masih beterbangan itu lalu hinggap lagi pada suatu pernyataan yang pernah disampaikan Sakdiyah Ma’ruf bahwa a good comedy makes people laugh, but a great comedy makes people cry!


Lalu, aku hanya bisa kembali menduga-duga alasan perempuan itu memintaku membaca Tuhan Tidak Makan Ikan adalah agar aku lebih bisa memaknai kehidupan yang getir ini dengan cara lain. Iyaa. Aku rasa memang itu alasan di balik Tuhan Tidak Makan Ikan. 


Judul Buku: Tuhan Tidak Makan Ikan
Penulis       : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit     : DIVA Press
Tebal          : 244 halaman
ISBN          : 978-602-279-225-3

0 Responds