Lelaki yang mengenakan baju hitam dengan setelan jas berwarna abu-abu itu duduk diam di depan terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta. Matanya sembab dan merah. Bibirnya mengatup, seakan menahan sesuatu untuk tidak dikatakan.
Pagi itu, pagi di akhir minggu di bandara yang konon ceritanya merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia, dia terduduk di sana. Tangan kirinya menggenggam segelas Caramel Macchiato yang ia beli sesaat sebelum terduduk. Tatapannya dingin seakan merobek segala hal yang berada di dalam terminal itu. Banyak sekali pikiran yang sedang bergemuruh di dalam otaknya yang tak terlalu besar kapasitasnya itu.
Lelaki berbaju hitam itu meletakkan tas rangsel tepat di antara kedua kakinya. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri seorang perempuan berkacamata bundar, berambut panjang dengan bibir bergincu merah muda. Erat. Seakan tak ingin dilepasnya sama sekali.
Tak ada percakapan sama sekali di antara mereka sejak tiba di Bandara itu. Hanya sesekali si perempuan meneguk segelas Es Capuccino yang ia pesan bersamaan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Tak pernah jelas apakah yang mereka pikirkan adalah hal yang sama ataupun tidak.
"Aku tak pernah suka kata selamat tinggal", kata lelaki itu.
"Aku pun demikian. Tapi, apapun yang akan kamu katakan sekarang, itu sudah tak bisa merubah apa yang akan kita hadapi, kan?", sahut perempuan itu tanpa berusaha mengalihkan pandangannya.
"Tak bisakah kita berusaha lagi? Mencoba merawat hal-hal yang telah dan masih kita jalani ini?"
"Tak bisakah kita berusaha lagi? Mencoba merawat hal-hal yang telah dan masih kita jalani ini?"