Kuliah: Sebuah Catatan (Sok) Kritis

12:00 AM

Sedari awal aku memang sudah berpendapat bahwa pilihan untuk mengambil kesempatan kuliah adalah sebuah pilihan yang salah [1], apalagi keputusan untuk kuliah di kampus yang selama 6 tahun terakhir ini menjadi tempatku untuk mencari dan mengalahkan diri sendiri. Akui saja! Sebagai bagian dari sebuah keluarga kecil dengan sebuah pendapatan yang juga tak bisa dibilang berlimpahan, kuliah adalah pilihan yang nekat. Tapi, justru karena nekat itulah Tuhan menghadiahi dengan segala macam jalan keluar yang tak pernah terbayangkan dari setiap tantangan.

Kuliah di jurusan pendidikan guru memang sudah menjadi kodrati, sepertinya. Aku besar di kalangan itu, dan selayaknya sebuah tradisi, aku juga seperti diarahkan untuk berjalan di jalan yang sama. Aku, tak direstui untuk memilih jalanku sendiri. Aku dipilihkan jalan dengan sebuah iming-iming bahwa nantinya setelah selesai kuliah akan banyak guru sekolah dasar yang pensiun dan akan menjadi sebuah kesempatan yang besar bagiku untuk bisa menggantikan mereka, menjadi guru dan sekaligus pegawai negeri. Ya. Menjadi pegawai negeri. 

Kuliah lalu lulus dan tanpa perlu repot lagi mendapat pekerjaan. Terdengar seperti sebuah mantra yang manjur bagi beberapa orang yang terlalu muda yang naif sepertiku dulu. 

Kuliah lalu tak pernah terlihat seperti bayanganku tentang apa sejatinya kuliah itu. Di jurusanku, lebih lagi, karena kami semua diproyeksikan akan menjadi sosok guru, maka sedari awal kami di-setting untuk selalu patuh. Dari mulai pakaian yang harus kami kenakan hingga ke model potongan rambut. Semua harus sesuai pakem. “Guru kok neko-neko!” aku ingat temanku pernah berkata demikian. Prek. Sahutku dalam hati.

Kegiatan kuliah yang aku jalani pada semester awal pun sangat jauh dari bayanganku. Tidak ada aksi protes, tidak ada obrolan kritis soal kebijakan kampus, dan tidak ada sebuah upaya mencari solusi dari kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah setempat. Semua hal ini malah aku dapatkan di luar kuliah, di halaman kost-kostan orang, di sela rutinitas yang membosankan, dan di sepanjang jalan menuju tempat kuliah.

Kuliah ku dulu hanya bisa diisi dengan kegiatan mengerjakan tugas kelompok supaya dapat nilai A, PPL dan atau KKN, membuat skripsi atau tugas akhir supaya bisa lekas lulus tepat waktu atau kalau bisa malah kurang dari jatah yang diberikan [2]. Yang semata-mata dilakukan agar jurusan yang aku tempati mendapat nilai akreditasi yang bagus [3], sehingga nantinya akan dapat menarik orang banyak untuk mengambil jurusan yang sama. Yang mana berarti akan banyak juga potensi ekonomi yang masuk ke jurusan tersebut.  Di sini aku merasa bahwa perguruan tinggi tak lain hanyalah sebuah perusahaan yang berganti rupa di mana motif utamanya adalah mencari keuntungan [4].

Lalu, aku menjadi tahu sekarang bahwa kuliah ku adalah benar-benar sebuah pilihan yang salah!



11 Mei 2016, bertepatan dengan ulang tahun dia, aku dihadiahi sebuah buku oleh temanku. Sebuah buku berjudul Pendidikan Boneka. Buku ini kurang lebih berisi tentang sebuah kritik yang berasal dari personal para penulisnya tentang standar dan serba-serbi perguruan tinggai di tengah tuntutan iming-iming global.

Ada sebuah tulisan di buku ini yang di mana si penulisnya menceritakan kehidupan kuliahnya sebagai seorang calon guru. Kurang lebihnya sama dengan apa yang aku alami. Dan ternyata apa yang aku alami sudah terjadi sejak dulu dan berlanjut hingga sekarang. 

Di sebuah tulisan lain, dari Pak Prof, begitu panggilan dari seorang yang aku kenal, menyebutkan bahwa sebagai implikasi dari GATS (General Agreement on Traffics and Trade) pendidikan tinggi di Negara ini lebih bersifat private goods di mana pendidikan tinggi lebih mengedepankan peningkatan human capital lulusannya untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi daripada public goods di mana pendidikan tinggi melahirkan sosok calon pemimpin bangsa yang visioner [5]. 

Dan benar itulah yang aku rasakan bila melihat beberapa teman sebangku kuliahku. Cita-citanya setelah lulus dari kuliah adalah menjadi pegawai negeri. Memang tidak ada salahnya sih menjadi pegawai negeri dan tidak salah juga mempunyai cita-cita seperti itu. Yang salah adalah ketika aku bertanya kepadanya kenapa ingin mempunyai pekerjaan itu, jawabnya karena pekerjaan itu enak dan uangnya terjamin  plus dapat pensiun juga. “Aku sudah susah-susah kuliah, suruh bayar lagi. Makanya besok kalau sudah lulus aku nggak mau susah lagi,” katanya. Apa yang dia bilang mungkin juga banyak dialami oleh orang lain yang berpikir bahwa kuliah ada sebuah infestasi masa depan di mana nilai tukarnya lebih penting jika dibandingkan dengan nilai gunanya [6]. 

“Kuliah itu jangan dijadikan sebagai sebuah investasi,” begitu kata temanku dalam berbagai kesempatan ‘ngobrol’ di luar kegiatan kuliah. Begitu berat menyerap artinya itu dulu. Tapi sekarang aku paham, kuliah bukan hanya sekadar mencari nilai A, mengerjakan tugas kelompok, dan lulus tepat pada waktunya. Kuliah adalah tentang bagaimana kita tahu batasan diri kita dan mencari celah untuk melampauhinya. Kuliah adalah sebuah kesempatan mengalahkan diri sendiri dan mampu berbuat lebih bagi orang lain.

Iya! Berbuat lebih bagi orang lain

Sial mungkin bagiku yang baru menyadari semua setelah membaca buku ini saat aku sudah tak lagi kuliah.


[1] Sebuah Pilihan yang Salah, dimuat di website Campus Ministry USD
[2]  Padmo Adi, Pendidikan Boneka hal 12
[3] Anne Shakka, Pendidikan Boneka hal 54
[4] Vina Rete, Pendidikan Boneka hal 86 
[5] Prof. A. Supratiknya, Pendidikan Boneka hal 4
[6] Vina Rete, Pendidikan Boneka hal 87



3 Responds