Cinta yang Sederhana

3:52 PM


“Jadi, mencintai dengan sederhana itu mencintai yang paling tidak sederhana. Paling sulit. Sesuatu yang sangat mustahil dilakukan. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, justru itu yang tidak sederhana. Susah sekali bagi orang untuk mencintai apa adanya [1]”  

***

Sederhananya, itu benar. Mencintai dengan sederhana rasanya muskil untuk bisa dilakukan. Aku memang belum terlalu paham betul tentang pasal percintaan. Riwayat berpacaranku pun masih bisa dihitung dengan jari satu tangan. Dan dari itu semua, ketika aku berpikir ulang, benar-benar tidak ada yang disebut cinta yang sederhana.

Bahkan ketika aku bertemu dengan Bintang. Sosok yang terlihat selalu sederhana dengan apa yang ia punya, nyatanya bisa membuatku mencintainya dengan sangat tidak begitu sederhana. Aku memberikannya semua yang sebenarnya dia tidak inginkan, atau setidaknya, semua yang dia sudah punya. Aku melebih-lebihkan perasaanku kepadanya. Aku melipatgandakan semua rasa suka ku kepada Bintang. Yang tanpa pernah aku sadari ternyata itu malah membuatnya terluka terlalu sangat. Yang kemudian membuatnya tak lagi menjabat tangan ini erat. Yang membuatnya malah menjauh entah untuk berapa saat.

Aku memang bodoh. Bahkan untuk mencintai sosok perempuan sederhana pun aku tak bisa. Aku tak bisa menjadi sederhana. Aku tak bisa mencintai dengan sederhana. Tapi, seperti apa mencintai dengan sederhana itu?

***

Itu adalah tanggal 12 Juni tahun ini. Seperti tanggal yang sama di tahun-tahun sebelumnya, aku duduk di sini, di tepian sebuah pusara bertuliskan nama seorang perempuan. Pusaranya semakin teduh tahun demi tahun. Pohon akasia yang ada di sampingnya tumbuh semakin tinggi berkat nutrisi dari dalam tanah yang ia gali. 

Di bawah pohon ini juga, aku kali pertama bertemu dengannya. Dan kini, dia terbaring untuk selamanya di bawah pohon yang sama.

foto by @ponygirl_
Bertahun-tahun silam, ketika tangan kami masih erat menggenggam, perempuan yang namanya akan tetap selalu dikenang ini rasanya telah mengajarkan apa itu cinta yang sederhana. Baginya, kesederhanaan itu lahir dari kebersamaan. 

Dalam kebersamaan itu muncul lah beragam cerita, walau tak selalu bahagia karena kebanyakan hanya diisi dengan obrolan sepulang sekolah mengenai ujian dan tetek bengek persiapannya, toh kami tetap setia melakukannya. 

Kadang, sembari menunggu datangnya senja dan beberapa jagung bakar siap disajikan, cerita itu mulai berkembang. Mulai dari mimpi untuk meninggalkan kota selepas ujian, liburan ke Afrika paling selatan, hingga keinginan terbang ke bulan dan tinggal di antara bintang-bintang. Iyaa, memang kedengaran tak masuk akal. Namun, hal yang tak masuk akal adalah hal yang paling susah dilupakan.

Akan tetapi, sebelum semua hal tak masuk akal itu terwujud, kematian sudah terlanjur menjemput. Tubuhnya terbujur kaku, walau wajahnya masih memberikan senyuman. Kepada yang masih hidup dia berpesan untuk tidak ditangisi. Karena baginya, kematian merupakan sebuah garis transisi. Kematian adalah pintu gerbang memasuki kehidupan baru yang lebih indah, sebuah kebahagian yang lebih sejati. 

Dia bahagia di sana. Aku yakin. Tapi kenapa dia rela? Kenapa dia rela meninggalkanku dengan ribuan tanda tanya yang masih ada di kepala. Seperti misalnya: apa itu cinta yang sederhana?



Bertahun-tahun setelahnya, aku kembali bisa merasakan apa itu cinta. Cinta yang hangat dan menyenangkan, demikian aku mengingatnya. Walaupun pertemuan kami selalu diiringi hujan, yang hanya Tuhan yang tahu kapan ia akan berhenti. Dia tak pernah sekalipun berusaha mengutuki, malahan dia selalu bersyukur karena tiap hujan turun menghadang, dia bisa duduk lebih lama berdua bersama dan berbagi canda.

Bagi perempuan berlesung pipi dengan mata seperti bulan sabit itu, cinta tidak selalu harus diumbar-umbarkan. “Cinta itu ada di sini” katanya sembari mengarahkan telunjuknya ke arah dadaku. 

“Cinta itu ada di kita.” 

“Ada di setiap deru nafas. Ada di setiap langkah kaki. Ada di setiap lafal doa yang kita ucapkan setiap harinya.” Lanjutnya. 

Kami sedang ada di sebuah gereja waktu itu. Sedikit terlambat memang, karena kami sampai di sana setelah prosesi kebaktian selesai. Lagi-lagi karena hujan menghadang. Tapi itu tidak menyurutkan niatnya. Digamitnya tanganku, lalu dibawanya aku ke dalam gereja yang ada di pinggir jalan utama kota kecil itu.

Aku duduk di sampingnya, di pinggir jalan kecil menuju sebuah altar yang dihiasi bebungaan berbagai warna. Dengan sigap, perempuan itu mengeluarkan Al Kitab dari tas kecil miliknya. Mencari halaman yang sudah ditandainya, lalu membacanya dengan saksama. Setelahnya, dikatupkan kedua tangannya yang kemudian diletakkan di depan bibirnya yang terpulas dengan warna manja.


Matanya terpejam dan bibirnya mulai bergerak melantunkan doa yang entah untuk siapa.



Aku tahu bahwa terkadang bayangan menyakitkan akan sebuah kehilangan itu tak mudah untuk lenyap begitu saja. Tapi hari itu, hari di mana aku melihatnya melafalkan doa itu, jauh di dalam lubuk hatiku aku juga berdoa bahwa aku benar-benar ingin bahagia dan mengakhiri semua bayangan menyakitkan itu. 

Mataku terpejam. Rasanya aku ingin menyapu semua awan hitam, menghapus semua kenangan kelam, dan membuat segala perih di hati ini karam. Aku memejamkan mataku sembari melantunkan sebuah pengharapan bahwa setelah ini, dia yang ada di sampingku saat itu, akan selalu di sampingku selamanya. 

Namun, ibarat rasa perih dan kehilangan yang tersamar oleh rasa cinta yang sebentar. Bayangan perempuan itu pun semakin pudar seiring aku membuka mata. Dia menjelma menjadi butir-butir hujan yang turun dari langit yang begitu muram malam itu. 


Bahagia ternyata tak seperti yang aku duga.

Dia hilang dengan menyesakkan sebuah pertanyaan: Seperti apa cinta yang sederhana itu?

***
foto by @yaoyamva
Rasanya, aku tak pernah ingin merasakan jatuh cinta lagi. Untuk apa jatuh cinta kalau pada nantinya harus ada luka. Untuk apa sebuah pertemuan harus terjadi, kalau pada nantinya perpisahan akan menjadi hal yang ditangisi. 

Maka, di tahun-tahun setelahnya aku mulai mengubur semuanya. Cinta, pengharapan, impian, semuanya. Aku mulai berjalan dalam sepiku sendiri. Berusaha untuk tidak menggantungkan apa pun kepada siapa pun.

Aku menarik diriku begitu dalam. Hingga sepi hanyalah sebuah kata. Hingga kesepian tak lebih dari jajaran huruf semata. 

Hingga dia muncul…

Dia lah Bintang. Dia muncul dengan kesederhanaannya yang hanya bisa dimiliki oleh dirinya sendiri. Dengan sebuah tawa renyah dan riang yang seakan mampu mencerahkan semua orang yang disapanya. Termasuk aku. 

Tingkahnya yang kadang sedikit random tak elak membuatnya semakin dicintai semua orang yang ada di sekelilingnya. Termasuk aku. 

Dia juga yang mampu menyadarkanku bahwa manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tetapi di jalan setapaknya masing-masing. Tiap manusia berjalan, berlari, dan kadang sesekali berhenti. Semua jalan setapak yang dilalui itu berbeda-beda. Namun, menuju ke arah yang sama. Mencari satu hal, dengan satu tujuan yang sama. Hingga ketika semakin dekat dengan tujuannya, manusia semakin menyadari bahwa di sepanjang jalan setapak yang sudah dilewati, ia tak pernah benar-benar sendiri. 

Manusia selalu bersama apa yang dia cari…[2] 


Oleh Bintang, aku seakan ditarik menuju permukaan. Aku disadarkan bahwa kehilangan dan luka adalah proses yang benar dari upaya mencintai seseorang. 

“Mas Yo, tahu nggak?” Katanya dulu.

“Apa?”

A heart that’s broke is a heart that’s been loved [3] ” lanjutnya sembari menepuk-nepuk pundakku pelan dan tersenyum. Sebuah senyuman yang mampu menggali semua perasaan, harapan, dan impian yang sudah lama terkubur. 

Sebuah senyuman yang menjadi awal mula segala hal. Dan, sekaligus akhir dari banyak hal.



Aku suka kesederhanaan yang ada di diri Bintang, walaupun aku yakin kalau dia ingin, dia bisa mendapatkan hal yang lebih. Namun, kesederhanaan yang membuatku menyukainya itu malahan menjadi boomerang yang menghantamku dengan keras. 


Sederhananya, aku tidak bisa mencintai kesederhanaan itu…dengan sederhana. 




Lalu aku kembali berpikir… Apa itu cinta yang sederhana?







[1] Kutipan percakapan antara Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, dan Najwa Shihab
[2] Kutipan dari Film Tanda Tanya 
[3] Diambil dari lirik lagu Ed Sheeran - Supermarket Flower

0 Responds