Menyanyi Bersama Chester Bennington

1:37 PM

Pagi ini aku terbangun karena dentuman musik keras bersahutan dengan adzan shubuh yang dikumandangkan dari masjid di dekat rumah. Udara dingin yang menusuk-nusuk tulang membuatku malas untuk bergerak apalagi melanjutkan rangkaian mimpi indah. Kerlip lampu indikator dari ponselku menyala-nyala. Tandanya ada sebuah pesan yang belum dibaca.   

Setelah memastikan bahwa pesan itu tidak penting, linimasa twitter mulai aku jajaki. Aku kira, di pagi yang masih dingin ini linimasa akan sepi. Nyatanya, dugaanku salah. Mereka - para warganet- sibuk membahas mengenai seorang vokalis, pentolan grup band ternama luar negeri, Chester Bennington yang dikabarkan meninggal dunia Kamis waktu setempat. 

Kabar penyebab meninggalnya pun bukan sesuatu yang lumrah seperti sakit ataupun karena sudah tua. Chester Bennington, 41 tahun meninggal karena bunuh diri. Setidaknya itu yang aku baca dari sebuah portal berita yang lewat begitu saja di linimasa.

Aslinya, aku tidak terlalu tahu dan aku juga bukan seorang penggemar band musik yang diusung Bennington bersama Linkin Park ini. Hanya saja, begitu mendengar nama Linkin Park, ingatanku jadi berjalan jauh sekali ke belakang. Kembali ketika aku masih mengenakan seragam putih abu-abu.

Sebagai anak SMA yang cupu, kutu buku, dan kuper. Pengetahuan tentang musikku tentulah sangat bisa dibilang minim. Hanya terbatas pada band-band lokal yang sekarang sudah tidak tahu kemana rimbanya.

Maka, mendengar orang lain membahas band luar negeri dengan lirik bahasa Inggris yang sophisticated tentunya membuat minder diri sendiri.

Orang pertama yang mengenalkan ku dengan musik-musik luar negeri ini - termasuk Linkin Park - adalah seorang perempuan yang juga seorang kutu buku. Dia adalah kakak kelas di sekolah sebelah.

Perempuan ini yang sering aku panggil Nita ini lah yang kemudian akan menyandang predikat sebagai pacar pertama.

Nita, pada waktu itu, sangat suka sekali mendengarkan musik-musik dari Linkin Park. Katanya musik itu membuatnya bersemangat. Aku yang cupu yang bahkan tidak tahu harus berkata apa hanya mampu terkesima dengan penuturannya itu.

Alunan musik dari grup band ini nyatanya hampir selalu mengisi hari-harinya bahkan ketika kami belajar bersama di rumahnya. Dan, salah satu keuntungan pacaran sama kakak kelas adalah bahwa semua PR yang kamu punya bisa kamu konsultasikan secara gratis dan kamu bisa nampak sebagai yang paling pintar di kelas pun terjadi.   Di kamarnya, selain ada beberapa kaset Linkin Park - beberapa dibeli di Bonanza, sebuah toko kaset di bawah Matahari Mal di kota ku yang kini aku tak tahu nasibnya - berjajar rapih buku-buku berbahasa Inggris lainnya. Mulai dari The Old Man and Sea, The Alchemist, serial Narnia, dan entah buku siapa lagi.   Koleksinya itu, kesukaannya itu lah yang membuatku menobatkan dia sebagai seorang kutu buku paling canggih di dunia yang aku kenal.

Namun, predikat itu tidak bertahan lama. Beberapa tahun sepeninggal Nita, semua koleksi yang memenuhi kamarnya itu pun satu persatu mulai disumbangkan. Aku sempat protes karena keputusan itu. Pada waktu itu aku bersikukuh agar semua itu tetap pada tempatnya, agar aku bisa senantiasa melihat Nita di antara kaset dan jajaran buku itu.

Lalu kemudian aku tahu bahwa orangtua Nita melakukan hal itu juga atas permintaan Nita sendiri sebelum pergi. Kaset-kaset Linkin Park beserta poster dan kaset band lain disumbangkan. Pun buku-bukunya.

Tante sempat berkata bahwa buku-buku itu tidak akan pernah bisa membaca dirinya sendiri, maka lebih baik dia diberikan kepada orang yang mau membacanya.

Dan karena itu lah aku berusaha membuat caraku sendiri untuk mengenangnya. Iaitu dengan menjadikan dia abadi dalam cerita yang aku buat.   Hari ini, kabar duka dari Chester Bennington menarik ingatan itu kembali. Menarik bayangan Nita di kamarnya yang lumayan luas itu. Bayangan tentang dia yang sedang mengenakan headset, duduk di bawah jendela kamarnya, dan membaca sebuah buku sambil sesekali mencecap secangkir coklat panas yang uapnya menari-nari di hadapannya.

Aku tidak tahu apakah aku harus ikut berduka atas kepergian Chester Bennington atau berduka karena semua hal yang tak lagi akan terulang bersama Nita. 

Andai saja Bennington masih bisa mendengar pengharapanku, aku hanya ingin berkata kepadanya, "Maukah kau menyanyi bersama Nita di persimpangan jalanmu menuju surga?"

0 Responds