Ketika yang Lama tak lagi Sama

4:50 PM

Sumber : sini

"Gue nggak pernah lagi melihat kebelakang, itu akan merusak semua yang udah gue jalani dengan baik selama ini", pekikku sore kemarin saat seorang teman berusaha mengorek masa lalu ku yang tak begitu cemerlang.

Things never happen same twice, mungkin itu akan selalu menjadi kalimat sakti bagi ku dalam menjalani segala sesuatu agar tidak pernah ada kata sesal di dalamnya. Mencoba menjalani apapun dengan ikhlas, tanpa sedikitpun mengharap balas. Terdengar bodoh mungkin. Tapi, setiap orang sangat berhak memilih bagaimana dia akan menjalani cerita hidupnya masing-masing, kan?

Memang tak bisa dipungkiri, ketika kesendirian mulai menguasai diri, perasaan rindu akan orang-orang yang hidup di masa lalu pun mulai tumbuh subur untuk menggenapi. Tak harus melulu mengenai cinta yang pupus, sebenarnya. Banyak hal baik dari masa lalu yang rasanya ingin aku ulang lagi. Sekadar bernostalgia atau juga berusaha memperbaiki segala dusta yang dulu pernah ada.

Maka, di hari itu pun aku memutuskan untuk kembali mengunjungi beberapa sahabat lama yang kini sudah semakin jarang bertutur sapa. Dahulu, di saat aku masih mengenakan seragam putih-abuabu yang sedikit kebesaran untuk menutupi postur tubuhku yang jauh dari kata proporsional, aku punya seorang teman yang terlalu baik.

Aku mengingatnya sebagai orang yang teguh pada pendiriannya. Aku mengenalnya sebagai orang dengan cita-cita paling unik diantara ke empat puluh teman baru ku semasa SMA. Aku ingat betul saat dia diminta ke depan kelas menceritakan tentang dirinya dan cita-citanya yang ingin menjadi salah satu anggota SAR. Unik, karena disaat bersamaan teman-teman yang lain banyak yang bercita-cita ingin jadi insinyur, CEO satu perusahaan multinasional, penulis, dan pemain film.

Aku tahu bahwa dia adalah anak pertama dari dua bersaudara yang juga harus ikut serta menopang kebutuhan rumah tangga orang tuanya. Secara ekonomi, memang aku merasa sangat bersyukur jika harus dibandingkan dengan posisi dia waktu itu. Bersekolah dari pagi sampai siang, lalu berjualan koran sore sepulang sekolah, mencari rumput untuk sapi-sapi tetangga, lalu pulang di hari yang petang.

Dia mengajari ku banyak hal di hidupnya yang belum sampai seperlima abad itu. Darinya aku belajar bahwa hidup ini memang keras, tapi juga menjanjikan peluang yang sepadan dengan apa yang telah dikuras.

Tiba waktu kelulusan. Hanya aku dan dia yang tak merayakannya bersama gerombolan teman yang berpesta dengan cat berwarna-warni menghiasi seragam mereka. Kami memilih menghabiskan siang yang terik kala itu di sebuah mushola kecil di samping sekolah. Kami berdua punya nazar, bahwa ketika kami lulus kami akan mengayuh sepeda kami dari sekolah ke arah pantai baron. Tapi hanya dia yang berhasil melaksanakan nazar itu. Aku yang memang mempunyai kekurangan karena kondisi fisik yang tak lagi sempurna hanya bisa menemani nya mengayuh sepeda tak lebih dari seperempat perjalanan.

Kini, lima tahun telah berlalu semenjak pesta itu. Ada hasrat yang begitu menggebu untuk kembali mengunjungi dia. Aku ingin menebus janji ku untuk mengajaknya ke pantai baron sebagai bentuk ganti rugi atas nazar yang tak terpenuhi.

Tapi.. ketika akhirnya aku dipertemukan dengan sahabat ku itu, banyak hal telah berubah. Hidup telah memukul nya dengan sangat keras hingga guratan-guratan keoptimisan wajah yang selalu aku lihat dulu telah menghilang. Setahu ku, dia memang tidak melanjutkan kuliah dan memilih langsung bekerja di Jakarta. Kota yang terlalu keras untuk anak seumuran dia waktu itu.

Tubuhnya dulu yang tegap, gagah, dengan kulitnya yang gosong terkena paparan sinar matahari kini terlihat sayu, lemah. Tak ada lagi sorot optimis di matanya. Aku tak lagi menemukan sosok yang aku kenali dulu.

---

Awal masuk kuliah adalah suatu tantangan baru yang harus aku hadapi. Masuk di lingkungan yang sama sekali berbeda, memulai kembali membangun relasi-relasi dengan banyak orang dengan karakteristik yang berbeda-beda adalah satu tantangan yang harus aku jalani.

Tapi, beruntungnya aku karena tak butuh waktu yang cukup lama untuk kembali menemukan relasi-relasi itu. Di waktu inisiasi, aku bertemu dengan seorang teman keturunan separo tionghoa separo jawa tapi lahir di pulau kecil nan jauh di sana bernama Bangka.

Dari dia aku banyak belajar mengenai hal-hal diluar studi ku. Hal-hal yang bahkan sangat berguna setelah aku lulus dan mendapat predikat sarjana. Dia banyak menunjukkan pada ku bahwa kuliah tak hanya sekedar duduk dan meminta salinan materi dari, mungkin, dosen pengganti. Kuliah adalah saat dimana kemampuan bertahan hidup benar-benar ditempa. Kuliah adalah saat dimana kita harus membuka cakrawala seluas mungkin dan berusaha mengulik satu per satu bagian dari misteri hidup ini.

Dengan dia aku berbagi cerita tentang mimpi-mimpi. Tentang bagaimana inginnya aku membagi kebahagian dengan orang yang aku sayangi. Dan dia sangat paham sekali. Dia selalu memberiku motivasi-motivasi walau kadang kala harus ku tebus dengan sepiring ayam geprek kesukaan kami. Dari dia aku mendapat suatu energi dalam menjalani segala keterbatasan yang aku miliki. Dia selalu mengingatkan ku bahwa, ketika kita banyak bersyukur, maka apa yang telah kita dapat nantinya akan berlipat-lipat.

Waktu berlalu dan dia pun harus segera menyudahi perjalanannya di kampus ini. Dia mampu lulus dengan predikat hampir cumlaude, walaupun harus menyelesaikan studinya pada tahun ke enam.

Hampir dua tahun berlalu dan aku berhasil menyusulnya mendapatkan gelar pertama ku dengan predikat  yang sama. Hampir Cumlaude.

Kembali aku ingin bertemu dengan dia, bercerita tentang segala pencapaian yang telah aku dapatkan. Kami dipertemukan oleh konstelasi semesta di satu senja di pinggir bandara.Kepadanya aku bercerita bahwa aku sudah mampu pergi ke Sepang untuk menjalani satu pekerjaan yang memang menjadi kesukaan ku. Kepadanya aku bertutur bahwa aku akan memperpanjang kontrak kerja sebagi satu satu editor, seperti impian ku. Sembari berharap bahwa dia akan bangga dengan semua itu.

Tapi, lagi-lagi hidup telah memupus harapan hampir semua orang. Dia berkata kepadaku, bahwa dengan latar belakang pendidikan ku seharusnya aku tidak bekerja di tempat-tempat seperti itu. Aku seharusnya jadi guru saja. Aku terhenyak mendengar jawaban dari mulutnya itu. Setengah merasa tak percaya bahwa orang yang dulu berusaha mendukung ku untuk selalu percaya pada mimpi dan cita-cita kini malah mengatakan hal yang sebalikknya.

Aku mungkin telah berjalan terlalu jauh, hingga aku tak pernah melihat kembali orang-orang yang telah membantu ku selama ini. Hingga aku tak pernah menyadari bahwa orang-orang yang aku kenal dulu pun kini lambat laun berubah.

---
Hal yang tak pernah aku lewatkan di saat sore hari adalah menikmati segelas teh hangat yang manis ditemani dengan beberapa novel. Seakan kedua hal itu adalah obat dari segala kepenatan yang aku alami selama hampir 8 jam menghabiskan waktu di sekolah.

Sore hari biasanya adalah hari dimana keluarga ku berkumpul untuk sekadar menikmati camilan ala kadarnya. Kami biasa berkumpul di teras depan, duduk menghadap jalan dan bercerita mengenai bagaimana kami, aku, ibu, bapak, dan kadang kakak, serta adikku, menjalani hari kami.

Walaupun ketika rutinitas itu berlangsung aku malah lebih sering sibuk sendiri dengan novel dan ponsel ku, hal itu tetap saja sangart indah untuk dijalani.

Setiap sore aku duduk bersila di sebuah kursi panjang berwarna coklat gelap, bercerita tentang uang LKS yang belum dibayar, tentang hari ini aku dipanggil guru BP lagi karena bolos kelas sejarah untuk ketujuh kali, tentang pacar pertama yang akhir pekan akan main kerumah, dan juga bertanya apakah bapak ibu merasa bahagia punya anak laki-laki seperti ku.

Kedengaran kekanak-kanakan memang. Apalagi rutinitas itu harus aku lakukan saat usia ku belum genap delapan belas. Kata mereka, aku, adikku, dan kakak angkat ku, adalah hal terbaik yang tak akan tergantikan. Mereka berkata dengan nada kata yang lembut dan menenangkan.

Ada sedikit keganjilan yang aku rasakan setiap bercerita kepada kedua orang tua. Entah dengan sihir apa, mereka mampu mendengar setiap ucapan ku walaupun aku hanya berbisik saat mengucapkannya. Malah kadang kala mereka berhasil menebak apa yang aku katakan dalam hati.

Namun, kedewasaan mulai merenggut itu semua. Dimulai dari kakak yang harus pindah  karena harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri yang baik. Lalu dilanjutkan dengan aku yang sudah memulai prosesi pendewasaan diri dan hanya pulang paling sering sebulan sekali karena kehabisan uang jajan. Dan adikku yang kini semakin nyaman bergaul dengan teman-temannya.

Rutinitas senja kami pun perlahan mulai hilang dan tak pernah kembali ada lagi. Kami semua seakan terlena dengan prosesi kedewasaan kami tanpa pernah ingat saat masing-masing dari kami sibuk tumbuh semakin dewasa, mereka juga tumbuh semakin menua.

Sore itu, ditengah kesibukkanku yang selalu aku buat-buat. Aku ingin kembali menjalani nikmatnya mencecap segelas teh hangat buatan ibukku. Ingin kembali duduk bersila di kursi panjang yang tak pernah absen di cat setiap tahunnya oleh bapakku.

Aku ingin kembali mendengar apakah mereka masih bahagia memiliki kami sebagai anak-anak mereka. Aku ingin membagi cerita dengan tutur kata pelan dan sopan seperti yang di ajarkan ibunda. Aku ingin bercerita tentang kerasnya dunia kerja yang aku hadapi.

Namun, waktu telah mengubah segalanya. Tak ada lagi tutur kata pelan dan sopan. Setiap kali aku menyampaikan cerita-cerita mereka hanya berkata "Apa?" sambil memiringkan kepala mereka, seakan menyodorkan telinga nya. Dan dengan penuh keterpaksaan pun aku harus mengubah tutur kata pelan yang selalu diajarkan itu dengan suara bernada tinggi. Kadang malah aku perlu mengulangi hingga tiga kali agar aku bisa mendapatkan respon dari mereka.

Tak ada sihir itu lagi. Setiap kali aku berkata dalam hati, mereka hanya terdiam. Tak menanggapi. Waktu telah benar-benar merenggut mereka yang aku kenal beberapa tahun lalu. Atau mungkin aku yang terlalu disibukkan dengan dunia ku sehingga aku lupa bahwa mereka tumbuh semakin menua. Dalam hati aku berdoa, semoga aku bisa melewatkan masa tua mereka bersama.

Lalu, aku pun menutup lembaran terakhir novel berjudul Remember When yang ada di hadapan ku. Walaupun sangat kecil kemungkinannya, aku selalu berharap bahwa semua hal yang telah berlalu akan tetap sama dan tak akan pernah berubah. Karena disitulah, saat aku kembali ke masa-masa itu, aku merasa berada di rumah. Karena disitulah aku bisa pulang.


14 Responds