Cerita Tentang Bintang

10:44 PM

Paling tidak
tiap pertemuan pasti mengajarkan sebuah hal.
Tak terkecuali pertemuanku dengan Bintang,
dia mengajariku;
bahwa aku dan kau tercipta oleh unsur yang sama;
bahwa kata dan doa belum tentu dapat melahirkan kita;
bahwa tenang tak akan mampu menghilangkan kenang,
dan pening tak akan pudar dari kening;
bahwa h membuat ati menjadi lebih berarti;
bahwa di mana hati bersimpuh,
di situ kenangan berlabuh.





Itu adalah awal bulan Mei, di mana kami semua ikut berbahagia karena setelah beberapa bulan menerima lamaran dari seorang laki-laki, Audrey akhirnya memutuskan untuk menikah. Hari itu di ruang di mana kami biasa berkumpul Audrey bercerita bahwa dia akan menikah di Jogja. Kami semua diundang. Semuanya berbahagia karenanya. Semua termasuk Bintang.

***

Aku tidak terlalu paham tentang apa yang terjadi pada diri Bintang, sejatinya. Hari-hari setelah dia menuliskan bab terakhir ceritanya dengan seseorang, sepuluh bulan silam, dia terlihat berbeda. Walaupun dia selalu berusaha menutupinya dengan tawa juga canda yang kadang terlalu garing bagi kami semua.

Aku hanya mengira bahwa dia kini sedang dalam masa jeda. Atau mungkin hari-harinya kini sedang disibukkan dengan berbagai macam hal yang harus ia kerjakan karena dengan tidak adanya Audrey, beban kerja kami jadi bertambah. Belum lagi sebentar lagi Bintang juga akan menempuh sidang skripsinya.

Aku tak pernah ingin memaksa Bintang untuk bercerita tentang apapun. Aku tidak seperti Adi dan Ester yang sangat gamblang bertanya kenapa atau ada apa. Aku hanya ingin Bintang tahu bahwa aku ada di tempat yang sama, memperhatikannya. Entah dia butuh atau tidak.

***

Hampir dua tahun aku mengenal Bintang. Dan perasaan yang pada awalnya hanya aku simpan sendiri pun lambat laun harus diungkapkan. Tapi aku tak pernah mengerti bagaimana caranya. Mencintai dia secara diam-diam adalah cara yang paling aman untuk menjauhkan rasa sakit yang kadang tak tertahankan.

Tapi itu artinya aku juga menyerah tanpa mampu melawan. Bahkan setelah hampir dua tahun lamanya yang kami membagi cerita bersama, aku masih belum tahu cara mengatakan.

***

Kebahagiaan kami hari itu bertambah, setelah mendapat kabar bahwa Bintang telah berhasil menyelesaikan sidang skripsinya dan mendapat gelar sarjana, kami berangkat menuju Jogja bersama.

Kami berempat duduk di gerbong kereta nomer dua. Aku duduk bersebelahan dengan Bintang, Adi dengan Ester. Aku suka melihat Bintang ketika kami sudah tidak punya hal remeh lagi untuk dibicarakan, Bintang, membunuh waktunya dengan membaca novel.

Aku tak sabar menyaksikkan pesta pernikahan Audrey. Bukan, aku lebih tidak sabar melihat Bintang yang selalu berpenampilan sangat sederhana dalam kesehariannya -- yang hanya memakai kaos dan celana jeans warna biru langit-- itu berdandan anggun dan tersenyum manis.

Dan memang begitulah seharusnya Si Bintang. Perempuan bermata segaris itu tampil dengan sebuah dress panjang selutut berwarna dasar putih dengan hiasan batik biru keunguan menyelimutinya. Rambutnya yang biasa diikat ke belakang, kini di gerai. Rambutnya hitam seperti malam-malam kelam. Panjang hingga menyentuh punggungnya. Bibirnya dipulas dengan warna merah muda yang tipis, karena aku tahu dia tak pernah ingin meninggalkan kesan sederhananya. Cantik. Ungkapku dalam hati.

Aku dan Adi menunggunya yang berjalan menenteng tas kecil warna hitam, berdampingan dengan Ester.

***

Sebagai seorang yang cukup lama menghabiskan waktu untuk kuliah di Jogja, aku ingin bernostalgia sedikit bersama kota yang kini mulai tumbuh menjadi sedikit metropolitan ini. Aku ingin mengenang semua cerita yang dulu aku habiskan bersama malam di Bukit Bintang. Aku ingin menikmati deburan ombak pantai-pantai yang ada di selatan Jogja. Menikmati derasnya air terjun di sela-sela Perbukitan Menoreh di Jogja bagian barat.

Aku  juga ingin mengunjungi kembali sebuah komunitas tempatku belajar untuk berbuat lebih kepada orang lain tanpa iming-iming. Aku ingin menunjukkan kepada Bintang bahwa menjadi pahlawan tidaklah harus melawan kejahatan. Bagiku, pahlawan adalah mereka yang mampu mengubah penderitaan orang lain menjadi senyuman [1].

Aku ingin menunjukkan semua yang pernah aku dapati di Jogja kepada Bintang. Aku ingin menunjukkan kepadanya, betapa menyenangkan jatuh cinta itu.

Lagipula, atas ide Adi, kami sekalian meng-interval-i diri dari riuhnya Ibukota. Kami ingin sesekali menepi, menyesapi apa-apa saja yang telah kami lewati hanya demi mencari dan mengumpulkan materi.

“Ayolah! Ini akan menjadi liburan pertama kita sebagai sebuah tim.” Katanya bersemangat.




Tak akan pernah terhitung berapa banyak tawa yang kami bagi bersama. Sejak kali pertama jumpa dengan sosok Bintang, inilah kali pertamanya aku melihat dia tertawa begitu lepas hingga air matanya jatuh tak tertahankan. Aku yang sedari dulu yakin bahwa bahagia bisa kita ciptakan sendiri, hari itu yakin bahwa bahagia bukanlah sebuah bahagia sampai ia dibagikan.

Dan aku suka membagi kebahagiaanku itu dengan Bintang.

Aku selalu mengandaikan bahwa Bintang adalah rumah bagiku. Kini rumah itu tertawa lepas, bercanda seakan iya tak pernah tertawa sebelumnya. Tertawa seakan besok ia tak pernah lagi mengalami masa-masa indah yang sama. Seperti sebuah pertanda bahwa rumah itu sudah berdamai dengan penghuni lamanya yang kini entah ke mana.

Seminggu hampir berlalu kami di Jogja. Mengakrabi keramahan kota yang mulai tumbuh mendewasa ini. Menziarahi tempat-tempat di mana dulu cinta masih malu dan memilih bersembunyi. Bertutur sapa dengan para pengendara becak motor di sepanjang Jalan Malioboro, menjelajahi bukit, menuruni lembah untuk sampai di sebuah pantai, semua kami lakukan demi menemukan arti dari sebuah kebebasan yang lama terkungkung dalam rutinitas menjemukan.

Seminggu itu berhenti di hari Senin, di mana kami harus segera kembali kepada rutinitas yang kami akrabi setiap hari. Menyusun draft wawancara, memastikan narasumber, bertemu dan mencari kebenaran dari setiap issu yang kini ada di publik, menyusun berita, dan mengulanginya dari awal lagi. Adi dan Ester memilih kembali ke Jakarta lebih dulu karena masih masih meninggalkan sebuah pekerjaan yang belum terselesaikan.

Aku mengajak Bintang untuk tinggal sehari lebih lama di Jogja. Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan untuk Bintang yang akan berpisah dari Audrey, sosok yang selalu dianggapnya sebagai kakak. Sehari lebih lama itu juga berarti adalah kesempatanku untuk mengatakan apa yang selama hampir dua tahun ini tersimpan dan tak terkatakan.

Itu adalah Selasa malam ketika aku membuat sebuah janji dengan Bintang untuk bertemu dan membicarakan sesuatu. Tanganku gemetaran bahkan jauh sebelum Bintang datang. Bibirku kelu menahan semua yang ingin otakku sampaikan. Aku gelisah membayangkan semua yang akan terjadi dan tidak terjadi di malam di mana bulan tak suka menampakkan dirinya itu.

Itu pukul 06.15 menit saat aku baru saja melihat arloji di pergelangan tangan kanan ku, saat Bintang datang dan menepuk pundakku.

“Dor!” Serunya coba mengagetkan. “Sorry ya mas agak telat. Baru habis dari gereja sama Mbak Audrey.”

“Yah… besok kita udah balik Jakarta lagi ya?” Katanya setelah memesan segelas hot lemon tea dan membalas beberapa pesannya. “Padahal aku mulai nyaman di sini.”

“Lha kamu mau tinggal di sini, Bin?”

“Mau sih mas, tapi kerjaan kita gimana? Mas Adi dan Mbak Ester? Kasian kan mereka…”

Malam itu Bintang masih setia dengan celana jeans biru nya, lengkap dengan kaos hitam, yang ditutup dengan cardigan berwarna sesuai dengan kaosnya. Tas punggung biru muda itu juga masih setia dalam gendongannya.

Kami terdiam menikmati pesanan kami masing-masing. Otakku masih berlari-larian mencari cara bagaimana mengatakan semuanya. Jujur. Aku takut. Aku takut semua hal buruk yang aku bayangkan akan terjadi. Namun, aku lebih takut tidak melakukan apapun.

“Bintang…” Kataku memecah kesunyian.

Pada akhirnya, mau tidak mau semua harus dikatakan. Siap tidak siap Bintang harus tahu semuanya. Entah bagaimana ke depannya. Yang menjadi penting malam itu adalah Bintang tahu semua perasaanku kepadanya.

Aku memulai dengan berterimakasih kepadanya telah mau menjadi partnerku dalam menulis dua tahun belakangan. Bahwa hadirnya di dalam tim telah membuat hari-hariku menjadi lebih terang.

Aku yang dahulu tak pernah mempunyai tujuan kecuali hanya mengerjakan tugas ku, kini menjadi punya tujuan. Aku jadi punya tempat di mana aku bisa cerita apa saja. Tempat di mana aku bisa datang kapan saja. Tempat di mana aku bisa pulang. Dan itu adalah Bintang.

Aku juga meminta maaf bahwa selama beberapa tahun ke belakang, banyak waktu yang tersita hanya untuk mengerjakan pekerjaan. Yang harus membuat Bintang mengakhiri salah satu ceritanya dengan seseorang. Yang membuat dia meneteskan air matanya.

Dan malam itu, dengan diringin degup jantung yang tak keruan, keringat dingin menjalar di sekujur tubuh, aku memberanikan diri bertanya kepada Bintang apakah dia mengizinkanku untuk bisa selalu bersama dia.

Bintang hanya tertunduk lesu. Setelahnya.

“Mas Cahyo… Aku mau menanggapinya satu-satu ya.” Katanya yang lalu disusul dengan ucapan terimakasih telah diberi kesempatan untuk belajar hal baru bersama Adi, Ester, dan Audrey. Ia juga berkata bahwa tidak ada yang perlu minta maaf atas apa yang terjadi pada dirinya. Dia adalah bintang yang tahan banting.

“Dan untuk yang itu mas…“ Katanya tercekat. “Maaf, aku enggak bisa.”

Aku terhenyak mendengar jawaban dari Bintang itu. Seakan aku adalah sebuah planet yang kehilangan gravitasinya. Lepas menabrak segalanya. Lalu hancur hanya dalam waktu sekejap saja. Aku hancur berkeping, lepas dari orbit Bintang.

Bahkan ketika aku berusaha keras untuk tidak menghadirkan bayangan hal buruk dari keputusanku malam itu, aku masih tak mampu menepis kenyataan yang baru saja aku alami. Aku hanya bisa terdiam, hanyut dalam pikiran-pikiran ku sendiri tentang Bintang yang selama ini selalu menjadi tujuanku.

Aku mencintai nya seperti televisi tua yang ada di gudang. Yang hanya ada satu kanal dan tidak pakai remot kontrol [2].

Aku tak pernah ingin tahu kenapa atau mengapa Bintang berkata demikian. Bagiku, satu kata itu saja nyatanya telah mampu membawa rasa sakit yang paling dalam. Iaitu ketika harapan tiba-tiba berubah menjadi keputusasaan. Satu kata dari Bintang itu nyata-nyata telah menghapus banyak hal yang tak tergantikan.




Ini lebih dari seminggu setelah malam itu. The decisive moment. Semua yang ada sekarang mungkin akan berbeda dari sebelumnya. Malam ini, di bawah teduhnya langit Bali dan di tengah hingar-bingar suara gema takbir, aku tak bisa menghentikan diriku untuk menulis tentang Bintang.

Bintang, yang mungkin perlu kamu tahu adalah, malam-malamku sempurna karena ada kamu. Meski kamu dan aku kini menapaki malam yang berbeda. Kamu adalah jiwa yang mengisi setiap untai kata dan puisi. Sebab itu kini aku rasa tak perlu lagi memilikimu, karena bagiku kamu akan selalu kumiliki dalam kata [3].

Aku selalu terobsesi untuk mampu melakukan hal yang lebih dari apa yang sudah aku lakukan. Aku ingin mengalahkan diriku sendiri dengan tantangan-tantangan yang aku buat untukku. Mencintaimu, Bintang, umpanya. Tapi aku sadar kini. Seberapa kuat pun aku berusaha mengalahkan diriku sendiri, aku tak akan pernah mampu. Aku bukan bintang yang tahan banting. Aku hanyalah sosok yang lemah, yang merasa tak pernah siap dan sanggup kehilangan semuanya.

Now, you are missing. Love is missing. Joy is missing; nothing is fun [4].

Aku kembali membaca pesan yang dikirim Bintang malam setelah kejadian itu. “I know and believe, although the truth is hurt, that’s always the best.” Ucapku dalam hati.

Aku menghabiskan liburan ku di sini dengan berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah pergi [5].

Kini yang perlu aku lakukan adalah menentukan tujuanku kembali. Tak akan mudah memang, tapi harus bisa.

Aku tak tahu akan sampai kapan kata-kata Bintang itu akan tertempel kuat di dahi. Mungkin sampai aku benar-benar paham bahwa semua ini adalah untuk yang terbaik.

Aku tahu suatu saat nanti ketika kenangan mengembalikan sesuatu tentang dirinya kepadaku. Aku tahu ada hari-hari tertentu dalam hidupku yang tak hendak selesai [6].

Dan kini aku hanya perlu menerima dan memahami, bahwa semua ini adalah yang terbaik.

It is always the best…

























For who?









[1] Ketidakmampuan, Puisi Aan Mansyur dalam buku Melihat Api Bekerja, hal. 117
[2] Aku Menunggu di Kantukmu, Puisi Aan Mansyur dalam buku Melihat Api Bekerja, hal. 78
[3] Interval
[4] Pope Francis
[5] Menikmati Akhir Pekan, Puisi Aan Mansyur dalam Buku Melihat Api Bekerja, hal. 125
[6] Ketika, Puisi Aan Mansyur dalam Buku Melihat Api Bekerja, hal. 145

Gambar yang digunakan merupakan koleksi pribadi

2 Responds