Kopi Itu Kadang Kala Terasa Pahit

6:25 PM

"Liss, ntar sore kita ngopi yukk", begitulah isi sms gue ke Eliss siang itu. 


Siang itu, entah untuk kali keberapa, gue dengan segenap nyali yang udah gue kumpulkan dari sia-sia pergulatan  batin yang hebat,  akhirnya memberanikan diri untuk mengajak, Eliss, calon gebetan gue untuk ngopi bareng..

Sudah hampir 2 bulan ini gue berusaha ngedeketin Eliss, dan sudah hampir 2 bulan juga, gue selalu mencari-cari kesempatan agar gue bisa jalan berdua dengannya.

Akan tetapi, semua upaya gue selalu runtuh saat dia bilang, "Ajak si Anu sama si anu juga ya??" "Biar makin rame!!".

Biar makin rame, begitu yang sering dia katakan ke gue.  Padahal jika gue jalan bareng Eliss dan teman-temanya, kans gue untuk mendekatinya bakalan turun drastis karena kalah pamor dan kalah cakep dari teman-teman yang sering dia ajak. Dan apa bila itu terjadi, maka kesempatan gue untuk bisa nembak dia pun nggak akan pernah ada.

Belum lagi ada suatu paham yang aneh yang dianut oleh beberapa orang di lingkungan gue. Paham-paham yang membudaya di kalangan kami itu sama sekali nggak terlalu mendukung jika ada acara jalan bareng berdua seperti rencana yang bakal gue lakuin bareng Eliss siang itu.



Kami disini menganut suatu paham, yang menurut gue lebih banyak nggak pentingnya jika dibandingkan dengan tingkat signifikansi manfaat dari budaya tersebut. Oh ya, gue harap kalian semua tau arti "signifikansi", karena gue sendiri nggak tau.

Suatu paham kebersamaan yang selalu kami eluh-eluhkan. Suatu paham kebersamaan yang menurut gue sangat memuakkan. Suatu paham kebersamaan yang biasa kami sebut dengan paham Traktirism. Ya... sebuah paham, dimana kalo kita mengajak seseorang jalan-jalan, kitalah yang wajib menganggung semua akomodasinya berikut orang-orang yang dia ajak. Suck!!.

Bayangin aja, seandainya gue bisa ngajak Eliss jalan, trus dia ngajak 2 temennya yang mana setiap temennya bawa 2 temen lagi ditambah masing-masing dari mereka membawa 2 orang keponakan. Dengan asumsi satu orang menghabiskan biaya sebesar lima belas ribu rupiah, berapa biaya yang harus gue tanggung jika Eliss mengajak semua anggota keluarga dan warga di kompleknya??  Yang jelas, besarnya biaya yang harus gue tanggung lebih besar dari pada postur tubuh gue sendiri.

Tak lama berselang setelah sms tadi gue kirim ke Eliss, hape gue berbunyi. "Criiiingggg..."

Aha! Ini pasti dari si Eliss, pikir gue. Sesaat gue berpikiran bahwa nada sms gue bunyinya aneh. Lebih mirip seperti suara tongkat sihir dari nenek sihir di film kartun yang sering gue tonton dari pada sebuah isyarat adanya pesan yang baru masuk.

Dan dengan segudang harapan yang ada di kepala gue yang kesemuanya berharap kalo kali ini Eliss menyanggupi tawaran ngopi bareng gue, gue lantas ambil hape yang sedari tadi berada di samping kanan tempat tidur gue.  Kemudian setelah gue buka dan baca isinya... kampret!! .

Ternyata, sms itu bukan dari Eliss, melainkan dari seorang yang sangat merasa sangat kesepian hingga dia nggak tau harus nulis pesan seperti apa untuk mendapatkan perhatian dari orang lain,  kecuali sebuah pesan yang isinya nawarin kredit. Bener-bener kampret!

Setelah mendapat pesan dari pria malang itu pun gue kembali melanjutkan penantian gue akan jawaban yang kan di berikan Eliss. Tikk took tiik tokk... begitu suara jam dinding yang kini berada  tepat di sebelah kanan atas dari pintu masuk kamar gue. Siang itu, hanya ada gue dan suara jam dinding yang setia menemani gue dalam penantian ini.

Seiring waktu berjalan, lambat laun gue mulai terlelap. Perlahan-lahan ingatan gue meluncur kembali ke masa lalu. Ingatan tentang sebuah kencan pertama di sebuah cafe di bilangan jakarta selatan. Kencan pertama gue dengan seorang produser yang sekaligus sahabat gue, kencan pertama gue dengan seorang teman dan tour guide gue selama di jakarta..

Gue masih ingat betul kejadian itu... Waktu itu sabtu malam hampir pukul sembilan. Gue dan sahabat gue, Disty, baru saja pulang dari lokasi pengambilan gambar untuk film indie perdana kami "Ada Cinta dalam Botol".

Malam itu, kondisi jalan-jalan di jakarta sangat memuakkan. Apalagi kalo bukan macet, sebuah rutinitas yang sering terjadi di kota-kota besar. Sebuah rutinitas di sebuah kota yang menjanjikan 1001 macam mimpi sekaligus 1001 macam masalah di dalamnya.

Tapi, agaknya gue harus sedikit merasa bersyukur karena macet yang terjadi malam itu. Pasalnya, berkat macet itu mobil yang gue dan Disty naikkin --dengan dia yang jadi sopirnya-- terpaksa harus berbelok ke sebuah cafe untuk sejenak melepas kepenatan karena macet.

Cafe yang kami kunjungi malam itu, agaknya merupakan sebuah cafe besar yang cukup terkenal. Terlihat dari banyaknya pengunjung cafe yang rata-rata merupakan anak-anak muda dan... berpasangan. Njirr!

"Lo mau pesen apa?", tanyanya dengan wajah sedikit muram. Begitu kami duduk di sebuah bangku di lantai dua cafe itu. Dari tempat kami duduk malam itu, terpampang jelas landscape kota metropolitan yang kali itu penuh disesaki dengan anteran panjang mobil..

"Gue, capuccino aja.".

"Oke. Capuccino dua ya mas.." pintanya sambil mengembalikan buku menu ke mas-mas pramusaji yang dandanannya lebih mirip seorang roker yang habis tabrakan daripada sebagai seorang pelayan cafe. Mas-mas itu sedari tadi setia menunggu kami yang membolak-balik buku menu yang pada akhirnya hanya memilih satu menu. Entah, apa yang dipikirkan oleh mas-mas itu sewaktu kami sedang memuilih menu itu.

"Jakarta, malam ini busuk banget ya??", katanya sambil melihat kearah jalanan.

"Ah, nggak terlalu busuk juga kok." "Mungkin, karena ini weekend aja, jadi macetnya agak kebablasan gini."

"Tiap hari juga kek gini, nyoo!!." Sahutnya sambil mecucu.

"Maksudnya?"

"Macet kek  gini itu udah bukan masalah hari ini pas weekend apa bukan, macet seperti ini itu udah keterlaluan, dan tau nggak gue takut kalo ntar macet ini sedikit banyak udah menjadi bagian dari kultur kami yang ada di kota ini, nyoo. Coba lihat deh elu lihat kearah sana.", kemudian dia menunjuk ke arah jalannan yang penuh dengan rentetan mobil-mobil panjang.

"Hampir tiap hari, tiap gue berangkat ke kantor, tiap gue pulang dari kantor. Gue pasti lihat dan alami hal yang sama kek hari ini." "Nyoo, coba lihat ke mereka deh, apa ya mereka nggak bosen tiap hari ketemu macet gini terus?" "Apa dengan ngebunyiin klakson terus-terusan kek gitu terus tiba-tiba jalanan jadi lancar??"

Gue waktu itu bener-bener nggak bisa membantah apa yang terucap dari mulutnya. Semua itu benar. Semua yang dikatakannya terjadi dan nggak bisa disangkal lagi. Mendadak gue merasa bahwa gue adalah seorang gubernur yang sedang dihakimi oleh rakyatnya karena nggak bisa mengatasi hal yang sudah membudaya di kota ini.

"Ya... emang enggak bisa langsung lancar sih", jawab gue seraya mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan argumentasi gue dengan dia. 

"Kalo menurut gue sih nyoo, at least pemerintah itu seharusnya punya aturan yang tegas untuk  mengatasi masalah seperti ini. Biar nggak membudaya  kaya gini, ya kan??", begitu sahutnya.

Kemudian tak berapa lama, mas-mas pramusaji itu kembali datang dengan membawa sebuah nampan berisi dua cup capuccino pesanan kami dengan satu tangan kirinya.  Terampil juga masnya!

"Silahkan di nikmati pesanannya." "Mau tambah pesan makanannya juga?",  katanya dengan sopan

"Enggak, Nanti aja mas.", jawab gue sama Disty hampir bersamaan.

Beberapa detik kemudian, mas-mas yang tadi sudah menghilang dari pandangan kami. Mungkin berkeliling ke meja-meja lain menawarkan segala menu yang ada di cafe itu. Menawarkan dengan kalimat yang sopan, walaupun kadang jawaban yang diterima nggak sepadan. 

"Terus elu nggak ngrasa bosen tinggal di sini, dengan segala rutinitas kemacetan yang sudah membudaya  kaya ini?", tanya gue sambil menyeruput capuccino yang ada di depan gue sekarang.

"Bosen gimana?"

"Ya, bosen aja." "Kata mu tadi tiap hari harus kena macet kaya gini, harus sering bunyiin klakson yang kadang buat sakit telinga? Elu nggak bosen kaya gitu terus??"

"Bosen??", tanyanya sambil mnegulngi pertanyaan gue. Seakan dia nggak yakin dengan pertanyaan yang gue lontarkan ke dia.

"Coba gini deh Nyoo. Gue mau jawab pertanyaan lu, asal elu  jawab pertanyaan gue dulu, gimana?", tambahnya.

"Emang elu mau tanya apa?"

"Kan elu pastinya tau kalo jakarta itu macet, elu juga pasti tau kan kalo jakarta ini kota yang keras dengan segala hal yang udah elu lihat malem ini atau saat elu dateng kesini pertama kalinya?"

 "Iya, terus kenapa?"

"Terus... kenapa elu masih mau datang ke sini lagi, sedangkan elu tau segala masalah yang ada dan terjadi disini dan seberapa parahnya hal itu. Kenapa elu masih tertarik untuk dateng ke sini lagi, Nyoo?"

"Ehm...."

Pertanyaan itu tak urung membuat gue hanya bisa diam dan berpikir mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Ah! Sial! Counter Attack ini.

Hening...

Begitulah yang terjadi diantara kami untuk beberapa saat. Kini yang terdengar di sekitar kami saat itu hanyalah suara orang-orang yang ngobrol. Mulai dari obrolan tentang politik, tentang mobil, hewan peliharaan, dan segala hal yang mereka bisa jadikan bahan diskusi bersama kolega, sahabat, maupun pacar yang mereka ajak ke cafe itu.

Jauh diluar, di arah jalanan yang semakin macet saja mulai terdengar suara-suara klakson mobil yang makin lama makin memekakkan telinga. Di dalam cafe ini pun, sebenarnya ada sekelompok pemain musik yang sedang memainkan lagu jazz nan lembut. Namun, suara klakson di luar sana agaknya jauh lebih keras dari musik yang mereka mainkan.


Sedangkan gue, masih termenung. Terpaku melihat secangkir capuccino di hadapan gue. Gue masih mencoba menggali alasan-alasan kenapa gue mau datang ke kota ini, lagi!

"Nyoo, gue mau datang kesini lagi..., karena gue masih menaruh harapan pada kota ini. Kota ini dengan segala permasalahan yang udah gue denger, yang udah gue lihat dan alami,  seenggaknya masih sedikit menjanjikan mimpi buat orang kaya gue."

Sambil tersenyum dia bilang, "Nah, disitu pointnya Nyoo. Gue, yang setiap hari terpaksa harus menikmati rutinitas ini dan bertahan sampai sekarang dan menolka untuk pindah karena gue juga masih menaruh harapan di kota ini. Kota ini, dengan segala hal yang udah elu ungkapin tadi, masih menjanjikan hal yang seharusnya gue perjuangkan."

Mendengar jawabannya itu...kini giliran gue yang hanya bisa tersenyum manis melihatnya. Ah... Manis sekali dia.

Sambil memegang cangkir capuccino gue yang perlahan mulai dingin gue dan terasa pahit, gue kembali  berpikir bahwa memang terkadang hidup ini ibarat kita sedang minum kopi. Banyak orang yang pada awalnya nggak terlalu suka kopi kemudian perlahan-lahan mulai mencicipi seteguk demi seteguk sampai akhirnya menjadi sebentuk kebiasaan minum kopi.

Mungkin pada awalnya kebanyakan orang yang nggak suka kopi itu berpikir, "Kopi itu pahit! Pahit itu nggak enak! dan kopi itu nggak enak!!"

Tetapi kemudian ketika mereka memberanikan diri untuk mencoba mencicip kopi yang pahit itu, saat itulah mereka sedikit demi sedikit berani menghadapi realita. Bahwa dengan merasakan pahitnya kopi dengan merasakan pahitnya hidup, mereka secara perlahan mulai mencari sebentuk kenikmatan dari setiap kepahitan yang terdapat di dalamnya.

Dan menurut gue bahwa hidup itu memang layaknya minum kopi. Sering kali kita menemukan kepahitan-kepahitan di dalamnya dan sering kali kita menolak menjalaninya, tapi pelan-pelan kita mulai bisa belajar dari hal itu. Belajar menemukan kenikmatan dalam gumpalan-gumpalan pahitnya kehidupan ini.

"Hidup itu kaya kita minum kopi, nyooo", begitu kata Disty sambil menampakkan seraut wajah yang penuh senyuman.

Tak berapa lama kemudian, hape gue mulai  berdering membuyarkan semua lamunan gue akan saat-saat terindah yang pernah terjadi dalam hidup gue. Kini, seiring hilangnya lamunan itu. Gue harus kembali berhadapan dengan kenyataan.

Kenyataan bahwa gue masih menanti sebuah jawaban dari Eliss, kenyataan bahwa kini ada sebuah pesan yang masuk ke hape gue.

Ketika gue melihat pop up sms yang menampilkan nama dan nomer telpon Eliss, gue tersenyum. Penantian gue tak sia-sia. Akhirnya gue buka pesan itu. Sebuah pesan yang cukup singkat dan hanya berisi beberapa kata. Namun kali ini, entah kenapa gue merasa sangat senang ketika membacanya.

Iya... Pesan itu dari Eliss dan isinya, "Ayo, ditempat biasa ya... Kali ini ngopinya berdua aja. traktir gue :))" .

4 Responds