Dua Sisi

12:17 PM

Mungkin kalian semua kebanyakan setuju kalo segala hal yang kita jumpai itu pada dasarnya mempunyai dua sisi yang berbeda.

Dua sisi yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari mungkin selalu bertentangan satu dengan lainnya, kaya ada hitam pasti ada putih.. Ada sehat di lain sisi ada sakit.. ada jomblo eh... di lain sisi masih ada yang LDR-an berpacaran.

Pokoknya pasti ada dan selalu ada dua sisi dalam segala hal yang kita lihat, dengar, rasakan , dan alami. Permasalahannya adalah sisi mana yang akan kita pilih? Sisi mana yang akan kita jalani? Sisi mana??? MANAAAA??? Ha!

Akankan kita memberanikan diri kita sendiri memilih sisi yang mungkin berbeda dengan sisi yang orang lain pilih?? Beranikah kita di kucilkan karena pilihan kita yang berbeda?? Atau mungkin beranikan kita menanggung semua resiko yang ada pada pilihan yang kita ambil? CUKUP BERANIKAH KITA??!!
Mungkin, kebanyakan orang nggak kurang begitu setuju jika mengambil suatu pilihan yang memiliki resiko kegagalan yang besar, kebanyakan orang selalu menginginkan yang pasti-pasti saja tanpa berani mengambil suatu tindakan. 


Sama kaya pas suatu malam saat gue di jakarta kemarin. Waktu itu gue sempat mengutuk-ngutuki kemacetan di kota metropolitan itu. Pasalnya udah hampir satu jam di mobil gue yang waktu itu disopiri sama temen gue hanya bisa bergerak kurang lebih 100 meter. Pengalaman gue menghadapi situasi seperti kemacetan yang paran itulah yang membuat gue melakukan hal tersebut.

Bagi temen yang sekaligus sopir gue, Disty, kemacetan seperti itu memang sudah hal yang biasa dia alami, terlebih malam itu adalah malam minggu. Malam dimana, katanya, banyak anak-anak muda berbondong-bondong menuju ke daerah pemakaman. Bukan untuk ziarah, mengenang keluarga mereka yang telah tiada, melainkan untuk "mojok" berdua.

Kebiasaan yang aneh memang. Dan kalo gue pikir-pikir, padahal nggak terlalu mahal kok buat pacaran di tempat-tempat romantis kaya cafe, bioskop, ataupun tempat-tempat lainnya. Permasalahannya adalah alasan mereka kenapa mereka memilih tempat seperti itu. kebanyakan alasan mereka sih karena kal pacaran di pemakaman kan bisa.... #ahsudahlah

Pengalaman yang menentukan pengetahuan, ya kira-kira begitulah yang gue alami waktu itu. Pas gue tanya ke Disty kenapa dia bisa anteng-anteng aja saat macet udah makin nggak karuan gitu... eh, dia hanya senyum aja.

Kemudian, setelah cukup lama berdiam diri di mobil, akhirnya kami memutuskan untuk banting stir ke sebuah cafe. Sekedar untung menghilangkan penatnya jalanan ibukota yang lebih kejam dari ibu tiri itu.
Kami mampir di sebuah cafe yang cukup rame, sewaktu kami masuk, kami langsung disuguhi music jazz yang mengalun indah di sebuah sudut di cafe itu.

Berhubung pengunjung cafe lagi lumayan banyak, kami memutuskan untuk mencari tempat duduk di lantai dua cafe itu, agak jauh dari tempat para pemain jazz yang sedang menunjukka kebolehannya dalam meracik melodi tanpa latihan itu.

Sayup.. masih terdengar alunan lembut jazz di tempat duduk kami. Disebelah kami ada sebuah jendela besar yang langsung menuju ke arah jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan.Perlahan, suara klakson mobil dan motor yang ada di seberang cafe pun saut-menyaut mengalahkan alunan indah music jazz di cafe itu.

"Macetnya kurang ajar ya?", begitu ucap gue seraya melongok ke arah jalanan.

"Iya, biasa.. malam minggu", begitu jawabnya singkat.

"Eh, elu nggak bosen apa tiap hari mesti ketemu macet kaya gini?"

"Bosen sih, tapi mau gimana lagi?"

"Nggak punya niatan untuk pindah ke luar kota?",

Sesaat sebelum pertanyaan terakhir gue sempat di jawab, menu pesanan kami berdua datang. Capuccino, itulah menu yang kami pesan berdua.

Setelah sedikit membasahi tenggorokan dengan Capuccino itu Disty menjawab pertanyaan gue, "Pengen sih pindah ke luar ota yang nggak macet. Tapi, kota ini masih menjanjikan sesuatu buat gue"

"Sesuatu apa??", tanya gue.

"Sesuatu yang mungkin kebanyakan orang cari dan nggak mereka temuin kalo mereka hanya ada di kampung halaman mereka"

"Dan, sesuatu itu..."

"Keberuntungan !", potong dia.

"Banyak orang datang jauh-jauh dari kampung, ninggalin sawah, keluarga mereka cuma demi keberuntungan yang dijanjikan kota ini," begitu tambahnya.

Memang nggak bisa dipungkiri, banyaknya arus urbanisasi ke ibukota merupakan bukti nyata adanya "sesuatu" yang menjanjikan disana. Begitu pula dengan gue, gue bela-belain nabung uang jajan gue demi bisa beli tiket untuk bisa ke jakarta karena Jakarta memang menjanjikan "sesuatu" bagi gue.

"Gue, mau tanya deh, kan elu udah tau kalo jakarta itu keras, macet, panas, dan segala hal lainnya. Terus kenapa elu masih mau gue undang kesini?", tanya dia ke gue.

"Errr... Gue masih mau datang kesini karena... Paling nggak gue yakin, kalo datang ke sini gue akan selangkah lebih dekat dengan apa yang gue impikan." Jawab gue.

"Semua orang juga gitu nyoo... semua berharap kalo datang ke Jakarta impian mereka akan jadi nyata atau sesenggaknya mendekati kenyataan. Gue pun juga gitu!!"

"Terus, soal kemacetan ini?", tanya gue.

"Yah... untuk satu kota yang menjanjikan mimpi kepada setiap orang pasti harus ada resiko yang dihadapi kan? Lagian, kalo macetnya separah ini kan, di pinggir-pinggir jalan jadi banyak cafe atau tempat makan lainnya yang bisa dijadiin usaha kan?"

"Iya sih... semacam ada dua sisi gitu ya?? Disatu sisi mereka mengutuk-ngutuki kemacetan tanpa mampu berbuat apapun. Di sisi lain ada orang yang berusaha, untuk mengubah suatu kondisi yang tidak menguntungkan itu menjadi suatu kondisi yang baik buat dirinya."

"Hehe... Bener nyoo, kadang besarnya resiko pada setiap hal yang kita ambil sebanding kok sama besarnya kesempatan untuk bisa berhasil, tapi permasalahannya..."

"...pada keberanian kita mengambil resiko itu kan?" potong gue.

"Iya... keberanian kita mengambil dan menjalaninya."

Kemudian, dia mengambil sebuah uang koin dari saku celananya.

"Gampangnya itu gini nyoo... Kesempatan dalam hidup itu kaya uang koin ini. Uang koin ini punya dua sisi yang berbeda, tergantung elu mau lihat dari sisi mana. Semua benar. Semua punya resiko yang sebanding, juga keberhasilannya." "Sekarang tinggal elu mau milih sisi mana yang mau elu jalani? berani nggak elu menghadapi semua resiko dari sisi yang elu pilih?"

Iya... Berani nggak kita menghadapi semua resiko dari setiap apa yang kita pilih?? Buat gue, apapun yang udah gue mulai dengan niat tulus, seberapa pun resiko yang gue hadapi nantinya. Gue akan berjuang untuk mendapatkannya karena gue yakin besarnya resiko yang gue hadapi sebanding dengan besarnya keberhasilan yang akan gue raih...

3 Responds