Ah... Namanya Juga Cinta

10:13 AM

Sudah lebih dari dua tahun saat aku pertama kali bertemu dengan dia. Aku masih ingat betul wajahnya saat pertama kali kami bertemu. Tepat disebuah ruang kuliah di kampusku. Ruang kuliah yang terlalu sangat luas apabila hanya diisi oleh 20 orang mahasiswa.

Waktu pertama kami bertemu tubuhnya masih kurus, lebih kurus dari tubuh kurus ku sendiri. Namun, sekilas dari sorot matanya, aku dapat melihat ada ke-optimis-an di setiap langkah kaki menuju meja disudut terdepan ruang kuliah itu. Tepat setelah dia meletakkan semua alat yang akan dia gunakan hari itu, dia kemudian melemparkan sebuah senyuman manis kepada kami semua. Sebuah senyum manis kepada teman-teman barunya. Senyum manis kepadaku.

"Good morning class. My name is Eliss and I will be your tutor for this English Club", begitulah kalimat pertama yang dia lontarkan kepada kami semua setelah sebuah senyuman manis yang akan selalu membekas diingatanku. Senyuman itulah yang kelak akan selalu menghiasi lamunan-lamunanku.

Dari cara dia berbicara di depan kami semua, setiap pilihan kata yang ia gunakan, setiap diksi yang ia pakai, dan setiap senyum yang selalu menghiasi wajahnya, selalu bisa membuat ku merasa bahwa aku sedang berada di dimensi lain dari kehidupan ini. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ah, namanya juga cinta nggak mungkin dia datang begitu saja saat pertama kali jumpa. Begitulah cara ku untuk selalu memproteksi diriku sendiri.

Tak terasa waktu 100 menit yang diberikan oleh pihak fakultas untuk kegiatan English Club ini pun usai. 100 menit yang mungkin adalah 100 menit paling sia-sia dalam hidupku. Atau bisa juga 100 menit terindah dalam hidupku. Menit demi menit selalu aku nikmatin dengan tidak menghiraukan sedikitpun materi yang dia jelaskan. Setiap menit hanya aku lakukan untuk memandangi wajahnya, menunggu dia untuk selalu menunjukkan senyum manisnya. 

Semua orang di kelas langsung pergi begitu saja, ketika mereka sudah dipersilakan. Semua, kecuali aku. Aku masih sibuk atau lebih tepatnya berpura-pura sibuk merapikan semua barang yang ada di tas ku. Barang-barang yang isinya hanya beberapa novel dari beberapa pengarang ternama yang merupakan hal yang wajib aku bawa saat kuliah. Iya, membaca novel adalah suatu candu yang tak bisa lepas dariku, termasuk saat kegiatan kuliah. Disaat suasana kelas sudah hening dan kepura-puraan ku sudah hampir terbongkar, entah kenapa ada suatu dorongan yang sangat kuat dalam diriku. Dorongan untuk segera menghampiri dia yang masih sibuk merapikan alat-alat yang tadi dia gunakan. Dorongan yang entah dari mana datangnya, seakan ada banyak sekali energi positif yang mengalir di dalam diri ku untuk menjadi berani. Berani menghampiri dia untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Bukan terimakasih untuk materi yang dia berikan hari ini, melainkan untuk senyum manisnya yang selalu dia tunjukkan.

"Hai miss, makasih ya...", begitu kataku saat mendekati nya. 

"Eh, iya sama-sama" begitu katanya sembari tetap menunjukkan sikap anggun yang dia miliki dan sebuah senyum yang menawan kembali hadir di wajahnya.

"Oh ya miss, aku Cahyo... maaf tadi belum sempat kenalan"

"Iya, aku Elis, tadi udah kenalan kan?" jawabnya sambil mengulurkan tangannya nya yang kurus itu. Saat itu lah saat pertama aku menjabat tangannya. Memegang tangannya dan seakan ada suatu sengatan listrik berkekuatan seratus ribu mega watt yang tiba-tiba menyerang otakku. Kemudian hati kecil ku berkata, inikah cinta pada pandangan pertama? Ah, namanya juga cinta tak mungkin ia datang saat kali pertama berjumpa.

Mendadak terjadi sebuah pergulatan batin yang sangat hebat dalam diriku. 

Satu... dua... tiga... empat bulan kini telah berlalu setelah saat pertama itu. Begitu cepatnya waktu berlalu, begitu cepat hingga aku tak pernah sadar bahwa semester ini akan segera berakhir. Entah sudah berapa banyak materi English Club yang aku rekam dalam otakku. Rasanya masih begini-begini saja, tak ada kemajuan yang signifikan yang bisa aku rasakan. Setiap minggu selalu yang aku tunggu adalah hari dimana English Club diadakan, bukan menanti materinya, melainkan menanti senyuman seorang putri yang datang dari sebuah negeri di ujung pelangi. 

Mungkin kalau aku ditanya oleh kepala fakultas, "Apa yang kamu dapat dari kegiatan English Club ini?" Aku nggak akan pernah ragu untuk menjawab, "Yang saya dapat dari kegiatan English Club ini adalah...kebahagiaan."

Ah, mungkin benar ini cinta...

Tak ingin rasanya kegiatan ini berakhir, rasanya aku rela menukar puluhan SKS yang aku ambil semester ini dengan satu semester lagi belajar di English Club. Satu semester lagi dengan dia.

Ah, namanya juga cinta...

Beberapa minggu kemudian setelah kegiatan EC itu berakhir, aku masih sering melamun, melamunkan senyuman-senyuman indah yang pernah aku lihat dulu. Mungkin ini yang disebut dengan kangen. Ternyata seperti ini rasanya. Beruntung bagi ku, sebelum EC itu berakhir, aku sempat mendapatkan nomer teleponnya. 

"Miss, mbok aku minta nomer teleponnya. Biar nanti kalo pengen belajar bahasa inggris lagi, aku gampang nyari tutornya" Begitu alasanku yang sangat tak masuk akal untuk didengar. Saat itu pun aku tak terlalu mengharapkan respon yang positif dari dia. Akan tetapi semesta berkata lain.

"Oh iya... nih nomer ku, kamu catat ya. Nanti terus kamu sms ke aku, biar aku save nomermu", begitu jawabnya sembari memberikan secarik kertas bertuliskan nomer teleponnya karena memang saat itu dia lupa membawa telepon genggamnya. Bahagia.

Sering kali aku buat alasan-alasan yang sangat tak masuk akal untuk bisa bertemu dengan dia selepas progarm EC itu. Pernah suatu kali aku minta untuk diajarin tentang IF Conditional . Aku bersikukuh meminta agar dia mau mengajari ku soal itu. Aku mengajaknya untuk bertemu di sebuah cafe. Iya, sebuah cafe bukan disebuah ruang kuliah, di rumah, atapun di perpustakaan yang memang sudah lazim digunakan untuk tempat belajar privat. Sebuah cafe yang memang selalu menjadi langganan ku sejak pertama kali aku mendaratkan kaki ku di kota ini untuk mulai belajar di sebuah universitas swasta. Sebuah cafe dengan ornamen-ornamen kayu yang dipadu dengan rotan di sisi kanan dan kirinya. Sebuah cafe yang terkadang menyajikan hiburan alunan musik jazz lembut sebagai tambahan menunya. Sebuah cafe yang belakangan jadi tempat ku melamunkan kenangan ku terhadap sosok seorang putri yang jago berbahasa Inggris.

Hari itu, di cafe itu, aku tak pernah bener-benar belajar tentang If Conditional. Tak satu katapun yang dia ucapkan yang isinya menyangkut tentang materi pembelajaran. Saat itulah aku baru merasakan suatu rasa yang lama tak kurasakan lagi. Suatu rasa yang mungkin tak pernah bisa aku jelaskan. Bahagia karena bisa bersama, senang saat kami bisa saling bertukar cerita, sedih saat kami harus bercerita tentang masa lalu, pahit saat kami bercerita tentang hidup kami masing-masing. Ditemani dua gelas Capuccino ice, kami menghabiskan separuh hari bersama, duduk berdua, menertawakan segala hal. Bahagia. Mungkinkah ini cinta?

Kini, sudah dua tahun lebih aku mengenalnya. Entah sudah berapa ratus dusta yang sudah aku lakukan. Dusta dimana aku berpura-pura ingin belajar, tapi pada kenyataannya hanya ingin bersama, menghabiskan waktu berdua. Entah sudah berapa jam yang kami habiskan bersama, di cafe yang sama, ditempat duduk yang sama, dengan menu yang sama. Kami tak pernah menghiraukan hal itu. Bercerita tentang kopi yang kadang kala terasa pahit adalah rutinitas yang kami alami. Bercerita tentang pahitnya kopi seperti hidup ini adalah kesukaan kami. Belajar menikmati setiap kepahitan dalam hidup adalah hal yang kami lakukan setiap kali bertemu di tempat ini. Ah, mungkin ini sudah saatnya mengakhiri perang yang ada di hati ini.

Tapi, beranikah aku mengungkapkan segala yang ada di hati ini? Bagaimana kalo seandainya dia tidak merespon dengan baik? Bagaimana kalo setelah aku mengatakan bahwa aku suka dia, kemudian dia menjawab maaf kita lebih baik jadi teman saja? Bagaimana kalo itu terjadi seketika? Apa aku siap untuk menerimanya? Apa aku siap dengan kata "maaf" dan "tidak" yang akan keluar dari bibirnya? Apa aku siap menghadapi kenyataan jika seandainya apa yang sudah kami jalani selama ini hancur dalam seperminuman Capuccino Ice saja? Apa aku siap?  

Iya. Aku siap menganggung semua resikonya. Apapun itu. Begitu kata ku dalam hati, suatu perkataan yang selalu kuucapkan keras-keras dalam hati seolah-olah ingin meredam semua kekhawatiranku tentang apa yang akan terjadi.

Namun, sebelum semua kata-kata indah bisa ku produksi dan tersampaikan dengan lantang di depannya. Sebelum aku bisa mencurahkan segenap perasaan yang aku simpan selama dua tahun lebih ini, sebelum semua itu terjadi, tiba-tiba dia mengangkat tangannya lalu melambai ke arah luar cafe. Dia melambaikan tangannya persis seperti disebuah acara reality show yang isinya adalah menguji keberanian seseorang terhadap apa yang tak kasat mata.

Butuh beberapa detik untuk ku bisa menyadarai bahwa lambaiannya itu adalah sebuah pertanda. Pertanda yang menandakan posisi duduk kami berdua. Tepat dilantai dua cafe, dekat dengan jendela yang terbuat dari kaca yang lumayan tebal dengan pemandangan langsung menuju ke arah jalanan yang sibuk dengan dirinya sendiri. Lalu aku membalikkan badan, sorot mata ku langsung mengarah ke seseorang yang berusaha dia panggil untuk mendekat ke meja kami berdua.

Seorang pria. Iya, dia yang hari ini duduk berdua bersamaku ditempat yang sama selama dua tahun ini mengajak seorang pria lain untuk datang dan ikut duduk bersama. Seorang pria yang memang secara postur tubuh lebih berisi dari pada tubuh ku. Pria yang tak lebih tinggi dari ku juga tak lebih rendah. Seorang pria yang mengenakan jaket kulit sintetis, sejenak aku berpikir bahwa dia adalah tukang ojek langganannya. Seorang pria yang kelihatannya ramah, karena caranya mengulurkan tangan pertama kali untuk memperkenalkan dirinya kepadaku. Kepada aku yang masih berpikir apa yang ingin pria ini lakukan di hari penting ku. Setelah dia mengenalkan dirinya, dia mempersilakan dirinya sendiri untuk duduk. Dan, entah kenapa dia duduk disamping kanan Eliss satu-satunya orang yang ingin aku lihat di depanku.

"Oh ya Cahyo, ini pacarku", begitu kata dia setelah pria itu datang dan duduk seenak hatinya.

Apa? Sejenak otakku tiba-tiba beku. Telingaku tak dapat mendengar apapun, hidungku tak dapat mencium apapun, mulut ku tak bisa bergerak untuk bisa memproduksi suatu kata, tubuhku terasa kaku semacam ada sebuah paku yang super besar ditancapkan oleh seseorang di tubuhku. Yang masih tersisa dariku hanyalah tatapan ku ke dia. Tatapan mata yang seakan menunjukkan ketidakpercayaan akan sesuatu yang baru saja terucap dari mulut manis yang selalu punya cara sendiri untuk menghipnotisku..membutakan duniaku.

Aku menelan ludahku dengan sangat berat. Serasa berton-ton kenyataan juga ikut tertelan bersamanya. Kenyataan yang sebenarnya tak pernah aku harapkan untuk bisa hadir, terlebih saat seperti ini. Saat dimana seharusnya aku berbahagia. Entah sudah berapa detik berlalu dan aku aku masih saja mematung di depannya. Seperti ada sebuah meteor yang baru saja jatuh di kebun bunga yang baru saja selesai aku bangun. Ada rasa yang begitu menohok ulu hati ini, tapi aku tidak tau apa itu.

"Oh, pacarnya ya?" begitu ucapku lirih bersamaan dengan suara yang berasal dari grinder kopi di lantai bawah cafe. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap menyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah sebuah mimpi, begitu aku bangun semua akan kembali menjadi indah. Kembali indah seperti apa yang ku harapkan. Tapi tidak. Inilah kenyataan, kenyataan bahwa memang hidup itu seperti kopi. Kopi yang kadang kala terasa pahit, seperti suatu hal yang wajib hadir di setiap pembicaraan kami berdua selama dua tahun lebih ini. Disetiap akhir pembicaraan tentang pahitnya kopi--pahitnya hidup--dia selalu berkata kepadaku, dia berkata bahwa dalam setiap kepahitan itu kita akan selalu menemukan suatu kenikmatan yang tak pernah kita duga sebelumnya.

Aku berusaha mengingat kembali kata-kata itu sebelum berpuluh-puluh air mata terproduksi dan mengalir di sudut mata ini. Aku kembali berani menatap wajahnya. Wajah yang masih sama dengan saat pertama kali kami bertemu. Wajah yang selalu dipenuhi dengan sebuah senyuman manis. Dan aku pun pun hanya bisa membalas senyuman itu, karena bagiku senyum adalah sebuah bahasa yang mampu menyembunyikan luka.

Ah... Namanya juga cinta.

Kita memang tak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta, kapan kita akan merasa jatuh cinta, bagaimana kita akan jatuh cinta, atau mengapa kita bisa jatuh cinta. Cinta itu kadang kala memang tak bisa hanya dipahami dengan logika. Cinta itu gabungan dari duka, luka, dan bahagia.

Kemudian untuk sekejap aku memejamkan mata ku ini, semua kenangan yang kami lalui berdua, semua senyumnya yang selalu aku rekam, silih berganti datang dalam sekejap mata itu. Sambil memegang gelas  Capuccino Ice ku yang sudah tak terasa dingin lagi, aku menggumam...

Ah... Namanya juga cinta. Kalo gak di tanggung ya pasti di gantung...

11 Responds