Kutukan

12:12 PM

Mungkin ini semua adalah sebuah kutukan yang akan gue tanggung seumur hidup...

Bulan pertama di musim kemarau datang, tapi langit tak pernah menunjukkan tanda-tanda ia akan segera kembali cerah. Mendung masih menggelayut setia. Seakan ia masih menyimpan jutaaan hal yang ingin ia bagikan kepada mereka yang ada di bawah sana.

Dan disilah gue, duduk di barisan ketiga dari depan ruang kuliah. Duduk di hadapan sebuah meja kayu yang penuh dengan tulisan tulisan tangan berupa catatan dari beberapa mata kuliah dan beberapa tulisan mengenai kisah cinta dalam sebait puisi. Tulisan yang sudah mulai pudar tapi masih bisa terbaca.

Duduk memandang ke arah luar, memandang ke langit yang makin lama makin muram, sembari berharap bahwa hari ini tak akan hujan. 
"Gue ingin lihat senja" bisik gue ke teman yang duduk di sebelah gue.
"Hari ini mendung bro.. Nggak akan ada matahari sampai malam" katanya yang kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja.
"Iya.. tapi nggak pernah ada salahnya kan berharap" 

Sebenarnya pemandangan di depan sana lebih menarik jika dibandingkan apa yang terlihat di luar sana. Di depan berderet lima orang teman gue sedang memaparkan tugas mereka mengenai sistem pendidikan di Indonesia. Bahasan yang terlalu berat untuk sore yang tak terlalu menyenangkan ini. 

Satu diantara lima orang itu adalah orang yang benar-benar gue kenal. Satu diantara kelimanya adalah orang yang sempat menjadi alasan gue untuk selalu hadir di setiap perkuliahan. Seorang yang sempat jadi alasan kenapa gue bisa tersenyum lagi.

"Ya. Nayla. Coba kamu jelaskan mengenai slide yang baru saja kamu jelaskan itu." Seru dosen gue yang nampak serius memperhatikan. Ketika ia memanggil nama yang familier itu seakan menyeret gue keluar dari zona lamunan dan kembali ke kenyataaan. Mendengarkan dia yang sedang menyampaikan gagasannya dalam setiap slidenya, mendengarkan suaranya, dan menantikan sebuah senyuman muncul di setiap akhir penjelasannya. 

Namun, setelah apa yang terjadi malam itu, menantikan senyumnya menghiasi bibir mungil berwarna merah mudanya itu tak lagi semarik sebelumnya.Menantikan tawanya tak semenyenangkan dulu. Mungkinkah rasa suka gue ke dia sudah mulai pudar? 
"Lo barusan ngomong apa bro?". Gue yang tanpa sengaja menggumamkan isi pikiran gue ternyata terdengar oleh teman gue yang sempat terlelap oleh alunan gerimis yang mulai datang.
"Hah? Enggak. Gue nggak ngomong apa-apa."
"Lo liatian apa sih? serius amat" sambil mengusap wajahnya teman sebangku gue ini pun lalu mengarahkan pandangannya ke arah depan. Yang kemudian langsung tertuju ke sosok perempuan yang sedang menjelaskan sesuatu, sosok perempuan yang mengenakan kemeja hijau tosca dengan rambut yang terikat kebelakang. "Hahahaha.. lo ngliatian Nayla ya?"
"Apaan? kagak. Gue lagi dengerin presentasi itu. Kasian kalo nggak didengerin kan"
"Terserah deh. Kalo gue mending mantengin Nayla. Cantik bro. Tapi sayang--"
"Sayang kenapa?" sahut gue sebelum dia menyelesaikan kalimatnya
"Sayang aja dia kemarin malah balikan sama mantannya. Ha! padahal gue udah ngantri buat bisa deket sama dia!"

Sambil kembali memandang ke arah luar, gue mengiyakan kalimat terakhir temen gue itu. Sayang dia harus kembali. 



Hujan semakin deras diluar sana dan kuliah sore itu selesai juga. Satu per satu mahasiswa berebut untuk keluar, entah apa yang akan mereka lakukan di hari yang hujan ini. Satu per satu dari mereka mulai pergi, termasuk teman sebangku gue yang entah sejak kapan sudah tak berada di tempatnya.

Gue yang tak tau mau apa setelah kecewa akan senja tak kunjung datang lebih memilih untuk tinggal sementara di kelas. Menikmati hujan. Menikmati berkah yang Tuhan turunkan. Tak terasa lamunanku semakin jauh berkelana, menikmati setiap tetes dan alunan melodi yang merdu dari tetesan hujan itu. Sampai saat sebuah bayangan itu berada di depan gue.
"Hai.." Sapa bayangan itu lirih. Perlu beberapa detik bagi gue untuk mengenal siluet perempuan yang berdiri terkena terpaan cahaya luar itu. Namun, aroma parfumnya yang sangat gue kenal menyadarkan gue bahwa itu adalah dia. "Gue perhatiin dari tadi lo murung aja yo. Lu nggak apa-apa" imbuhnya sembari menarik sebuah kursi di dekatnya.
"Ah.. elu Laa. Enggak. Gue lagi agak males aja kuliah sore sore gini"
"Lu masih marah ya soal kemarin? Maaf ya yo.. Gue nyaman temenan sama lu. Gue nggak mau ada perasaan lain dalam hubungan pertemanan kita yo."
"Enggak kok laa. Gue nggak marah sama elu." Jelas gue. "Cuma .. laa, gue nggak bisa membendung asa yang udah tumbuh ini. Gue tau banget resikonya bakalan seperti apa, tapi--"
"Tapi apa?" sahutnya
"Tapi gue nggak paham aja sama pilihan lu itu. Kenapa elu milih kembali sama dia. Kenapa elu malah milih memperjuangkan kembali hubungan elu sama dia. Gue nggak paham kenapa elu ngelakuin semua hal itu."
Kemudian tangan dinginnya mulai terulur menggapai tangan gue, lalu setelah sebuah hembusan nafas panjang, dia bilang ke gue. "Lu nggak harus paham sama pilihan gue kok yo. Elu nggak harus paham juga sama semua hal yang gue lakuin. Gue cuma pengen lu mau mendengarkan apa yang udah gue pilih"
"Gue sebenarnya udah ada feelling kalo elu malam itu bakal bilang sesuatu yang penting. Harusnya gue jujur ke elu ya yo, harusnya gue bilang semuanya ke elu sebelum malam itu. Tapi entah kenapa, gue nggak punya cukup keberanian untuk bilang hal itu ke elu yoo.." tambahnya.
"Tapi laa.. elu kan udah kenal lama sama gue. Dan beberapa bulan ini elu bisa cerita apa saja ke gue tanpa harus menutupi sesuatu, tapi kenapa--"
"Iya yo,, gue ngerti" jawabnya memotong kalimat gue. "Gue cuma nggak culup berani berkata jujur sama elu yo.. padahal elu adalah sahabat gue yang paling bisa gue andalkan. Gue nggak ngerti harus bagaimana yo"

Kemudian ada hening yang teramat panjang saat itu. Sebuah keheningan yang semakin lama semakin menyiksa. Kami saling menatap, seakan saling berlomba siapa yang terlebih dulu harus berkata-kata. Sesaat kemudian, gue merasakan suatu kehangatan, ketika ia dengan tangannya yang dingin mulai memegang erat tangan gue. Kami masih saling membisu, menikmati sebuah kesendirian bersama ini.

"Elu masih suka nulis cerpen kan yo??" tanyanya memecah keheningan tiba-tiba. "Gue suka lho baca-baca cerpen cerpen lu yang ada di blog itu. Bagus. Menurut gue, di setiap cerpen yang elu buat pasti ada hal baru yang bisa dijadiin pelajaran dalam hidup. Keren yo.."
"Iyakah?"
"Iyaa.. serius deh.. Terus ya, cerpen elu  yang paling gue inget itu cerpen yang judulnya waktu. Disitu gue tersadar sama narasi yang elu buat. Di cerpen itu elu cerita  kalau waktu itu adalah hal yang paling luar biasa di dunia. Elu cerita kalau waktu mampu mengubah apapun yang ada di dunia mulai dari watak orang, cara pikirnya, ideologinya, bahkan kebiasaan-kebiasaan seseorang."
"Tapi laa, di cerpen itu gue nggak nyebutin satu hal yang nggak akan pernah bisa diubah oleh waktu. " Potong gue sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
"Satu hal apa yo?"
"Perasaan. Sampai kapan pun atau bagaimana pun laa. Waktu nggak akan pernah mampu mengubah perasaan seseorang. Waktu boleh saja mengubah apapun selain perasaan"
"Oh, Jadi menurutmu waktu nggak akan bisa mengubah perasaan orang? Lalu yo.. apakah waktu juga nggak akan bisa merubah perasaan berlebih mu ke gue?"
"Mungkin laa..mungkin saja."

Secara mendadak Tuhan mengeraskan volume suara hujan diluar, semakin keras dan semakin keras, hingga tak terdengar sebait pun kata dari kami berdua.

 ***
Ini bukanlah kali pertama bagi gue mengalami hal seperti ini, saat dimana ada perasaan yang aneh muncul dari dalam hati. Perasaan yang selalu muncul dengan seenaknya saat gue tengah asyik-asyiknya menjalin suatu ikatan persahabatan dengan seorang teman. Dan bukan kali pertama juga bahwa setiap kali perasaan ini muncul, saat perasaan ini tak mampu lagi dipendam dalam hati, dan saat perasaan ini siap untuk diungkapkan.. mereka mulai pergi. Perlahan namun pasti.

Mereka yang pernah menjalin rasa persahabatan dengan gue, sedikit demi sedikit mulai mempercepat langkah mereka. Meninggalkan gue yang masih terlalu bodoh untuk menyadari bahwa perasaan yang muncul dari dalam hati ini telah mengubah segalanya. 

"Teman ya teman yo. Nggak boleh ada perasaan saling suka atau perasaan berlebih antara teman.", Begitu kata Nayla memecah kebisuan yang kembali hadir diantara kami di sela-sela suara hujan yang kian tak berperi kemanusiaan ini. "Elu temen gue yang paling gue sayang yo.. Tau nggak yo..ada sebuah potongan kalimat yang paling gue suka dari salah satu cerpen yang  pernah elu bikin. Sebuah potingan kalimat yang membuat gue kembali harus belajar banyak hal dari elu."
"Potongan kaliamat yang mana?"
"Potongan kalimat saat elu bilang entah ke siapa dalam salah satu cerpenmu, bahwa elu akan selalu  mengingat dia melalui sebuah nama, elu akan mengenang dia melalui sebuah cerita-cerita indah yang telah elu jalani bersamanya, dan yang terpenting yo..bahwa elu akan selalu menyayangi dia melalui sebuah persahaban. Gue sangat setuju sama kalimat terakhir mu itu yoo..Gue nggak bisa memungkiri bahwa..bahwa gue juga menyayangi elu melalui sebuah ikatan persahaban. Dan, jujur, gue nggak pernah mau ikatan ini hilang begitu aja yo. Elu tau kan, gue nggak terlalu punya banyak teman yang bisa tahan lama sama gue.."
"Dan gue juga nggak pernah punya temen kayak elu laa..."
"So.. Promise me that you will always my buddy.. Walaupun mungkin ini sulit buat elu yo, setelah kemarin gue sempet ngecewain elu."
"Ini bukan kali pertama gue ngalamin hal kayak gini laa. Mungkin, ini sudah semacam kutukan yang harus gue tanggung seumur hidup. Kutukan dimana gue akan selalu menaruh perasaan berlebih kepada setiap orang yang jadi sahabat gue. Sebuah kutukan yang mungkin tak kan pernah gue sesalkan, karena bagi gue dicintai itu memberi kita sebuah kekuatan, tapi mencintai seseorang selalu memberikan kita keberanian yang lebih untuk menghadapi rasa takut. Dan, apapun yang terjadi setelah hari ini laa.. Gue nggak akan pernah merasa takut lagi. Dan gue bisa pastiin satu hal ke elu laa. Gue akan selalu ada disini, di sampingmu, menjadi seorang sahabat yang akan selalu bisa elu andalkan kapan pun. I promise you." 
"Iya.." Katanya dengan senyum yang yang perlahan mulai terbentuk di garis bibirnya. "Yo.. " katanya lirih sembari menatap ke arah gue. Tatapan yang mengintimidasi. Tatapan itulah yang mampu membuat perasaan dalam hati tak bisa tertahan lagi. Tatapan penuh arti.
"Iya, kenapa?"
"Hari ini anterin gue pulang ya.."

Mungkin memang seharusnya seperti ini yang dilakukan sebagai seorang sahabat. Walaupun sempat ada satu titik dimana sepasang sahabat itu mempunyai perasaan lain diantara hubungan persahabatan mereka. Perasaan itu, rasa itu, dan apapun itu tak seharusnya membuat ikatan persahabatan menjadi hilang. 

4 Responds