Untuk Ramadhan

1:57 PM


Ramadhan...

Maaf telat menyapa mu tahun ini. Tak terasa sudah lebih dari separuh usia mu terlampauhi. Dan aku... rasanya masih sama saja seperti tahun-tahun lalu. Masih sering lupa dengan kewajiban karena keasyikan dengan rutinitas, tapi ketahuilah, ramadhan... Aku masih berusaha menjadi lebih baik lagi.

Ramadhan...

Kemarin aku menyempatkan lewat di jalan yang sering aku lalui dulu. Dan baru aku sadari ternyata sudah banyak hal yang berbeda di sana. Tidak ada lagi hamparan sawah hijau tempatku dulu bermain petasan sehabis sholat shubuh. Air sungainya juga sudah tak sejernih dulu saat aku dengan sengaja menceburkan diri ke dalamnya. Sekadar untuk melepas dahaga. 

Lucu bagaimana semua hal bisa dengan cepat berganti dengan hal yang baru. Menghilangkan semua kenangan yang bersemayam padanya. Hilang tergantikan hal baru, yang katanya lebih bagus dan lebih seru. Hotel, apartemen, dan kadang ada minimarket yang berjejalan di antaranya.

Ramadhan...

Aku rindu saat-saat aku berlarian di jalan itu sambil membawa petasan korek. Menyalakannya dan melemparkannya ke sungai. Bahkan aku masih ingat rasa dingin cipratan air sungainya. Aku rindu keisengan masa kecilku dulu, saat aku dengan sengaja menyembunyikan sandal imam masjid. Saat aku mengambil jatah takjil lebih banyak dari seharusnya. Saat aku harus berlari dan bersembunyi  di gereja di dekat sana karena takut dimarahi.

Ramadhan...

Waktu memang tak bisa disalahkan karena berjalan terlalu cepat. Atau lambat. Hingga tak terasa belasan tahun lamanya telah terlewat. 

Sahabat-sahabat yang dulu sering berbagi keceriaan di pinggir jalan itu, di tepian sungai di dekatnya, kini mulai beranjak pergi. Satu per satu, menghilang dalam kesibukannya sendiri. Aku tak pernah menyalahkan waktu kenapa semua itu harus terjadi. Aku juga tak menyalahkanmu, Ramadhan. Walau kau selalu datang tepat waktu, tapi kau tak pernah sama setiap waktu. Selalu ada kemisteriusan di setiap hadirmu. Mungkin itulah yang membuat orang-orang di sini sering meributkan kedatanganmu. Sering meributkan upacara penyambutanmu dengan memaksa orang-orang menutup usahanya demi menghargaimu. 

Ramadhan...

Tapi aku tahu.. Kau tak pernah memerlukan hal semacam itu. 

Ramadhan...

Sudah belasan tahun aku  pindah dari kota ini. Walaupun aku masih rutin mengunjungi jalanan itu, tapi tetap saja ada suatu yang hilang. Lonceng gereja di tepian sungai memang masih berdentang, masjid yang dulu menjadi tempatku berbagai keriuhan pun masih sama, hanya saja beberapa bagiannya mulai dipugar dan diganti catnya. 

Ramadhan...

Belasan tahun itu pula aku melewatkan mu bersama orang-orang yang seru. Beberapa dari semuanya, masih sering datang ketika aku tertidur di pagi hari. Aku memang belajar banyak hal selama belasan tahun ini. Belajar dari orang-orang yang aku cintai. Dari mereka yang juga menyayangi. 

Aku belajar bahwa walaupun sudah pernah ditinggal pergi oleh seseorang, kenangan tentangnya akan selalu ada. Bersamamu, Ramadhan. Aku belajar mengikhlaskan. 

Aku juga belajar bagaimana kita harus saling menghormati saat beberapa kali aku menghabiskan waktu berbuka puasa dengan mereka yang bahkan tak berpuasa. Itu semua karenamu, Ramadhan. Aku belajar memahami.

Ramadhan...

Tahun demi tahun telah aku lewati. Tahun demi tahun pula lah kau setia menemani. Tapi kenapa aku masih belum bisa mengenali siapa diriku sendiri. 

Aku punya jutaan pertanyaan untukmu, Ramadhan. Tentang apakah benar bahwa mencintai seseorang hanyalah sebuah untaian kecil dari rangkaian tanda tanya. Tentang apakah dia yang namanya selalu terselip di barisan doa hanya akan menjadi pemberhentian sementara. Tentang apakah aku masih bisa merasa jatuh cinta lagi setelah semua yang telah aku beri untuknya. Juga, tentang apakah aku masih selalu bisa menjadi rumah yang nyaman untuknya pulang.

Beberapa hari berselang, aku memang menghabiskan malam panjang bersama dia, Ramadhan. Walau tak berdua tapi rasanya aku bahagia bisa melihat tawa kecil terlintas di bibirnya yang berwarna merah. Melihat dia yang memainkan ponselnya seakan itu adalah sebuah microphone, lalu bernyanyi-nyanyi sendiri. Tingkahnya yang kadang lucu memang menjadi caranya membahagiakanku.  Ah.. Ramadhan.. Andai kau tau betapa cantiknya dia malam itu. Kau juga pasti akan jatuh cinta padanya.

Ramadhan...

Aku tak tahu akan kah kami selamanya bisa seperti itu. Atau kah kami akan segera mengakhiri kebahagiaan-kebahagiaan yang coba kami bangun ini.

Aku tak pernah tahu.

Yang aku tahu, aku sayang dia. Aku tak ingin dia hanya menjadi tempat pemberhentian sementara.

Ramadhan...

Satu hal yang ingin aku tahu jawabnya sekarang. Akan kah kami  bisa bertemu denganmu lagi tahun depan? Bersama-sama?

...


*inspired by Surat Untuk Ramadhan Raditya Dika

8 Responds