Aku kembali berjumpa dengan nya. Aku menghitung setiap detiknya setelah terakhir kali bertemu dengannya. Sejak aku dan dia duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari bambu yang sudah reyot dan menimbulkan suara setiap kali bangku itu harus menerima beban di atasnya.
Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah saat aku, dengan segenap keberanian yang aku kumpulkan bersama dengan setiap hembusan nafas ku, memberanikan diri, melawan semua andai, hanya untuk berucap bahwa aku sayang dia. Dengan orang yang telah membawa hal-hal baik ke dalam hidupku yang selalu statis ini.
Paras ayu nya tak banyak berubah walau telah berpisah. Hidungnya yang walau tak pernah bisa disebut mancung, hari itu terlihat sungguh menawan. Matanya, yang selalu indah dengan warna cokelatnya, selalu memancarkan sebuah keoptimisan. Dia berjalan anggun dengan sepatu hak tinggi nya ketika menuruni podium. Awan berarak pelan, angin berhembus sepoi. Seakan semesta tak ingin melihat salah satu makhluk cantik yang pernah tercipta di bumi itu merasa kepanasan.
Dia berjalan mantap kembali menuju tempat duduknya di deretan kursi belakang. Rambutnya yang hari itu sedikit dibuat bergelombang dengan hiasan bunga-bungaan, membuat waktu seakan berjalan pelan. Wajahnya yang tersapu riasan dipadukan dengan senyum yang selalu menawan adalah senjata andalannya. Tak ayal dia selalu mudah diterima dimanapun dia berada. Dia membawa selalu cinta bersamanya. Cinta yang tak malu untuk selalu ditunjuk dan dibagi.
Hari itu kami diwisuda. Sebuah puncak pencapaian dari perjalanan di sebuah lembaga pendidikan tinggi. Aku duduk di deretan tengah, tenggelam di antara ratusan mahasiswa lainnya yang sedang sibuk mengabadikan momen dengan telepon genggam yang semestinya tak boleh dibawa. Tenggelam di riuh tepuk tangan setiap kali tali yang tersemat di topi berbentuk segi lima yang kami kenakan dipindahkan. Tenggelam melihat Krisya berjalan pelan.
Aku memberinya seikat bunga Daffodil. Bunga yang melambangkan sebuah awal yang baru. Bagi dia. Bagi ku. Bagi cerita kami berdua.
Dia adalah perempuan yang dalam sekejap mampu membuat senja menjadi terasa istimewa dengan bumbu-bumbu cerita romansa. Perempuan yang mampu menghadirkan tawa saat duka sedang merajalela. Yang menghadirkan harapan saat aku lelah dan terjebak dalam segala penantian.
Dia juga adalah sosok yang mampu menjadikan sendiri menjadi begitu terasa sepi. Dia juga yang mampu menghadirkan musim hujan yang tak kunjung berkesudahan di dalam diri. Meninggalkan sebuah lubang yang menganga di sana, saat dia mulai menutup pintu pagar biru kostnya.
Dia tak berpaling lagi. Meninggalkanku sendiri berteman sepi. Sunyi. Dan angin yang berhembus sepoi.
Setahun berlalu dan aku masih sendiri. Krisya benar-benar telah meninggalkan lubang yang tak bisa ditambal oleh sembarang orang. Lubang yang benar-benar dalam dan kosong. Yang membuat ku menjadi sosok yang asing, bahkan untuk diriku sendiri.