Sundari Tak Berdoa Lagi

11:06 AM

“Coba didoain aja. Siapa tahu dengan minta bantuan-Nya, semua hal yang kamu risaukan akan menguap. Akan hilang,” katanya sembari berdiri menyender di depan pintu kamarku.

“Iyaa… kamu tahu kan. Sekarang aku tak pernah berdoa.” Jawabku sembari mencoba meraih selimut. Jam dinding berdetak pelan, sayup suara hewan malam pun mulai terdengar. Itu hampir pukul 3 pagi saat perempuan berpiyama itu mampir di depan pintu kamarku yang tak pernah terkunci.

“Kenapa?”

“Iyaa… karena selama ini semua kekhawatiranku selalu bisa aku tanggung sendiri.”

***

Aku bukannya tidak pernah berdoa. Aku bukannya tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku percaya itu semua. Sejak kecil hingga aku menembus seperempat abad ini, doa adalah hal selalu diajarkan oleh orangtuaku. Mereka selalu menasihatiku untuk berdoa sepanjang waktu, tak lelah, tak payah. 

Bapak terutama. Beliau dengan gaya bahasa metafora selalu bilang, “Doa itu ibarat kamu naik sepeda: lama. Tapi nanti, pada saatnya, kamu akan sampai juga.”

Namun, aku tak pernah lagi percaya itu semua. 

Aku tak pernah lagi percaya bahwa doa akan membawaku sampai ke lafal yang aku ucapkan. Doa, sebaliknya, malah membawa apa yang aku lafalkan pergi dan tak pernah menengok ke belakang lagi. Dan itu tidak hanya sekali. Sering kali. Semakin aku intens berdoa - dan mendoakan, semakin cepat hal yang aku doakan itu pergi. Mungkin saat aku berdoa, Tuhan sedang sibuk bercengkrama dengan rekan-Nya. Atau mungkin, Dia bosan mendengar doa-doa remeh yang selalu aku ucapkan. 

Maka, atas dasar itu, mulai saat itu, aku lebih percaya bahwa tanpa doa aku bisa mengatasi kekhawatiranku sendiri.

***

Apa yang aku rasakan ini nyatanya bukan sebuah hal yang baru. Gunawan Tri Atmodjo, seorang penulis kesukaan dia, pernah menuliskan hal yang sama dalam sebuah cerita pendek, Untuk Siapa Kau Berdoa, Ana? Cerita ini menjadi cerita pembuka dari 18 belas cerita lainnya di buku berjudul Sundari Keranjingan Puisi.



Dalam cerita Untuk Siapa Kau Berdoa, Ana? diceritakan bahwa seorang anak kecil bernama Ana yang selalu mendoakan tokoh fiksi di buku dongengnya. Ana selalu berdoa agar tokoh protagonis, seperti Cinderella dapat hidup bahagia selama-lamanya di akhir cerita. Dan, seperti sebuah keajaiban. Doa itu terkabul.

Ibunya, Marga, lalu meminta Ana untuk mendoakan juga orang-orang lain yang ada di lingkungannya: Ayahnya, nenek, kakek, dan saudara lainnya. Ana, sebagai anak baik, dia menurut, dan mulai menyelipkan doa untuk orang-orang lain itu. Namun nyatanya, setelah Ana berdoa untuk ayahnya yang bekerja sebagai tentara, Tuhan serta merta malah membawa ayahnya pulang. 

Kepergian, bukan, maksudku kematian ayahnya itu membuat Ana kemudian tidak percaya lagi pada doa. Rasanya tidak sama ketika Ana mendoakan Cinderella atau Timun Mas, misalnya. Kenapa orang yang begitu nyata ada untuk Ana, ketika ia doakan malah menjadi orang yang kemudian pergi dan tidak kembali lagi?

Atas dasar itu, Ana tidak pernah berdoa lagi. And everything is just fine. Ana, sama sepertiku, belajar mengatasi kekhawatiran dengan upaya nyata, bukan lagi berharap kepada yang belum tentu ada.

Oleh Gunawan, cerita Ana ini ditampilkan dengan begitu sederhana namun terasa begitu nyata. Ditulis tanpa ada kata-kata mutakhir, kata-kata ajaib, yang seolah-olah ingin melebih-lebihkan cerita. 

Dari 18 cerita pendek, empat di antaranya berpusat pada premis kematian. Gunawan banyak melakukan eksperimen dengan premis ini. Pada cerita 9 Koi, Gunawan mengangkat cerita penulis yang mujur karena punya 9 koi. Lalu ketika 9 koi itu mati, si penulis merasakan sakit hati yang teramat sangat. Sedangkan pada cerita Kapulaga dan Para Pengudap Rasa, Gunawan dengan apik membawakan premis bahwa seorang bisa mati dengan cara dan waktu yang ia tentukan sendiri. Selain cerita soal Ana, cerita Kapulaga ini adalah cerita kesukaanku. Kamu harus baca buku ini suatu waktu.



Pada cerita-cerita lainnya, Gunawan juga mengangkat premis lain misalnya tentang keberuntungan dan kemalangan. Seperti di dalam Penjual Kantuk, di mana ada seorang karyawan yang dipecat oleh perusahaannya karena selalu ngantuk malah bisa membeli perusahaan itu suatu waktu karena ia berjualan obat kantuk. 

Perihal cinta, Gunawan rasanya juga tak absen untuk bereksperimen. Lewat Sundari Keranjingan Puisi, ia menyuguhkan cerita tentang hati yang tergembok yang kembali menemukan anak kuncinya lewat puisi. Pada cerita Linda dan Lukman, penulis membubuhkan pandangan bahwa “ini bukan cinta kalau kamu hanya bertemu di sosial media saja”. 

Semua cerita yang ditulis Gunawan Tri Atmojo dalam cerita ini membuatku mengoreksi lagi semua pemahaman yang aku dapati selama ini. Tentang doa, cinta, keberuntungan dan kemalangan, tentang apapun. 

Di buku ini, Gunawan seakan mengajak pembacanya untuk mencandai keyakinan dengan sangat serius.

Iyaa... Bukunya cuma minjem




Judul Buku: Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-cerita Lainnya
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN: 978-979-1260-47-3
Tebal: 132 halaman

0 Responds