Yang Bertahan dan (Tak) Binasa

9:43 PM

“Most days of the year are unremarkable. They begin and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of life...”

JIKA aku bisa mencetak sebuah dokumen dari gaduhnya isi otakku, maka sekalimat yang dibacakan oleh narrator di akhir film 500 Days of Summer itulah yang akan kamu jumpai. 

Usiaku kini menginjak 26 tahun. Usia di mana orang seusiaku sudah banyak yang memilih untuk tinggal sendiri, memilih memantapkan pilihan dengan menikahi anak orang, atau berlomba untuk menjadi sosok abdi di negara ini. Aku tidak masuk dalam tiga kategori yang aku buat sendiri. Aku bahkan tidak tahu ada di kategori apa hidup yang aku jalani saat ini.

Aku tidak menyebut bahwa aku tidak bahagia. Aku tidak pula mengatakan bahwa aku iri melihat orang lainnya. Aku hanya merasa bahwa ada sesuatu yang hampa. Ada sesuatu yang hilang atau sengaja terlewat begitu saja. Dan aku tidak tahu apa. 

Otakku yang kian gaduh lalu menelusur ke belakang. Menyusuri jalan ingatan yang pekat seperti jelaga. Aku ingin tahu apakah memang ada hal yang sengaja terlewat. Atau bahkan ada sesuatu yang hilang. 

Dan kamu tahu apa yang aku temui seiring perjalananku itu? Setumpuk kegagalan. Walau memang aku akui bahwa dalam kurun 3-4 tahun terakhir aku bertemu banyak orang baru, membangun jejaring yang lebih besar, jatuh cinta dan kemudian dilupakan begitu saja, tetap saja hal itu tidak membekas apa-apa. 

Otakku kembali riuh. Hatiku selalu menuntut untuk percaya bahwa di antara banyak hal yang sudah terjadi dalam hidupku pasti ada hal yang istimewa. Tapi apa? Selain banyak kegagalan dan kegagalan, tidak ada hal yang benar-benar aku ingat selain luka. 

Aku pernah bahagia, ku rasa...



Mungkin itu saat aku menjadi bagian kecil dari mereka. Orang-orang yang kemudian aku sebut sebagai keluarga. Berlebihan ku rasa, namun bukankah sahabat itu adalah keluarga yang bisa kamu pilih sendiri? Dan aku rasa pilihan itu jatuh ke mereka. Enam orang manusia yang kadang tak tahu malu. Enam orang manusia yang kadang tak tahu malu yang dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah tim media dan publikasi. Enam orang manusia yang kadang tak tahu malu yang dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah tim media dan publikasi yang lebih banyak bercanda haha-hihi saat bekerja. 

Akan ku ceritakan tentang keenam orang ini...

Kita mulai dari orang yang berada di ujung kiri. Orang yang paling tua dalam tim ini. Orang yang selalu mengaku paling gaptek; tidak bisa foto, tidak bisa ambil dan edit video, tidak bisa bikin cerita maupun tulisan lainnya. Namun dia juga lah orang yang berhasil mengumpulkan kami. Orang yang sok bisa foto, sok bisa ambil dan edit video, dan yang sok bisa bikin cerita dan tulisan lainnya.

Dialah koordinator tim media dan publikasi ini. Dia juga yang bertanggung jawab jika ada foto, video, dan tulisan dari kami yang tak mengenakkan hati. Berpengalaman dalam banyak acara semasa kuliahnya, dengan fasih dia membagi tugas kepada kami berlima sesuai dengan potensi yang bahkan kami berlima sendiri tak pernah yakin miliki. 

Duduk di sampingnya adalah orang dengan suara paling merdu di antara kami. Juga orang yang paling jarang muncul ketika tim ini sedang bertugas mendokumentasikan sesuatu. Untungnya, tugasnya sebagai pembawa baki bisa digantikan oleh siapa saja. 

Jika ingin ngobrol dengannya, kamu harus punya ekstra kesabaran lebih. Karena mungkin kamu butuh lebih dari tiga kali mengulang penjelasan yang sama ketika berbicara dengannya. Walaupun tidak selucu orang pertama yang aku jelaskan, gadis ini selalu mampu selalu bisa memancing tawa ketika kami berkumpul bersama.

Manusia di tengah itu adalah aku. Tidak banyak hal baik yang bisa aku bagikan. Bahkan di tim ini, aku harus berjuang ekstra keras untuk bisa menyusul kemampuan anggota tim yang lain. Oleh orang pertama, aku diposisikan sebagai seorang penulis bersama satu orang lainnya di tim ini. 

Aku tidak tahu apa yang orang pertama lihat dariku. Bahwa aku suka menulis:iya. Bahwa aku senang berada di tim di mana aku mengerjakan apa yang aku sukai: iya. Tapi tahu mengapa, di antara ratusan bahkan entah berapa orang yang kenal si orang pertama dan lebih jago nulis pilihannya jatuh pada diriku: aku tak begitu yakin. 

Mungkin keyakinannya itulah yang mengantarkanku sampai di titik ini. Bekerja sebagai copywriter di sebuah agensi. Dan menjadi bagian dari diriku yang selalu aku coba syukuri.

Orang keempat ada lelaki berkaos biru. Sejujurnya aku sedikit susah menggambarkan tentang manusia yang kulitnya seperti jelaga ini. Hidupnya seperti seorang anak kecil yang baru kali pertama datang ke pasar malam. Ada kalanya anak kecil itu suka naik roller coaster, ada kalanya suka naik komidi putar, dan ada kalanya hanya ingin diam sembari makan permen kapas. Begitulah dia. Yang pada awal aku kenal adalah seorang mahasiswa dari jurusan teknik yang menyebrang ke bahasa. Yang kemudian belajar stand up comedy lalu hilang di tengah jalan. Muncul kembali dengan kegiatan barunya berjualan kopi dingin dalam botol. 

Hidupnya adalah sebuah kegiatan eksperimental.

Mungkin itulah yang membuat si orang pertama menempatkan dia di bagian ambil dan edit video. Walau dia juga pernah ditempatkan di bagian foto dan hasilnya tak begitu bagus (baca: blur).

Jika kamu penggemar film-film produksi Pixar, maka kamu pasti tidak asing dengan orang kelima dari foto di atas. Rambut poni, kacamata, dan yah, kamu pasti bisa menerka soal postur tubuhnya yang kecil. Dan yah, kamu benar. Dia memang mirip Edna, sosok desainer baju superhero yang muncul dalam The Incredible. 

Namun kamu jangan salah kira. Walau dengan posturnya itu, dia adalah satu-satunya orang di tim ini yang juga merupakan anggota MaPaLa di kampus kami. Aku lupa bertanya sudah berapa gunung yang ia daki, atau berapa lembah yang terlewati. 

Sosoknya adalah orang yang tidak mudah menyembunyikan tawa ketika berbicara. Kritis sebagaimana semestinya anak kampus kami. Dan satu-satunya orang di tim kami yang pernah ikut pelatihan pembuatan film dokumenter secara profesional. Hal yang kemudian membuatnya banyak membantu orang keempat dalam gambar itu.

Lalu tentang orang terakhir dalam foto itu sebenarnya sudah banyak aku ceritakan. Lewat sebuah alternate ego, aku menggambarkannya dengan sosok yang istimewa.

Orang keenam ini adalah sosok perempuan paradoksal. Jika kamu lihat garis matanya tentu kamu bisa langsung tahu dia orang apa. Alih-alih suka dipanggil dengan sapaan yang biasa digunakan untuk menyebut orang dengan garis mata seperti itu, dia malah lebih nyaman dipanggil dengan kata “nduk” (panggilan untuk anak perempuan di Jawa). Dia pula yang sangat keukeuh mengaku bahwa dirinya adalah sosok pendiam dan pemalu, namun adalah orang yang memiliki stok cerita paling banyak nomor dua.

Dia diposisikan sama sepertiku. Berjibaku dengan kata dan tanda baca. Dia adalah satu-satunya orang di tim ini yang belum bisa naik sepeda maupun motor, tapi adalah orang yang memiliki ketepatan waktu paling tinggi. Seingatku, jarang di sebuah acara yang kami komandani, dia datang terlambat walau rumahnya memiliki jarak yang cukup membuat pantat kram jika ditempuh dengan berjalan pelan.



TIM Media dan Publikasi ini memang sudah berganti nama menjadi Tim Publikasi. Dan seperti selayaknya sebuah organisasi lainnya, anggotanya pun kini sudah beregenerasi. Satu per satu dari keenam orang itu pun pergi dan hanya beberapa yang masih bertahan.

Selain aku, hanya orang pertama yang masih setia mengumpulkan talenta-talenta lain untuk dijadikan tim publikasi yang kini entah sudah masuk angkatan berapa. Orang kedua sudah menyebrang ke negeri jiran untuk mengajar. Orang keempat pulang kandang, menolak menjadi guru dan memilih bekerja sesuai dengan apa yang ia cintai: penyeduh kopi. Di tempat asalnya dia bahkan sudah punya rumah kopinya sendiri. Si Edna pun mulai bulan ini berpindah ke Surabaya, menjalani sebuah pekerjaan sebagaimana lulusan universitas lainnya. Perempuan paling ujung, memilih untuk melanjutkan pendidikannya di luar Jogja. 

Semua bagian dari tim ini berjuang memenuhi dan mengejar kebahagiaannya sendiri-sendiri. Semua sedang berusaha menuliskan kenangannya sendiri. Walau aku tahu bahwa banyak hal di diriku yang berjalan begitu saja, aku percaya bahwa tetap ada satu hal yang bertahan dan tak binasa.


Hal yang kemudian aku sebut dengan: kenangan

0 Responds