Semicolon

5:59 PM

‘/semē.kōlən/ a punctuation mark (;) indicating a pause, typicallly between two main clauses, that is more pronounced than that indicated by a comma. 

Satu hal yang selalu aku yakini sampai hari ini adalah bahwa dalam perjalanan yang kita lakukan selalu akan ada hal kecil yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari yang akan mengingatkan kita terhadap sebuah cerita yang pernah ada dan tak akan terulang untuk kali kedua.

Dan hal itu adalah hal yang akan aku ceritakan kepadamu. 

Cerita bermula dari tawaran seorang barista di sebuah rumah kopi yang selalu menjadi rujukkanku dalam menghabiskan waktu. Sama seperti selalu senantiasa yang aku lakukan ketika ada di rumah kopi ini, aku hanya diam dan memperhatikan. Mataku lekat pada sosok dua barista yang duduk berbagi meja denganku. Satu barista sedang sibuk menggambari tangan barista yang lain.

Itu hanya sebuah garis lengkung dengan beberapa bulatan di kanan dan kirinya. Yang tak sampai sepuluh menit kemudian, apa yang awalnya hanya garis dan lengkungan itu menjelma menjadi sebuah ornamen mirip bentuk AS Sekop lengkap dengan hiasan daun menyelimutinya. Gambar itu melingkar dengan apik dari bagian tangan luar ke bagian dalam. Dengan warna hitam yang begitu kontras dengan si empunya tangan. Walau gambar itu hanya bisa bertahan dalam kurun waktu 7-10 hari, nyatanya hal itu tidak menyurutkan senyum bahagia yang muncul tanpa ingin segera sirna.

Suasana di rumah kopi hari itu memang sedang tidak terlalu ramai. Itulah yang membuatku merasa begitu nyaman melamun di sana. Untuk mengisi kekosongan, biasanya para baristanya akan berkumpul di satu meja berbagi apa saja yang bisa mereka bagi bersama: rokok, korek api, kadang cangkir-cangkir berisi cappucino, dan bahkan jajanan yang berkomposisikan micin yang serba berlebihan. Apa saja.

Aku tidak tahu pastinya. Namun, rasanya kepemilikan bersama adalah satu-satunya hal yang bisa memperkuat keberadaan kita di tengah keasingan dunia. 

“Mas, mau digambari juga?”, seorang barista kemudian membuyarkan lamunan.
“Ng.. Kalau enggak keberatan sih boleh”, jawabku.

Setelah memastikan bahwa hena – alat yang ia pakai untuk menggambar masih ada isinya, ia menarik tangan kiriku. Membaliknya dan mengusapkan tissue yang sudah dibasahi air ke dekat pergelangan tanganku.

“Mau digambari apa, mas?” tanyanya.
“Semi-colon.”



Bersamaan ketika aku selesai mengucap gambar permintaanku, lewat kedua bola mata barista di depanku, ingatanku terisap jauh ke belakang, masuk ke pusaran masa silam. Ah, kenangan, dari apa kau terangkai?

Aku seperti sedang melayang-layang di dalam sebuah cerobong berwarna pelangi. Spektrum warnanya berganti dengan cepat tiap kali aku mengedipkan mata. Dari dinding-dinding cerobong itu ada banyak bayangan hal yang sudah aku lewati dalam beberapa menit, jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun sebelumnya. Semakin aku jatuh terisap ke dalam cerobong itu, semakin lawas bayangan yang aku saksikan.

Hingga kemudian, ujung cerobong itu terlihat. Hanya berbentuk sebuah bulatan yang perlahan menjadi semakin terang dan terang. Terang yang membutakan mata. Untuk beberapa detik berikutnya, mataku masih mencoba membiasakan diri sampai dua bayangan muncul dengan sangat perlahan. Buram. Awalnya sangat buram tetapi lambat laun terasa semakin jelas. 

Bayangan itu kemudian membentuk dua sosok manusia, satu pria dan satunya wanita. Itu saat mataku benar-benar sudah mampu beradaptasi dengan kondisi sekitar. Begitu sadar, ternyata aku berada di sebuah ruangan yang sangat aku kenal. Sebuah kamar. Sebuah kamar yang pernah sangat akrab denganku. Sebuah kamar yang di satu sisi dindingnya berwana madu dengan hiasan beberapa rak buku. Di sisi yang lain, tepat di sisi yang ada meja belajar, lampu belajar yang masih menyala, beberapa tumpukan buku yang tidak rapih, dindingnya berwarna putih. Mataku masih berkeliling menikmati sajian yang tidak asing ini. Boneka. Karpet. Keset. Sandal kamar. Tas punggung. Beberapa buku. Semua tidak begitu asing dan mengherankan sampai mataku tertuju pada dua bayangan yang terlihat sedang asyik bercengkerama. 

Dua sosok itu sedang berbaring di sebuah ranjang. Seorang perempuan yang berambut panjang yang mulai menipis sedang memegang sebuah drawing pen dan membuat sebuah gambar di lengan seorang laki-laki berseragam OSIS putih dengan celana abu-abu yang berada di sampingnya. 

Aku kenal dengan perempuan itu dan tidak asing dengan sosok lelaki di sampingnya. Apa yang dilakukan keduanya mirip yang terjadi padaku sekitar sepuluh tahun yang lalu.


Itu adalah hari yang aku isi dengan cara-cara yang biasa; datang sekolah 5 menit sebelum gerbang ditutup; sedikit berlama-lama di parkiran; berjalan ke kelas dengan begitu sangat malas seakan ada seekor gajah bunting menggelayuti; dan mendengarkan pelajaran dengan ala kadarnya. Hari itu, Nita, pacarku, memintaku untuk datang ke rumahnya selepas aku selesai sekolah. Yang artinya, tidak akan ada cerita menarik di sekolah. Yang artinya juga, aslinya aku lebih memilih bolos saja dan langsung pergi ke rumah Nita. Tapi kamu tahu, seorang perempuan di masa SMA tidak akan pernah membiarkan pacarnya bolos sendirian, kan? Dan lagi, kalau ketahuan bolos kelas, Nita bisa-bisa menelanku bulat-bulat seperti yang dia lakukan sebulan lalu ketika aku ketahuan bolos kelas sejarah tiga kali berturut-turut. Sebenarnya, walaupun bolos, aku tetap berada di lingkungan sekolah. Aku tidak kelayapan ke luar sekolah seperti anak badung lainnya. Malah, bolosku sangat berfaedah: ke masjid sekolah. Bolosku juga aku isi dengan hal yang bermanfaat. Lagi-lagi tidak sama seperti anak badung lainnya yang memilih merokok di WC sekolah atau pergi ke rental PS atau hal-hal kontraproduktif lainnya. Di masjid sekolah, setelah menyembunyikan sepatu di tempat aman, aku memilih posisi yang paling sepi. Di sana waktu bolosku aku isi dengan membaca sebuah novel yang sudah hampir 4 bulan tak ku kembalikan ke perpustakaan. Alasannya sederhana, aku suka bukunya dan ingin memilikinya, tapi mengumpulkan setahun uang jajanku pun tak akan sanggup membeli buku itu. Tai betul lah.

Jelang tengah hari, seusai pelajaran selesai, aku bergegas menuju ke rumahnya. Jaraknya cukup lumayan, kurang lebih setengah jam naik motor dengan kecepatan sedang. Aku tidak berani menggeber motorku terlalu kencang. Terakhir aku melakukannya, motor butut itu meriang dan akibatnya aku harus bersepeda ke sekolah. Sial betul. Begitu sampai di rumahnya, aku disambut dengan begitu hangat oleh Tante Silvi, mamanya Nita. Beliau berkata bahwa sudah ditunggu di atas sambil menujuk lokasi kamar Nita. Aku pun pamit dan bergegas menuju ke kamarnya.

“Masuk”, kata sosok perempuan di dalam kamar begitu aku mengetuk pintunya.

Begitu pintu terbuka, aku disambutnya dengan sebuah senyum yang begitu terlihat dipaksakan untuk ada. Sangat tidak cocok dengan matanya yang sangat layu. Dan sangat tidak seperti sosoknya yang biasa. Asal kamu tahu, sosok Nita adalah sosok yang begitu sangat jatmika dengan paras yang begitu ayu nan menawan. Bahkan saking ayu nya, parasnya bisa membuat bunga-bunga paling indah yang sedang mekar di taman menguncup kembali. Suaranya, begitu dia berkata-kata, Beh! Burung-burung bersuara paling memikat hati memilih untuk menyembunyikan diri karena malu. Begitulah sosok Nita sebelum ia sakit.

Nita mulai terlihat layu setahun belakangan ketika dokter mevonisnya mengidap kanker darah stadium akhir, setengah tahun silam.  Padahal, pada awalnya tidak ada tanda-tanda penyakit jahanam ini ada dalam dirinya. Dia selalu terlihat cerita, terlihat sebagai sosok paling bahagia sedunia. Hingga, tiba suatu hari saat pelajaran olahraga dia mendadak pingsan. Dari hidungnya terus mengucurkan darah tiada hentinya. Setelahnya, kamu tahu. Dokter semena-mena memvonisnya dengan penyakit terkutuk yang tidak hanya menggerogoti tubuh fisik tetapi juga psikisnya. Tai lah, dokter itu.

Walaupun ketika aku berada di sampingnya, dia selalu berusaha berlaku biasa, aku tahu bahwa dia sedang begitu sangat menderita. Hanya, dia tidak mau orang lain yang dia sayangi ikut merasakan beban yang dia tanggung. Begitu tulisnya di surat terakhirnya yang diberikan kepadaku lewat kedua orangtuanya.

Hari itu setelah mencium ujung kepalanya dan mengelus kedua pundaknya, aku bertanya bagaimana proses kemoterapi yang ia jalani. Ia tidak membalasnya, hanya menunjukkan beberapa helai rambutnya yang mulai rontok yang terangkut pada sisirnya. 

“Kayaknya bentar lagi aku akan jadi botak deh, kayak pak guru BP kita”
“Tapi kamu akan tetap jadi lebih cantik dari guru BP kita.”
“Gak usah gombal deh!” katanya yang kemudian diiringi dengan tawa.

Tawa. Iya begitulah dia selalu menjalani harinya. Alih-alih mengutuki segala hal yang menimpanya, dia malah menerimanya dengan sukacita. Terjadilah padaku seturut kehendakMu, begitu katanya selalu. Dan seperti selalu senantiasa yang diajarkan padanya, bahwa semua hal yang terjadi memiliki alasannya sendiri. 

Dia kemudian berjalan sedikit terhuyung menuju ke ranjangnya. Jalannya yang sedikit buyuten mirip seperti orang yang sedang terkena radang sendi, tapi aku tahu bahwa sebenarnya dia sedang menahan rasa pusing yang tak terperi. 

Sesampainya dia di ranjang dan menata bantal yang ia jadikan bantalan, dia memintaku mengambil drawing pen yang dia letakkan di meja belajarnya. Dia lalu menunjukkan bagian dalam jari telunjuk tangan kirinya. Aku mendekat, paham dengan apa yang dia inginkan.


Kalau kamu adalah seorang penggemar film festival, tentu kamu tidak akan asing dengan film berjudul CIN(T)A, yang tayang pada tahun 2009. Film yang menceritakan sepasang kekasih beda agama yang gagal memperjuangkan cinta mereka hanya karena hidup di Indonesia. Bodoh. Setidaknya itu adalah komentar pertama yang muncul dari bibir manis Nita selepas kami menontonnya. 

Tapi bukan bagaimana cerita cinta yang gagal itu yang membuat kami terkesan. Ada hal lain. Hal lain itu adalah bahwa ketika Cina dan Anisa bersama, mereka tak pernah absen untuk menggambari jari telunjuk masing-masing dengan sebuah gambar wajah tersenyum. Seakan seberat apa pun beban yang ada di dunia, seberapa besar penderitaan di dunia, semua akan sirna ketika kita melihat senyum orang yang kita cintai. Senyum yang selalu diukir bersama di jari-jari yang selalu menggenggam bersama. Begitu juga komentar Nita setelah menunjukkan ketidaksukaan pada premis utama film ini.

diambil dari IG milik Diah

Hal yang kemudian menjadi kebiasaan kami: menggambari jari kami masing-masing. Kadang kala tidak hanya sebuah gambar wajah tersenyum yang aku gambar di tangannya. Pernah suatu waktu, aku berimprovisasi dengan menggambar sebuah bintang di pergelangan tangannya. Saking tingginya aku berimprovisasi, gambar itu aku buat dengan sebuah spidol permanen yang baru hilang sekitar dua minggu setelahnya. Alih-alih marah, dia malah menyukainya. Malah berujar setelah lulus sekolah nanti dia minta diantarkan ke tukang tatoo untuk mengabadikan gambar bintang di tangannya itu.

Hari itu, tangannya sibuk menari di pergelangan tangan kiriku seraya bercerita tentang harinya yang begitu berselimut mendung. Aku, seperti yang ia minta, berbaring di sampingnya, mengelus pelan kepalanya. 

“Sudah.” Katanya kemudian.
Aku kemudian menarik tanganku dan melihat hasil karyanya di pergelangan tangan kiriku.
“titik koma?” tanyaku.
“Itu namanya semi-colon” jawabnya sambil turun dari ranjang menuju ke tumpukan sebuah kamus. 

Semi-colon is a punctuation mark (;) indicating a pause, typicallly between two main clauses, that is more pronounced than that indicated by a comma. Dia membacakan definisi yang ada dalam kamus yang ia buka. Perlahan dia mulai mendekat ke arahku. Duduk di depanku dan menggamit tangan kiriku. Dia menggenggam erat jari-jariku. Dan berkata bahwa semi-colon baginya bukan hanya sekadar tanda baca yang menghubungkan antara dua klausa saja.

“Semi-colon juga berarti bahwa masih ada tulisan yang harus kamu tulis dan masih ada hidup yang harus kamu teruskan,” ucapnya lirih.

Perutku seakan mendidih mendengar dia berkata demikian. Aku ingin sekali menyanggahnya semua perkataannya dengan bilang bahwa dia akan baik-baik saja. Namun, teduh dan kecantikkan yang ia pancarkan walau dalam keadaan yang sedemikian miris tetap mampu menekanku. 

“Mungkin ini lanturan orang sakit, atau bisa juga adalah petunjuk langit. Tapi, kamu harus janji padaku bahwa setelah tidak lagi bersamaku, kamu tetap akan menulis. Kamu tetap harus hidup.”
“Kamu enggak boleh bilang begitu,” balasku dengan menahan jutaan air mata yang ingin membludak. 
“Kalau aku diberi kesembuhan,  tentu aku akan sangat, sangat bersyukur. Tapi bukan anak kecil yang tidak tahu seberapa parahnya sakitku ini.” Tubuhnya kemudian merebah ke arahku yang lalu aku sambut dengan sebuah pelukkan hangat. “Terima kasih ya sudah mau menerimaku. Menjadikanku teman seperjalananmu. Temani aku sampai aku tidur, ya?”

Aslinya, mendengar ia berkata demikian, aku ingin membantahnya. Aku kerap membatah keinginannya yang suka aneh-aneh, walau pada akhirnya kami tetap melakukan semua keinginan aneh yang ia minta. Iyaa mau bagaimana lagi, dari dulu aku selalu lemah pada perempuan yang aku sayang.


“Gini doang, mas?” ucap barista itu menarikku dengan cepat kembali ke rumah kopi. Perlahan, wajah Nita masih tercetak persis di wajah barista yang ada di depanku. Setidaknya butuh waktu beberapa detik agar cetakkan bayangan Nita hilang sempurna dan berganti dengan wajah si barista.
“Iyaa, gini aja.”
“Memang kenapa sih mas harus gambar titik koma?” 
“Karena titik koma ini punya arti penting untukku.”
“Apa?”
“Hal itu yang akan aku ceritakan kepadamu...”

......

0 Responds