Cinta Itu Tak Pernah Terlalu Jauh

4:09 PM



Gambar di atas diambil dua tahun lalu. Tepat di hingar perayaan hari kasih sayang, aku bersama beberapa manusia yang bisa kamu lihat wajahnya ada di sana menepi untuk menyusun sebuah rencana.

Kami tergabung dalam sebuah komunitas pendampingan warga miskin dan terpinggirkan di Jogja. Kami membuat rencana untuk bagaimana membagi kasih yang kami punya kepada anak-anak dari warga miskin itu. Namun, bukan itu yang ingin aku ceritakan kepadamu.

Ini soal cinta.

Sebagaimana yang kamu tahu, hari itu aku juga sebenarnya merasakan bahwa rasa sayang yang aku punya sedang tumbuh dan lucu-lucunya. Lihatlah pada sosok perempuan yang sedang membuka mulutnya lebar-lebar. Cantikkan?

Iyaa. Dialah perempuan yang aku suka. Perempuan yang membuat hatiku tertambat pada tidak hanya pada cantik yang ada padanya. Tapi pada tutur, polah, perilakunya.

Aku begitu gembira ketika ternyata perempuan itu tidak menunjukkan tanda-tanda penolakkannya. Tapi di hidup kamu tahu, kegembiraan selalu datang bersama keruwetan.

Berbulan-bulan setelah gambar ini diambil, aku menyatakan bahwa aku punya rasa yang lebih kepadanya. Namun, ternyata dia tidak demikian. Bahwa yang ia tunjukkan kepadaku tak lebih karena aku hanya teman dan harus tetap berada di zona itu. Iya, singkat kata dia tidak bisa memenuhi permintaanku untuk menjadikannya ratu di hatiku.

Aku berantakan mendengar jawaban itu. Aku kacau. Atau lebih tepatnya patah hati. 

Berberapa pekan setelahnya, perangai perempuan itu sempat berubah dan itu sangat menambah kegusaran hatiku. Sebegitukah cinta yang kuupayakan melukainya? 

Pikiranku kalut. Aku tak pernah lagi percaya bahwa cinta selalu membawa luka. Aku tak pernah mau percaya lagi bahwa mencintai adalah sebenar-benarnya hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan.

Dan selama satu setengah tahun lamanya aku menabung keyakinan ini.

Maret tahun lalu, keyakinan ini mulai terbantahkan. Coba lihat perempuan berkacamata dengan rambut bergelombang yang berdiri di sampingku. Perempuan ini awalnya penasaran bagaimana aku dan si perempuan dengan mulut terbuka lebar yang dikenal sangat dekat denganku berubah menjadi sedemikian abu-abu.

Kepadanya tanpa ada intensi apa-apa aku ceritakan dan tentunya dalam versiku karena sampai saat ini pun aku tak pernah tanya kenapa atau mengapa si perempuan dengan mulut terbuka itu berlaku demikian.

Tak kusangka, dari cerita itu aku dan perempuan berambut ombak malah semakin sering bertemu. Pertemuan demi pertemuan ini kemudian membuatku semakin nyaman berbagi cerita bersamanya. Dan ia pun demikian, setidaknya itulah yang aku rasa. 

Aku tak ingin menabung curiga pada langit yang mengatur pertemuan kami.

Pada kemudian, pertemuan-pertemuan semakin sering terjadi dan seiringnya tumbuh rasa suka kepadanya. Aku tahu bahwa dari sekilas memang perempuan berambuk ombak itu sangat menarik, tapi bukan itu yang membuatku jatuh hati kepadanya. 

Aku jatuh hati kepadanya karena ada banyak sekali sifat kami yang sama. There is so much me in her.

Namun, lagi-lagi kegembiraan selalu mendatangkan keruwetan.

Sehari sebelum aku menginjak usia yang baru dan setelah lebh dari 10 bulan dia menjadi satu-satunya tujuan kebahagianku, aku mengatakan bahwa aku ingin untuk terus bisa sama dia.

Tapi apa yang aku dapat. Sebuah penolakan. Dia menghindari bertemu denganku karena merasa tidak pernah nyaman bertemu denganku. Anehnya, dia mengaku itu kepada temannya. Tapi tak pernah mengaku di depanku. Padahal, jika dari awal dia berkata demikian, aku punya kendali untuk segera mematikan perasaan yang masih janin itu. Tapi tidak demikian, dia mungkin sengaja membiarkan janin rasa itu tumbuh dan mendewasa lalu mematikan asa nya.

Kini aku tak tahu lagi apa bahagia itu. apa cinta itu. Atau sekadar apakah benar cinta itu tak pernah terlalu jauh dari kita.



Tai lah!

0 Responds