Aruna dan Seribu Bulan

10:11 AM

AKU pernah mendengar sebuah kisah tentang sebuah malam di mana berkah turun dengan sangat tercurah. Kisah yang secara turun-temurun dirawat dan dibagikan tanpa kenal kata lelah. Kisah yang hanya muncul di tiap bulan yang punya ampunan yang berlimpah.

Konon, di malam yang indah itu semua malaikat di surga turun ke dunia. Bahkan, saking indahnya, Tuhan sendiri juga merentangkan tanganNya untuk memeluk setiap pribadi yang memiliki keluh dan resah. Tuhan datang mendengarkan setiap lara, juga setiap pengharapan yang dipanjatkan dengan begitu khidmat dan saksama. Tuhan dengan disaksikan para malaikatnya berjanji bahwa barangsiapa bersungguh-sungguh bermunajat di malam yang berlimpah rahmat, Ia akan memeluk doa itu, mengabulkannya, dan memberikan banyak hal yang tak pernah disangka.

Namun, tak ada satu manusia pun yang tahu kapan malam itu tiba. Ada yang berkata bahwa ia datang di malam-malam ganjil. Ada yang bilang di malam-malam terakhir. Semua serba berspekulasi. Mirip para pedagang di pasar saat menjelang hari raya tiba.

Satu hal yang jelas. Tuhan beserta malaikatnya tak pernah bilang kapan malam itu tiba. Lewat seorang manusia perantaraNya, Tuhan menitip pesan. Bahwa Ia akan datang pada malam dengan bulan yang gilang-gemilang. Pada malam dengan bintang bertaburan layaknya meses ceres pada donat yang kamu makan saat berbuka. Malam yang juga ditandai dengan udara yang bertiup dingin, memaksamu merapatkan pelukkan nyaman selimut di kasurmu. Malam di mana banyak orang tergesa-gesa dengan pelbagai urusan dunia.

Ada seorang yang kemudian bertanya, "Kenapa Tuhan memilih malam yang demikian?"
Si perantara hanya bisa mengangkat bahu menujukkan keterbatasan ilmu. Mungkin Tuhan ingin tahu, barangsiapa yang bersungguh dengan ibadahnya dan barangsiapa yang berpura-pura menginginkan ampunanNya.



DI KAMPUNGKU, cerita sedemikian rupa pasti jamak dibagikan saat bulan suci tiba. Selama tujuh menit saat pagi dan menjelang malam hari, kami semua, para remaja kampung ini, terbiasa duduk berjajar rapih di saf terdepan demi mendengarkan tentang agungnya malam teristimewa ini. 

Kami semua, terkecuali Aruna. Dia lebih memilih duduk di selasar masjid menatapi bulan bulat dengan begitu khidmat. Aruna hanya punya sebuah cita-cita: memergoki malaikat yang malang yang turun ke dunia tanpa ada kata waspada. 

Saat kali pertama mendengarkan cita-cita Aruna itu kami menertawainya, tentu. Tapi ini sudah ramadan ke 8, dan artinya sudah delapan tahun Aruna berusaha menemukan malaikat yang tak waspada itu. 

Di tahun-tahun awal, kami merasa kasihan dengan polah Aruna. Kami bersekongkol untuk kembali mengajaknya ke jalan yang kami anggap benar. Mengajaknya kembali mengaji, salat tepat waktu, mendengar ceramah, dan sesekali boleh lah menghabiskan malam bersama beberapa botol orang tua. Namun, upaya kami tak lebih dari penolakan semata. Tekadnya sudah bulat, mungkin sebulat payudara salah satu biduan di plesiran tak jauh dari masjid kampung kami berada. 

Perlu kamu tahu lebih dulu, kampung kami adalah kampung tempat tinggal beberapa biduan plesiran ternama di pinggiran Jogja. Walau begitu tidak semua lelaki di sini hidung belang begitu juga tidak semua wanita di sini adalah berpekerjaan sebagai penjaja organ genital. Tapi kamu boleh lah menyebut kampung kami sebagai kampung penjaja tubuh manusia, karena memang begitu adanya. Banyak lelaki di kampungku yang mendapatkan upah dari hasil menggunakan tubuhnya untuk bekerja di bangunan. Sedang para wanitanya juga banyak yang bekerja di pabrik yang juga mendapat uang dari mempekerjakan tubuh mereka untuk menghasilkan banyak barang. Dan, seperti yang sudah aku sebutkan, beberapa sisanya mendapatkan uang dari hasil bekerja di daerah plesiran.

Hampir tidak pernah ada konflik di antara kemajemukkan ini. Satu-satunya pertikaian yang pernah terekam ingatanku terjadi pada saat presiden kedua negara ini hendak dilengserkan. Pertikaian itu sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan reformasi. Karena asal kamu tahu asalkan urusan perut dan bawah perut tercukupi, warga kampung kami sebenarnya tidak perlu entitas apa pun dari negara. Pertikaian itu muncul saat seorang pengunjung plesiran tidak terima bahwa dirinya harus menunggu biduan idamannya selesai menemai pelanggan lain. Dia mendaku bahwa dia adalah satu-satunya orang yang pantas untuk biduan itu. Lebih parahnya lagi dia berteriak bahwa di cinta dengan si biduan ini. Walau aku selalu percaya cinta bisa tumbuh di mana saja. Namun, kamu pasti tahu di semua tempat plesiran cinta adalah sebuah kata yang terlalu mewah. 

Pelanggan itu kemudian membuat percobaan dengan menuangkan bensin ke sebuah pos jaga dan menyulutnya dengan korek. Akan tetapi, saat api belum mendewasa polah tingkahnya berhasil dihentikan para penjaga rumah plesiran. Pelanggan itu diringkus dan dibawa ke halaman masjid yang ada di kampungku. Saat itu aku dan Aruna baru saja selesai mendengarkan ceramah dari satu-satunya guru ngaji di kampungku. 

Pelanggan itu hendak dihajar oleh warga sebelum si guru ngaji dan si biduan yang entah bagaimana sudah bisa sampai di halaman depan masjid datang untuk menghentikannya. Baik di biduan dan si guru bersepakat untuk memaafkannya si pelanggan itu dan membiarkannya pergi dengan selamat. Si biduan itu adalah ibu dari sahabatku Aruna dan aku memanggilnya bulik. 


AKU tidak tahu bagaimana bulik bisa sampai bekerja di plesiran ini. Setahuku mereka – bulik dan Aruna, adalah pendatang dan sebagaimana keluarga pendatang kondisi mereka tidaklah terlalu bisa dibilang membahagiakan. Tidak ada banyak pekerjaan yang bisa ditawarkan ke bulik. Dalam ingatanku, bulik dulu adalah seorang buruh cuci di yang saban pagi rutin mengunjungi rumah-rumah warga. Namun, setelah beberapa bulan berselang, bulik tidak pernah lagi mampir ke rumah warga. Di tiap pagi, di jalan menuju sekolah, aku selalu berpapasan dengan wajah layunya. Di perpapasan itu lah bulik memintaku mengajak Aruna ke sekolah dan mengajarinya segala hal baik yang aku miliki. 

Aku berteman baik dengan Aruna sejak saat itu dan tidak pernah mempermasalahkan apa pun yang dilakukan bulik. Namun, bulik salah untuk satu hal. Aku tidak memiliki banyak hal baik. Sebagai anak yang tumbuh di kalangan pinggir plesiran tentu ada satu dua kali keinginan untuk tahu seperti apa daerah plesiran itu. Kami tentu tidak bisa sembarangan ke sana. Penjaga daerah plesiran sangat mengenal kami dan tak akan membiaskan ujung hidung kami melewati batas masuk ke plesiran. Walau begitu, kamu tahu kan selalu ada jalan belakang untuk banyak hal. Lewat jalan belakang itulah kemudian kami berkenalan dengan berbagai macam nama dan ukuran orang tua. 

Kebisaan ini kami teruskan tentunya. Dengan menyisihkan uang jajan kami saban hari, kami semakin akrab dengan berbagai macam orang tua tetapi kami tak pernah sampai masuk ke daerah plesiran. Bagi kami menikmati orang tua rasanya sudah cukup menggantikan kasih orangtua yang sering absen kami rasakan.

Akrab dengan orang tua bukan berarti aku melupakan pelajaran mengaji ku dengan si guru ngaji. Aku dan kini bersama Aruna, masih menjadi muridnya yang paling setia. Kami hanya berhenti mengakrabi orang tua saat ramadan tiba. Jika sudah demikian, kami hanya akan berfokus pada pencucian diri dan hati kami. Sepenuhnya mengikuti apa yang dikatakan guru ngaji: salat lima waktu, sedekah, puasa, mendengarkan ceramah. Bulik pun mengurangi waktu kerjanya di plesiran. Entah bagaimana sejak predikat biduan disematkan padanya banyak dispensasi yang diterimanya. Di tiap ramadan, bulik selalu berusaha pulang tidak terlalu pagi. Minimal sebelum adzan subuh menyeruak, dia sudah harus ada di rumah membawakan nasi bungkus untuk Aruna. Sorenya pun, sebelum berangkat ke plesiran, bulik sering membuatkan makanan yang enak-enak untuk buka puasa. Aku tahu karena aku sering diajaknya untuk buka puasa bersama. 

Aruna bukannya tidak tahu tentang pekerjaan yang ditelateni bulik. Di pengajian-pengajian yang dia ikuti selalu disinggung tentang dosa orang melakukan hubungan senggama jika bukan pasangan suami istri. Namun, aku juga tahu bahwa usia Aruna yang masih hijau itu pastilah tidak bisa menebak bahwa semakin mendewasa hidup kita maka akan semakin rumit jalan hidup yang dijalani. Di tiap-tiap acara makan bersama bulik dan Aruna, aku selalu bisa melihat kasih sayang yang begitu tulus dari ibu ke anaknya. Bulik selalu mengusap kepala Aruna tiap kali ada kesempatan dan berkata bahwa Aruna akan menjadi sosok orang baik yang berbakti kepada orang tua dan ajaran agama. 

Di sebuah pengajian yang Aruna ikuti di bulan ramadan, dia mendengar tentang adanya malam seribu bulan. Konon, di malam yang indah itu semua malaikat di surga turun ke dunia. Bahkan, saking indahnya, Tuhan sendiri juga merentangkan tanganNya untuk memeluk setiap pribadi yang memiliki keluh dan resah. Tuhan datang mendengarkan setiap lara, juga setiap pengharapan yang dipanjatkan dengan begitu khidmat dan saksama. Tuhan dengan disaksikan para malaikatnya berjanji bahwa barangsiapa bersungguh-sungguh bermunajat di malam yang berlimpah rahmat, Ia akan memeluk doa itu, mengabulkannya, dan memberikan banyak hal yang tak pernah disangka.

Aruna ingin menjumpai malam itu dan berdoa bahwa Tuhan yang maha atas segalanya mampu memaafkan dosa yang dilakukannya dan ibunya. Apa pun itu. Dia selalu menabung keyakinan bahwa Tuhan itu sangat pemurah. Maka, tidak peduli seberapa besar dosanya atau ibunya, Tuhan pasti memaafkannya. Didorong keyakinan yang sedemikian kuat, Aruna tidak pernah ingkar mendoakan ibunya di pada tiap sujudnya. Di malam-malam tertentu pun, Aruna selalu menyelipkan doa-doa agar semua yang dia suka selamat di dunia dan di akhir sana. Aruna begitu sangat terobsesi dengan malam seribu purnama yang selalu diceritakan guru ngajinya. 


KEJADIAN tak terduga datang sepekan setelah si pelanggan yang diusir paksa oleh warga datang. Berdalih rasa cintanya yang mendalam dengan bulik dia datang lagi ke plesiran tetapi tidak mendapati bulik ada di sana. Sebagai seorang biduan di plesiran, bulik bebas menentukan hari liburnya. Kebetulan hari di mana ia libur adalah hari ulang tahun Aruna. Bulik sengaja absen dari plesiran agar bisa memasakkan makanan enak untuk Aruna, dan jika beruntung aku pun akan mendapatkan makanan buatan bulik yang memang luar biasa enak.

Karena tidak menemukan bulik ada di plesiran, si pelanggan itu kemudian hanya bisa memuaskan nafsunya kepada perempuan lain di sana. Namun, memang pada dasarnya pelanggan itu adalah lelaki sialan, setelah selesai memakai tubuh perempuan di sana lelaki itu menolak membayar karena pelayanan yang dia dapatkan tidak seperti ketika kali pertama dia menindih tubuh semok bulik.
Aku memang tak pernah tahu seperti apa pelayanan yang diberikan bulik kepada pelanggannya yang kemudian menjadikannya primadona di plesiran itu. Aku juga tidak tahu jumlah tubuh yang sudah maupun berharap bisa menindih tubuh bulik. Pun tentang berapa banyak harta yang sudah dihabiskan untuk bisa tidur bersama bulik.

Dari cerita orang-orang tua yang tak jarang mampir ke telingaku menyebutkan bahwa bulik tidak pernah berpenampilan terlalu berlebihan. Dia bahkan hanya menggunakan pupur tipis di pipinya dan palis merah yang ia sapukan di bibirnya. Dari cerita itu pula lah aku mendapatkan gambaran bahwa di kamar milik bulik biasa menyenangkan para pelanggannya selalu dia hias dengan berbagai bebungaan. Ada empat jambangan bunga yang ada di empat pojok kamarnya; di selatan dan timur ada bunga melati; sedangkan di sebelah barat dan utara adalah bunga sedap malam. Aroma yang dihasilkan bebungaan ini saling menyelimuti dan seakan menambah gairah yang sudah tak terperi lagi. 

Dalam tiap upaya persenggamaan pun, bulik selalu menerapkan aturan yang ketat. Bahwa tidak boleh dari tiap pelanggannya yang grusa-grusu langsung menindihnya. Sebagai gantinya, bulik mencoba mewujudnyatakan surga dunia itu. Dengan diawali oleh bibir saling berciuman, bulik perlahan akan melucuti pakaian pelanggannya. Lalu dengan lidahnya, ia akan bergantian berpindah dari puting kiri ke sebelah kanan. Tangannya akan turun perlahan mampir dan mengelus bagian perut sebentar lalu turun ke bagian inti. Tidak lupa bulik akan mendekatkan dadanya ke mulut pelanggannya dan akan berlama-lama di sana. Tangannya akan terus mengelus-elus bagian selangkangan  dan bola-bola yang ada di sana. Nikmat yang ditimbulkan dari upaya bulik ini sanggup menghilangkan satu bulan umur pelanggannya. Aku mendapati cerita ini ketika suatu malam aku sedang mengakrabi botol-botol orang tua bersama beberapa pemuda kampungku. Aku tahu bahwa mereka tak pernah cukup memiliki rupiah untuk bisa datang ke plesiran dan sebagai gantinya membayangkan apa yang akan mereka dapatkan bersama bulik sudah dirasa cukup menyenangkan. Aku merasakan ada sesuatu yang berdiri di bawah perut sana dan setelah merasakan keluarnya sesuatu yang begitu menyenangkan, aku mengecil kembali. Tentu saat aku mendengarkan cerita itu Aruna sedang tidak ada bersama kami. Dia lebih memilih berbagi cerita dengan guru ngaji. 

KECEWA tak mendapatkan perlakuan yang sepadan dengan yang diberikan bulik, si pelanggan itu mengamuk lagi di tempat plesiran. Jika pada kali pertama amukkannya bisa dihentikan, kali ini disa sudah lebih siap. Dengan pisau kecil mirip sebuah bayonet yang diselipkan di celananya dia dengan mudah menggores kaki para penjaga plesiran dan membuat mereka mengerang kesakitan. Penjaga itu adalah garda pertama dan satu-satunya tempat plesiran itu. Artinya setelah mengalahkan penjaga praktis tidak ada satupun orang yang mampu menghentikan si pelanggan ini.

Berbekal informasi dari entah siapa yang ada di plesiran, si pelanggan kemudian menuju ke rumah bulik yang jaraknya hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. 

Sekiranya bulik bersedia memberikan apa yang diminta oleh pelanggan ini, kejadian buruk di malam itu tidak akan pernah terjadi.

Setelah sampai di rumah bulik, si pelanggan tanpa permisi mendobrak pintu rumah bulik. Matanya sudah dipenuhi nafsu setan yang begitu membara. Awalnya dia meminta baik-baik kepada bulik sekiranya dia mau menuruti nafsunya. Namun, bulik berkeras menolak. Bulik berkata bahwa ketika di rumah dia adalah seorang ibu rumah tangga dengan satu anak. Dia bukanlah seorang penjaja alat kelamin sebagaimana yang dikenal di pelanggan itu. Bahkan bulik sempat menawarkan kepada si pelanggan bahwa bulik akan menemani tidurnya jika saja dia mau pergi dan menunggunya di tempat plesiran. 

Namun kamu pasti tahu, dengan nafsu yang sudah terkumpul di selangkangan, pelanggan itu tak ingin mendengarkan apa yang dikatakan oleh bulik. Dalam berbagai cara dan upaya, bulik berusaha menolak dan berteriak. Malang nasibnya, kebanyakan orang kampung saat itu sedang khusyuk mendengarkan ceramah di masjid dan tak ada yang mendengar teriakkannya. Ditengarai bingung karena teriakan itu, bayonet yang dibawa pelanggan itu melayang menyobek perut bulik. Darah keluar membanjiri dapur tempat di mana seharusnya bulik merayakan ulang tahun Aruna. Tak tertolong, bayonet itu akhirnya membawa bulik bertemu dengan sang maha kasih lebih cepat. Aruna yang tahu telat mengetahui kejadian ini karena masih asyik menimba ilmu bersama guru ngaji menangis sejadi-jadinya. Bahkan dari mulutnya yang baru saja mengeluarkan lafal-lafal kitab suci berganti dengan maki-makian dengan kata-kata yang bahkan tak pernah diucapkan bajingan paling bajingan sekalipun. Kejadian itu berlangsung tepat pada malam ketujuh belas bulan ramadan. Malam di mana seharusnya Tuhan datang dan membagikan rahmat dan berkat dengan begitu melimpah.

(bersambung)
.......

0 Responds