Selepas Sepuluh Tahun

10:02 AM

Kematian tak lagi menakutkan bagi kita. Kunjungan ke makam pun semakin terasa biasa, bahkan tanpa harus dengan banyak persiapan. Kupetikkan bunga untuk diletakkan di makam orang yang kita sayang. Kita berbagi kebahagian dengan mereka. Hanya ada cerita dan doa, tanpa air mata.
(Gunawan Tri Atmodjo, 2018)

Sejatinya, aku datang hari ini dengan segala persiapan yang sudah aku ukur jauh-jauh hari. Sebagaimana yang kamu ajarkan kepadaku yang berotak bebal ini bahwa menyiapkan segala sesuatu dari jauh-jauh hari merupakan sebuah hal yang penting. Hari ini aku memang datang dengan hanya membawa beberapa tangkai bunga Daffodil – bunga yang kali pertama aku bawa sewindu setelah kamu pergi, setangkai bunga Mawar merah muda kesukaanmu yang aku beli dari bapak penjaja bunga yang wajahnya selalu nelangsa seperti kidung paling sedih, di depan makam yang sudah hafal kapan waktu berkunjungku ke sini. Bahkan seminggu sebelum aku ke sini dengan pengukuran waktu yang presisi dan tingkat halafan sekelas para hafiz, si bapak ini malah mengabariku terlebih dulu bahwa dia sudah menyiapkan paket bunga Daffodil dan Mawar merah mudah khusus untukku. Si bapak pun tadi tak ragu menitipkan doa terbaiknya untukmu.

Selain itu, aku juga datang dengan mengenakan baju terbaik dan celana dan sepatu paling baru khusus untuk merayakan hari ulang tahunmu ini. Aku ingin tak lagi terlihat tampak murung seakan ada seekor tapir bunting menggelayuti. Selepas sepuluh tahun kamu pergi, aku ingin hanya kebahagiaan yang kita bagi. Seperti hari ini.

Pertama, harus aku akui bahwa ternyata kamu memanglah sosok yang sangat luar biasa. Bahkan setelah kamu tiada, kamu masih punya kekuatan dari alam sana untuk membantuku mewujudkan impianku. Iyaa. Tahun ini aku berhasil merampungkan buku pertamaku. Aku nulis buku, Nit. Buku yang aku beri judul Tentang Teman Seperjalanan.

Tidak banyak yang bisa aku tulis tentangmu di buku itu, tapi kamu pasti mafhum karena untuk menuliskan tentangmu artinya harus ada sebuah pintu yang aku buka kembali, pintu yang jika dibuka akan langsung menampilkan wajah sendumu di hari-hari yang begitu menyiksamu, tapi juga bisa memunculkan tawa riang yang tak tergantikan, yang hanya akan membawaku ke sebuah nostalgia lama yang datang dari pikiranku sendiri dan asal kamu tahu aku tak pernah lagi sebahagia sebagaimana saat bersamamu dan tak pernah sesedih saat sebagaimana kamu pergi, Nita, sebenarnya aku ingin sekali menuliskan kisah cinta kita yang serupa adegan terakhir pertemuan seorang putri sebuah kerajaan dengan sosok pangeran yang telah diidamkannya yang sarat dengan kebahagiaan, namun aku rasa tidak ada yang bisa membatalkan kesedihan yang kadung jatuh, dan aku rasa orang-orang sekarang sudah muak dengan cerita-cerita bahagia yang kemudian beralih memilih cerita yang lebih menyentuh perasaan serta membuat hati menangis terharu dikarenakan ada hati orang yang porak-poranda ditinggal kekasihnya pergi selama-lamanya, dan membuatku yakin bahwa orang sekarang semakin bijak menghadapi kehilangan dari waktu ke waktu. 

Nita, di hari ulang tahunmu ini aku ingin berjanji bahwa tidak akan ada kesedihan lagi yang aku bagi denganmu. Aku berjanji bahwa aku hanya akan membagi cerita dan doa dan tanpa air mata. 

Di usiaku yang semakin menua ini, rasanya predikat sebagai penanti yang setia dengan kepala yang dipenuhi uban, dan kulit yang sedikit kerontang, akan kembali aku sandang. Kalimat-kalimat yang kamu ucapkan menggemakan kenangan, hidup adalah soal penantian, entah apakah penantian akan pertemuan, penantian akan perpisahan, kelahiran atau kematian. Tidak ada satupun yang bisa memastikan. Dan selagi kita menanti, hal yang terbaik yang bisa dilakukan hanyalah berdoa, katamu demikian. 

Selepas sepuluh tahun kepergianmu, aku bertemu banyak orang. Aku melihat tempat-tempat yang bahkan yang tak terbayangkan. Aku belajar banyak. Aku makan banyak walau berat badan yang tak pernah seimbang. Kalau kamu ada di sini sudah pasti kamu akan membecandaiku dengan berkata bahwa kamu kini tahu kenapa aku kalau buang tai selalu lama, karena di situlah semua makananku pergi, tak ada yang mampir untuk sekadar menjadi gizi. Dan entah sudah berapa kali aku jatuh cinta setelahmu.

Namun, dari mereka yang sempat aku jatuh cintai setelahmu, selalu ada kemiripan yang sama: buku. Ingatkan kamu, Nit bagaimana awal kita bertemu? 

Orang-orang setelahmu itu yang kemudian aku sebut sebagai teman seperjalanan kembali mengajariku banyak hal. Orang pertama setelahmu mengajariku bahwa aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri. Dia mengajariku untuk tidak menjadi manja dengan hanya bisa merengek dan meminta saja. Orang setelahnya membuatku mengerti bahwa hidup kita baru punya arti kalau kita bisa berbagi. Yang setelahnya membuatku tahu bahwa kasih Tuhan itu bisa hadir dalam bentuk yang paling tidak kita duga sekalipun. Dan orang yang terakhir aku jatuh cintai di umur keduapuluh lima, mengajariku untuk berani dan tahu posisi. Dia pernah bilang, “Iyaa tentu selalu ada hal yang bisa kamu lakukan untuk memperbaiki segala sesuatu, tapi kamu perlu tahu itu bagianmu apa bukan?”. Aku kemudian membayangkan hal-hal baik yang aku dapatkan dari teman-teman perjalananku ini. Semua ada pada dirimu, semua pada hakikatnya pernah kamu tunjukkan dan ajarkan kepadaku. Semua orang tahu, mama dan papa dan bahkan adik perempuan yang tak pernah kamu jumpai. Semua orang tahu, kecuali diriku. Dan itu membuatku sangat sedih sekali.



Pagi ini udara begitu segar seperti baru keluar dari bungkusnya. Hujan bulan Juni seperti yang diramalkan Sapardi pun tak menunjukkan tanda-tanda akan datang menghampiri. Tempat ini pun hari ini tidak terlalu ramai. Hanya ada satu dua peziarah yang datang membawakan aroma lebaran kepada yang disayang. Sebagaimana aku, tidak ada rona kesedihan yang terlihat dari mereka yang datang hari ini. Dan sebagaimana aku, mungkin mereka datang ke sini untuk berbagi kebahagian lewat cerita dan doa dan tanpa air mata. 

Aku tidak tahu mana yang lebih tolol, Nit, bertahan dengan orang yang dicintai atau pergi bersama orang yang mencintai. Bagiku keduanya sama-sama tolol. Baik orang yang mencintai dan yang dicintai. Ah, tapi adakah cinta yang tidak tolol?

Dan ku rasa memang demikian. Bahkan setelah selepas sepuluh tahun ini, Nit, kalau kamu tanya apakah aku masih cinta denganmu atau dengan teman-teman seperjalanan yang aku temukan. Maka jawabku: Iyaa. Aku masih mencintai, sewajarnya. tidak lagi segalanya.  

0 Responds