Tentang Seorang Perempuan

8:08 PM





“Ada hal-hal yang terlalu panjang untuk diceritakan dengan ringkas.
Ada hal-hal yang terlalu rumit untuk dijelaskan kepada otak-otak sederhana. [1]

OTAK SEDERHANA. Mungkin kurang lebih seperti itu aku memberikan justifikasi kepada diri sendiri terhadap hal-hal luar biasa yang terjadi di hidup ku, hidup kami berdua, enam tahun belakangan. Kami baru saja menyelesaikan menonton sebuah drama seri yang sedang ramai diperbincangkan di jagat dunia Netflix –13 Reasons Why, episode ke delapan— sebelum akhirnya dia terlelap di atas sofa panjang di ruang tamu. 

Malam mulai pekat, hening mulai memincingkan matanya hendak memburu semua yang masih bernyawa. Suara gerimis di luar mulai terdengar samar berpadu dengan suara detik jam yang seolah membentuk orchestra tanpa seorang dirijen. 

Orang-orang kecil di dalam kepalaku gaduh sekali memikirkan banyak hal yang tak sederhana. Kami berdua. 

Pikiranku mengelana, kembali ke masa-masa awal mula cerita dimulai. Enam tahun silam. Pagi di sebuah warung bubur di ujung sebuah komplek perumahan di Jakarta Selatan itu menjadi sebuah saksi kunci akan sebuah pertemuan. 

Aku tak pernah yakin bagaimana sesuatu terjadi. Aku yang sama sekali tidak percaya adanya kebetulan, terus-menerus memikirkan bagaimana hal setelah pagi di warung bubur itu bisa terjadi. Apalagi di tempat ini, di kota di mana semua orang saling memakan ini. 

Kami resmi berkenalan. Walaupun sebelumnya, Pak Ujang –Si Tukang Bubur— telah memberi tahu namanya yang cukup panjang dengan sangat fasih. Aku tidak pernah memikirkan sesuatu yang rumit setelah prosesi perkenalan itu. Aku tidak chatting dengannya terlalu banyak setelahnya. Aku tidak menelponnya berjam-jam setelahnya. Aku tidak pula terlalu sering pergi berduaan bersama dia. Karena… jujur, aku tidak terlalu berharap banyak sesuatu yang indah akan terjadi dengannya. 

Namun, justru sesuatu yang diawali dengan kata tidak itu terkadang malah membawa kita ke sesuatu yang lebih dalam. 

Dan memang begitu adanya. Setelah perkenalan pagi itu, aku merasa setiap waktu yang kami habiskan bersama, aku menjadi lebih dekat dengan perempuan yang waktu itu berusia awal duapuluhan. Dia bercerita bahwa dia mengambil cuti kuliahnya setelah hanya tinggal menyisakan sidang skripsinya. 

“Aku sebenarnya nggak yakin sama apa yang aku lakukan,” Katanya sembari mengayun-ayunkan kakinya saat duduk di sebuah kursi taman di suatu sore yang kami habiskan berdua.

“Kenapa?” Tanyaku sederhana.

“Iyaa… Kamu tahu, aku selalu mengerjakan semua hal sesuai dengan apa yang orang lain minta. Papa, Mama, Eyangku. Dan aku tidak pernah membuat mereka semua kecewa. Tapi apa? Aku bahkan tidak pernah tahu apa yang aku suka. Apa yang aku cari.”

“Jadi, hal itu yang membuatmu memutuskan mengambil cuti?”

“Iyaa, dan mulai mencari apa yang aku ingini.”

“Dan kamu sudah menemukan hal yang kamu ingini selama ini?”

“Iyaa. Sejauh ini” Lanjutnya sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.


Aku mengetahui itu semua setelah –aku lupa persisnya— dua atau tiga bulan setelah kami resmi berjanji untuk selalu bersama. Dan selama belasan bulan dan puluhan purnama kami menjalani hubungan yang luar biasa. Jarak antara Jogja dan Jakarta ternyata tidak lebih dari sekadar angka semata. Baginya jarak hanya memisahkan badan kami, tidak untuk hati dan perasaan kami. 

Bohong jika aku bilang perempuan itu tidak cantik. Dia cantik. Teramat cantik, walau tanpa perlu melihatkan tonjolan dan belahan di mana-mana. Dia galak. Dia tegas. Dia selalu mencoba untuk berlaku professional ketika kami terlibat dalam pembuatan sebuah film pendek untuk sebuah festival film. Dia juga seorang perempuan yang pintar. Dia habiskan kurang dari tiga setengah tahun untuk sampai ke depan pintu gerbang gelar sarjananya –sebelum memutuskan cuti. Beberapa tahun setelahnya, dia hanya butuh waktu kurang dari dua tahun untuk berhasil mendapat gelar Masternya. 

***

Aku melihat kembali paras ayu nya yang terkena pendar cahaya laptop, terlelap di atas sofa. Aku kembali duduk di karpet di depan sofa setelah membenahi posisi selimutnya. 

Hari ini, kami merayakan ulang tahunnya dengan sebuah perayaan sederhana. Sebuah piñata hasil buatan tanganku untuknya melengkapi gumpita perayaan ulang tahunnya. Ketika aku bertanya kado apa yang ia inginkan untuk ulang tahunnya, dia menjawab bahwa ia hanya ingin semua berjalan sesuai apa yang dia yakini. 

***

Setelah sebuah film, dia dengan segala hal luar biasa mengitari dirinya, membuatku diterima bekerja di salah satu penerbit buku impian ku untuk beberapa bulan. Ia juga yang telah membawaku terbang jauh ke Malaysia, ke sebuah perhelatan balap motor terkemuka di dunia. 

Perempuan itu punya semua daftar mimpiku, dan satu per satu dia coba bantu wujudkan. Dan aku? Rasanya aku tak pernah cukup melakukan hal baik untuknya. Dia punya segalanya, dia bisa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Dan, bahkan sampai sekarang aku, dengan otak sederhanaku, masih belum paham mengapa dia masih mau bersamaku. Namun, walaupun demikian, aku tidak pernah bisa berkata bahwa aku tidak bahagia dengannya. Aku bahagia. Sangat bahagia bersamanya. 

Tapi semua dari kita pasti tahu, kebahagiaan memiliki jebakannya sendiri. Di ujung setiap bahagia, tak jarang bersemayam rasa perih [2]. Itu adalah bulan-bulan awal 2013 ketika hubungan kami terhantam badai besar. Badai yang sempat meluluhlantakkan semua keyakinanku tentang cinta, tentang suka, tentang akhir yang bahagia, dan bahkan tentang dia. Selama beberapa bulan, kami saling membatasi komunikasi kami. Saling menepi untuk menata kembali hati kami. 

Hingga sebuah janji yang terucap ketika awal mula kami bersama muncul kembali. 

***

Pasca kejadian itu, kami bukannya semakin jauh malah semakin merasa bahwa kami memang diciptakan untuk selalu ada bagi satu sama lain. Bahkan ketika aku bercerita kepadanya bahwa ada seorang perempuan bermata segaris lain yang memikat hatiku. Dia, alih-alih menunjukkan tanda ketidaksukaannya, malah sangat bersemangat mendengar ceritaku tentang perempuan bermata segaris yang kemudian muncul dengan nama Bintang

Kepadanya aku bercerita banyak soal Bintang. Tentang pribadinya, kuliahnya, kesukaan dan ketidaksukaannya. Semua. Semua tentang Bintang diketahuinya dengan sangat terperinci, detail, dan jelas. Aku sempat merasa cemas ketika dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah, cemburu, atau jengkel ketika aku –dengan melihat kenyataan tentang hubungan kami—bercerita tentang itu semua. 

Aku pernah menanyakan tentang hal ini. Tentang sikap kalemnya. Tentang pembawaannya yang selalu tenang, walaupun ini menyangkut tentang perasaan, dan yang selalu aku dapati hanyalah sebuah kalimat, “Aku bahagia kalau kamu bahagia”. Namun, aku tahu bahwa ini semua tidak sesederhana jika aku bahagia dan dia pasti juga bahagia. Tidak ada hal tentang perasaan yang seperti itu. Bahkan sampai ubun-ubun langit pun aku memikirkan tentang hal itu, kenyataannya memang tidak ada yang sederhana untuk semua perasaan. 

Kemudian aku sadar bahwa, meminjam kalimat di film CIN(T)A, the thinking is just too much, hingga pada satu titik tertentu aku mulai tidak lagi memikirkan hal tidak sederhana tentang kami berdua. Pada titik itu, aku hanya ingin selalu ada untuk dia. 

Hal itu aku wujudkan ketika aku tidak pernah absen hadir saat dia menjejakkan kaki di usia barunya. Aku pernah dibawanya terbang jauh ke Australia di satu musim panas, ke lantai 15 sebuah apartemen di sana untuk membacakan puisi berjudul Kamus Kecil karya Joko Pinurbo dan menemani menempuh sidang thesisnya sebagai kado ulang tahun. 

Tahun setelahnya, ketika aku bertanya kado apa yang ia inginkan, dengan nada polos tetapi terkesan mantap dia berkata, “Aku ingin makan di angkringan”. Dan di sana lah kami kemudian, di sebuah warung angkringan di salah satu tepian jalan di Jogja. 

Senyumku terkembang begitu menyaksikkan dia dengan lahap menyicipi satu per satu menu yang ada di angkringan. Mulai dari sate-satean, gorengan, nasi yang diikat dengan karet gelang, juga –yang kemudian dia sebut sebagai favoritnya—susu coklat jahe.

***
Pagi tadi, perempuanku ini kembali menjejakan kakinya di pintu gerbang usia barunya. Aku memang datang dengan tidak membawa hal-hal luar biasa seperti 1000 kupu-kupu kertas maupun kue ulang tahun setinggi monas. Aku hanya datang dengan sebuah mainan berbentuk kuda yang aku buat dengan menjahit beberapa kain flannel menjadi satu. 

Aku memang tidak bisa berlaku romantis kepada siapa pun. Walaupun di dasar hati, aku ingin sekali datang di ulang tahunnya, memberikannya satu buket bunga berwarna-warni melebihi tujuh warna pelangi, atau aku bisa datang dengan membawakannya sekotak coklat berbentuk hati sebesar miniatur Patung Liberty, pun aku juga ingin membelikannya sebuah boneka ukuran raksasa yang bisa ia jadikan penjaga rumahnya.

Aku bahkan kadang sedikit merasa malu karena aku hanya bisa membacakannya puisi dari buku yang bahkan pemberian orang lain. Aku malu hanya bisa mengajaknya makan di sebuah warung angkringan di tepian jalan dan bukannya di sebuah restaurant ternama. Aku malu hanya bisa membuatkan sebuah piñata sederhana yang bahkan sempat menjadi rebutan dengan Senja –kemenakannya. 

Aku sadar perempuan itu berhak mendapat sesuatu yang lebih karena dia telah memberiku hal yang lebih. 

Namun, kemudian di sela-sela waktu menonton 13 Reasons Why, dia berkata bahwa dia tidak ingin bunga. Dia tidak ingin coklat atau Patung Liberty. Dia juga tidak ingin makan di restaurant ternama. Dan untuk kesekian kalinya, aku mendengar sebuah perkataan yang tak pernah ku sangka akan ku dengar dari dia. 

Dia hanya ingin memiliki sebuah ingatan di mana ada seorang lelaki kurang kerjaan yang terbang jauh ke Australia untuk membacakannya puisi. Ingatan tentang seorang yang menraktirnya makan di sebuah angkringan dan pulang kehujanan. Juga ingatan tentang seorang yang menjahitkanya sebuah piñata dari kain flannel yang kini menemani tidur kemenakannya. 

Karena perempuan itu begitu sangat yakin, bahwa semua orang bisa hidup abadi dalam ingatan seseorang. Dan dengan keyakinan pula, segala hal di dunia ini akan berjalan dengan sebagaimana mestinya…

Selamat ulang tahun, Nyoo.
Terima kasih karena selalu baik.  



[1] Diambil dari novel berjudul O karya Eka Kurniawan, halaman 72.
[2] Diambil dari novel berjudul O karya Eka Kurniawan, halaman 57 .
gambar dari FreePik.com

0 Responds