“Bahwa selain perkataan Netizen, ada banyak hal yang nyatanya tidak bisa kita kontrol”
Salah satu dari sekian banyak hal tersebut adalah perasaan orang lain. Kita mungkin saja sudah melakukan banyak hal, mempertimbangkan banyak pikiran, memutuskan dengan sangat pelan dan hati-hati, tetapi tetap saja bagaimana hasil dari hal yang kita lakukan dan bagaimana orang lain meresponya adalah sesuatu yang tidak pernah benar-benar bisa dimengerti.
Hari ini aku menyadari hal demikian, kendatipun bukan sebuah kritik pertama yang aku terima dari buku Tentang Teman Seperjalanan, tetapi kritik ini terus mengerak di kepalaku sampai hari ini.
Hal in terjadi mungkin karena aku sedikit terbuai dengan beberapa kritik yang bagus dari beberapa teman soal bagaimana aku menggambarkan perasaan melalui tulisan, bagaimana aku memaknai kehilangan, dan mengikhlaskan sesuatu yang memang sudah tidak bisa dipaksakan. Kritik yang memang sebenarnya sudah aku harapkan ada. Kritik yang sedari awal aku menuliskan cerita-cerita di buku Tentang Teman Seperjalanan, sudah aku kira datangnya. Sebuah hal yang kemudian membuatku lupa bahwa sejatinya kritik adalah sesuatu yang benar-benar bisa memukulmu sampai kamu merasa tidak bisa bangun lagi.
Dan hanya ada satu jalan kritik itu bisa datang. Iaitu dari orang yang kamu sayang.
Tanpa bersama hujan dan angin kencang, kritik itu datang di satu siang. Menyerang tepat di ulu hati paling dalam. Mendamprat tepat di wajah, seolah kamu bisa melihat bekas merah bekasnya.
Aku tahu dan sepenuhnya sadar bahwa keduabelas tulisanku yang dibukukan dalam Tentang Teman Seperjalanan rentan terhadap kritikkan. Walau aku juga tidak pernah mengharap pujian atau mengharap akan predikat apa pun akan diberikan. Aku hanya menulis. Itu saja.
Dalam setiap tulisan di Tentang Teman Seperjalanan, aku sudah mempertimbangkan banyak hal, seperti: aku sudah meminta izin kepada beberapa pemilik asli ide cerita Ada Cinta Dalam Botol dan Teman Seperjalanan; sudah bertemu dengan para pemilik nama di cerita-cerita di dalamnya dan meminta izin untuk membuat alter ego mereka untuk bisa melengkapi cerita yang aku buat; secara lisan maupun lewat media sosial aku juga sudah meminta izin menggunakan kutipan yang aku temui di kanal media sosial untuk melengkapi cerita; membuat catatan kaki dari hal-hal yang aku ambil sebagai sebentuk penghargaan untuk karya milik orang lain; dan bahkan, terkhusus untuk cerita Teman Seperjalanan dan Kunang-kunang Kenangan, aku meminta izin kepada keluarga Tante Silvi untuk menceritakan kembali mengenai sosok Nita.
Aku juga sudah sangat berhati-hati dalam menuliskan tiap karakter yang ada di dalam cerita di Tentang Teman Seperjalanan. Aku tidak mau, tentunya, melukai perasaan orang lain dengan menuliskan sesuatu yang buruk atau dengan sengaja menggali dan mengorek luka lama hanya demi memenuhi target jumlah kata. Aku tidak pernah ingin ada orang lain yang merasa terluka tersebab hal-hal yang aku tulis dalam buku pertamaku. Karena jika ada perasaan yang terluka tersebab tulisanku, maka cukuplah itu perasaanku saja.
“Tapi bagaimanapun, perasaan itu subyektif. Itu hak prerogatif seseorang dan rasa itu hanya benar-benar nyata bagi orang yang merasakannya”
Dan ketika kritik itu datang, ketika seseorang itu berkata bahwa dia merasa terluka dan tersakiti perasaannya oleh karena apa yang aku tuliskan, aku kemudian sadar bahwa ada banyak hal yang tidak bisa aku kendalikan bahkan setelah mempertimbangkan dan mengukur segala hal.
Tentang Teman Seperjalanan
Tentang Teman Seperjalanan adalah judul yang aku pilih untuk mengomandoi 12 tulisan pendek yang aku kumpulkan selama hampir enam tahun belakang. Cerita ini adalah tentang pertemuanku dengan beberapa teman seperjalanan yang memberiku banyak pelajaran tentang banyak hal: ikhlas, harapan, impian, kehilangan, pertemuan, dan cinta.
Aku menggunakan banyak pendekatan ketika menuliskan cerita-cerita di dalamnya. Hal yang membuat tulisanku –menurut beberapa teman– walaupun fiksi tetapi ketika dibaca oleh seseorang, orang tersebut mampu beranggapan bahwa apa yang dibacanya adalah kenyataan, atau setidaknya mempertanyakan apakah semua yang aku tuliskan itu merupakan sesungguhnya hal yang terjadi atau tidak. Salah satu cara yang aku gunakan adalah dengan menggunakan nama-nama yang benar-benar adalah orang yang aku anggap sebagai pembawa kebaikan dalam hidupku. Nama-nama orang yang memberiku banyak pengertian tentang banyak hal. Nama-nama teman seperjalanan. Selain itu, aku juga membuat beberapa situasi yang pernah aku alami atau pernah aku lihat entah di sebuah film atau sesuatu yang lain.
Penggunaan beberapa nama asli di Tentang Teman Seperjalanan ini juga adalah sebuah wujud terima kasihku kepada segenap pemilik nama tersebut. Terima kasih karena dalam perjalanannya, mereka sudi mampir dan bertukar cerita bersamaku. Meskipun kemudian satu atau beberapa di antaranya kemudian memilih melanjutkan jalan mereka sendiri-sendiri tanpa pernah menoleh lagi. Bagiku, hal tersebut bukan sebuah masalah, hidup adalah soal menghidupi pilihan-pilihan tanpa harus merasa terkekang oleh aturan atau keberadaan orang. Aku sudah (cukup) bahagia dengan pernah bertemu dan berbagi kisah serta hal-hal lalin bersama teman-teman seperjalanan yang aku ceritakan dalam bukuku ini.
Selain sebagai wujud terima kasih, buku ini adalah juga sebagai bentuk pemenuhan janjiku kepada seseorang yang mungkin tidak pernah ingat lagi bahwa aku pernah berjanji kepadanya bahwa suatu saat aku akan punya bukuku sendiri. Buatku, mau sampai kapanpun, janji tetaplah sebuah janji. Dan setiap janji ada kewajiban untuk memenuhi.
Bagian Jualan
Untuk saat ini buku Tentang Teman Seperjalanan baru bisa didapatkan di tempat-tempat berikut ini:
2. Toko Budi
3. Dasmu Garage